Skip to main content
Hamburger Menu
Close
Edisi:
Navigasi ke edisi CNA lainnya di sini.
Iklan

Lifestyle

Sudah kencani 100 pria, jodoh belum bertemu juga: Mendedah alasan mengapa pemuda di China sulit mencari cinta

Program Insight CNA menelusuri alasan mengapa angka pernikahan di China mencapai rekor terendah, mulai dari perubahan sikap para pemuda hingga harga rumah yang selangit.

Sudah kencani 100 pria, jodoh belum bertemu juga: Mendedah alasan mengapa pemuda di China sulit mencari cinta
Status para wanita meningkat di China, tapi hanya sedikit yang menikah. Zhao Miaomiao, eksekutif keuangan, adalah salah satu yang terus berusaha mencari jodohnya.

SHANGHAI: Ketika kariernya melejit setelah pindah ke ibukota keuangan China, Shanghai, tahun lalu, eksekutif keuangan Zhao Miaomiao merasa sudah waktunya mencari pasangan hidup.

Akhirnya Zhao menjalani beberapa kali kencan buta. Dalam tiga hingga empat bulan Zhao menemui secara langsung "banyak sekali" pria — lebih dari 100 orang — yang dikenalnya dari aplikasi kencan. 

Setelah menjalani semua kencan tersebut, Zhao "menyadari bahwa mencari jodoh ternyata sulit".

"Hal pertama yang dilihat (para pria) adalah apakah wanita itu menarik. Kemudian mereka melanjutkannya dengan memahami kepribadian dan latar belakang keluarga wanita tersebut," kata perempuan 28 tahun ini.

"Namun, ... (wanita) menginginkan ketulusan dari lelaki. Misalnya, wanita berharap lelaki yang menginginkannya menunjukkan usaha dan ketulusan."

Sementara itu di Beijing, eksekutif media Liu Shutong memang sudah punya pacar, tapi dia "tidak ambil pusing" apakah nantinya mereka akan menikah atau tidak.

Eksekutif media Liu Shutong tidak banyak bicara tentang pacarnya.

"Pertama, yang saya inginkan adalah hidup di masa sekarang," kata dia. Ini adalah sikap yang umumnya juga ditemui Liu di antara koleganya.

"Zaman sekarang, anak-anak muda lebih memprioritaskan kebahagiaan mereka di saat ini, dengan menjalani kehidupan yang hedonistik," kata perempuan 24 tahun ini, yang mencari kesenangan dengan menari balet, yoga dan berbelanja dengan kawan-kawannya. "Kami merasa bahwa ... menikah atau tidak, kami bisa tetap bahagia."

Entah karena pilihan pribadi atau yang lainnya, banyak anak muda di China memilih tidak menikah. Dalam sepuluh tahun terakhir, angka pernikahan berkurang setengahnya. Tahun lalu, ada 6,83 juta pasangan yang menikah di China — rekor terendah sejak pencatatan dimulai pada 1986.

Dibandingkan Singapura, yaitu 6,5 pernikahan per 1.000 orang yang tercatat pada 2021, angka pernikahan di China hanya 5,4 pernikahan per 1.000 orang.

Berdasarkan survei oleh Liga Pemuda Komunis China terhadap para muda-mudi perkotaan, 44 persen wanita China tidak berencana untuk menikah, sementara pria angkanya hampir 25 persen.

Menurunnya angka pernikahan memang telah menjadi sebuah fenomena global — hampir 90 persen populasi dunia tinggal di negara-negara dengan penurunan angka pernikahan — dan alasan-alasannya juga kian kompleks. Namun di China, ada faktor-faktor khusus yang bermain dalam hal ini.

Program Insight mencari tahu apa aral yang melintangi muda-mudi China dalam mencari cinta, dan bagaimana pemerintah serta orang tua berupaya mengubah tren penurunan angka pernikahan ini.

SEMAKIN SULIT MENCARI JODOH

Salah satu orang yang bisa menjelaskan mengapa anak-anak muda China memilih tidak menikah adalah Qian Lei, 27, seorang mak coblang profesional.

"Biasanya kalau seorang pria ingin mencari pasangan di pasar perjodohan, dia akan bilang tidak perlu perempuan yang kaya atau cantik, tapi sebenarnya pria itu pilih-pilih," kata dia.

"Pria akan mencari seseorang yang memberi kesan pertama yang baik, dan dari sini dia akan mulai selektif."

Soal alasan mengapa banyak wanita menolak cinta pria, Qian mengatakan kemungkinan "karena pria itu tidak memenuhi persyaratan tinggi badan". "Para wanita biasanya menyukai pria yang tinggi, dan mereka memilih yang punya tinggi setidaknya 1,7 meter."

Masalah "syarat" kelayakan tersebut memang terdengar dangkal, tapi telah jadi salah satu aspek yang mengubah pandangan tentang cinta dan pernikahan di China.

Pembangunan yang pesat di China juga menciptakan ketidakcocokan antara pria dan wanita terkait apa yang mereka inginkan dalam pernikahan. Masyarakat konservatif di China juga berseberangan dengan ide pemberdayaan wanita yang telah berlangsung selama puluhan tahun di negara itu.

"Transisi China dari nilai-nilai tradisional ke modern berlangsung dengan sangat cepat. Negara atau regional lain mungkin butuh waktu 50 hingga 100 tahun, tapi kami mengalami fenomena ini dalam waktu hanya 20 hingga 30 tahun," kata sosiolog dari Nanjing University, Zhu Hong.

Zhu Hong, profesor di fakultas bisnis Nanjing University.

Sebelum tahun 1999, ketika pemerintah China memperluas sistem pendidikan tinggi, jumlah wanita yang kuliah di negara itu hanya 20 persen.

Sejak saat itu jumlah wanita yang mendaftar masuk universitas telah melampaui pria, mencapai 52 persen dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini kemudian meningkatkan kemandirian ekonomi perempuan di China. Maka menjadi nyatalah kutipan Mao Zedong yang tersohor, "perempuan memegang separuh langit".

Namun peran gender di China masih tertinggal dari status sosial-ekonomi wanita yang meningkat, kata Jen Yeung, profesor sosiologi di National University of Singapore. Menurut Yeung "seluruh pekerjaan rumah" dan tanggung jawab mengurus anak di China sebagian besar akan jatuh kepada wanita setelah mereka menikah.

"Harga dari hilangnya peluang (karier) dengan menikah sangat mahal bagi perempuan belakangan ini. Dan karena pernikahan bukan lagi sebuah keharusan, banyak wanita yang kemudian ragu-ragu untuk menikah."

Profesor Jean Yeung juga merupakan pendiri Pusat Penelitian Keluarga dan Kependudukan di National University of Singapore.

Perbedaan keinginan antara pria dan wanita di perkotaan sangat jelas, ujar ahli ekonomi dari Han Seng Bank di China, Wang Dan. "Kebanyakan wanita mencari cinta, sementara kebanyakan pria menjadi istri.

"Perbedaan tujuan mereka ini juga menyebabkan sikap yang sangat berbeda. Dan kami telah melihat banyaknya perasaan frustrasi, dari kedua belah pihak, jika tiba saatnya untuk memutuskan apakah mereka ingin menikah atau tidak."

Lebih banyak menghabiskan waktu di sekolah dan fokus pada karier juga membuat pernikahan menjadi tertunda, sebuah hal yang lazim di tengah negara yang sedang berkembang.

Tapi di China kondisi ini memunculkan istilah "sheng nu" (wanita yang tersisa), yang disematkan untuk wanita lajang berusia 20 dan 30-an akhir. Para wanita ini dianggap sudah tidak diminati karena dipandang tidak subur lagi lantaran usia.

KEBIJAKAN SATU-ANAK

Anjloknya angka pernikahan di China kemungkinan juga terjadi karena kebijakan satu-anak yang diterapkan secara nasional pada 1980 dan berakhir pada 1 Januari 2016.

Wang mengatakan, seluruh generasi anak tunggal ini "tumbuh dewasa sendirian". "Secara alamiah, mereka lebih individualistik dibanding generasi sebelumnya."

Berdasarkan sebuah studi oleh Ohio State University di Amerika Serikat, kecil kemungkinannya anak-anak tunggal untuk menikah jika dibandingkan anak-anak yang memiliki saudara kandung. Setiap saudara kandung memberikan tambahan peluang 3 persen untuk seorang anak menikah nantinya.

Alasannya, keberadaan saudara kandung memberikan anak-anak kesempatan untuk bisa mengatasi konflik di dalam rumah. Hal ini yang kemudian akan membantu mereka melalui dinamika pertemanan dan hubungan percintaan pada kehidupan di masa depan.

Sementara anak tunggal juga lebih mandiri dan senang menghabiskan waktu sendirian.

China memiliki satu generasi yang terdiri dari anak-anak tunggal.

"Untuk membangun rumah tangga, mereka harus sedikit merelakan individualitas, sedikit dari kebebasan mereka. Mereka juga harus perhatian pada kebutuhan pasangan," kata Zhu.

Zhu ragu kemampuan ini dimiliki oleh anak-anak tunggal. "Anak tunggal sangat spesial. ... Kakek dan kerabat lainnya sangat dekat dengan anak tersebut. Itulah mengapa kami memanggil mereka 'matahari kecil'," kata dia.

Semua kebutuhan anak-anak tunggal ini selalu terpenuhi. Di saat bersamaan, sifat buruk mereka ditoleransi.

"Berbicara soal tanggung jawab, tidak egois dan mau berkompromi, generasi anak tunggal ini tidak memiliki kemampuan sosial tersebut."

Mereka malah akan menganggap keberadaan pasangan "terlalu mengganggu". "Itulah mengapa saat ini banyak sekali anak-anak muda yang memelihara anjing dan kucing," imbuh dia.

KLAN 'CAHAYA BULAN'

Karena getol memenuhi kesenangan pribadi, saat ini banyak pemuda di China menyebut diri mereka sendiri "klan Cahaya Bulan", atau "yue guang zu". "Biasanya sebutan ini merujuk pada anak-anak muda yang menghabiskan semua gaji mereka setiap bulan," kata Wang. 

"Beberapa dari mereka juga terlilit utang karena sekarang mereka punya akses ke peminjaman online melalui platform seperti Alipay dan JD Finance."

Salah satu pemuda yang mengaku bagian dari klan Cahaya Bulan adalah Liu. Kepada Insight dia mengatakan: "Orang-orang yang menghabiskan semua uang mereka setiap bulannya menganggap adalah hal biasa saja tidak punya tabungan. Dan mereka juga tidak pernah menabung."

Sikap hidup-untuk-hari-ini tersebut membuat mereka ragu akan masa depan. Lantaran tertundanya keamanan finansial, akhirnya mereka menunda pernikahan.

"Jika kamu orang yang hidup 'dari gaji ke gaji', maka calon pasangan akan menyadari bahwa kamu bukan jodoh yang tepat," kata Qian.

"Karena itulah, akan jadi tantangan bagi klan Cahaya Bulan untuk mencari pasangan. Bagaimanapun, membangun kehidupan bersama adalah juga soal mengelola keuangan."

Qian Lei adalah seorang "hong niang", atau mak comblang.

Menurut laporan China Central Television pada 2021, dua dari lima warga lajang di kota-kota lapis pertama China adalah klan Cahaya Bulan. Di kota-kota lapis keempat dan kelima, 76 persen muda-mudi lajangnya menghabiskan seluruh gaji mereka setiap bulan.

Jumlah ini sangat besar, mengingat China memiliki 220 juta warga lajang setiap tahunnya.

DAMPAK EKONOMI

Perlambatan ekonomi China setelah pandemi telah memperburuk situasi ini. "Setiap kali ada masalah keuangan, angka pernikahan akan turun karena masyarakat biasanya menunda acara-acara besar dalam kehidupan mereka," kata Yeung.

Tingkat pengangguran usia 16 hingga 24 tahun di perkotaan China mencapai lebih dari 20 persen, sebuah rekor tertinggi, lebih tinggi dari kebanyakan negara di Eropa.

Dengan prospek ekonomi yang suram, beberapa pria di China mengaku pesimistis bisa menikah.

"Sebagai lelaki, mereka berpikir akan memiliki tanggung jawab terhadap istri dan anak-anak. Lalu kemudian mereka sadar tidak punya uang untuk itu," kata Yeung.

Terkait hal tersebut, harga perumahan menjadi "masalah besar belakangan ini". Berbagai studi menyebutkan, jika harga rumah naik, maka angka pernikahan akan turun.

Bahkan untuk para pemuda di China yang "serius dalam mencapai stabilitas finansial" dan masih berpikir untuk menikah, "kemampuan menabung untuk beli rumah, untuk pendidikan anak-anak dan yang lainnya ... belum ada," kata Yeung.

Budaya kerja keras di China yang dikenal dengan nama "996 " — kerja dari jam 9 pagi sampai 9 malam, enam hari seminggu — telah membuat para pemuda kantoran hampir tidak punya waktu lagi untuk diri sendiri, apalagi menjalin hubungan.

"Anda seharusnya sedikit kasihan kepada mereka sekarang," kata Wang. "Biaya ekonomi dan tekanan menjaga hidup yang seimbang sangat tinggi."

'SWIPE KIRI, SWIPE KANAN'

Kendati diadang berbagai kesulitan tersebut, tapi tetap saja banyak muda-mudi China yang belum menyerah mencari cinta. Banyak dari mereka yang merasa diburu waktu berharap menemukan jodoh di aplikasi kencan.

Tiga aplikasi kencan paling populer di China adalah Momo, Soul dan Tantan, dengan lebih dari total 150 juta pengguna aktif setiap bulannya pada tahun lalu.

Pada survei 2021 oleh sebuah lembaga riset di China, 89 persen responden mengaku pernah menggunakan aplikasi kencan.

"Kita akan melihat dan mendengar contoh-contoh sukses. Mereka benar-benar menemukan pasangan jangka-panjang atau bahkan suami dan istri," kata Wang. "Tapi kebanyakan, platform itu lebih seperti aplikasi sosial. Jadi sarana orang-orang untuk bertemu, menjalin pertemanan atau membangun hubungan jangka-pendek."

Looking for love online.

Ada juga pendapat yang mengatakan aplikasi kencan telah mendorong budaya hook-up, saat penggunanya lebih tertarik bercinta ketimbang menjalin hubungan jangka panjang. Inilah yang dialami oleh Zhao, yang membuatnya beranggapan bahwa para pria "hanya mementingkan" aspek seksual.

Zhao awalnya berpikir menggunakan aplikasi kencan yang memiliki "jumlah pengguna yang besar" akan membuat proses pencarian cintanya lebih efisien. Tapi platform itu ternyata tidak selalu jadi anugerah bagi para fakir cinta di China.

"Aplikasi kencan memberikan ilusi bahwa selalu ada pilihan berikutnya. Hanya tinggal swipe ke kanan, swipe ke kiri, dan akan selalu muncul lebih banyak pilihan lain," kata Wang.

"Aplikasi ini tidak selalu menciptakan kebahagiaan di antara pasangan atau generasi muda. Tapi saya kira ini adalah realita baru yang membuat masyarakat China menjadi terbiasa."

Wang Dan is the chief economist of Hang Seng Bank (China) and is based in Shanghai.

POJOK MAK COMBLANG

Meski aplikasi kencan kian populer, tapi selalu ada alasan mengapa metode perjodohan tradisional masih penting di China.

"Jika melihat berbagai survei, cara orang bertemu calon jodoh mereka tidak jauh berbeda dibanding 20 tahun lalu. Mereka masih bertemu dengan sosok baru di tempat kerja, dikenalkan teman atau keluarga," kata Wang.

Secara khusus, perjodohan oleh orang tua kembali muncul sejak pertengahan tahun 2000-an. Para orang tua yang mulai gundah tidak sabar menimang cucu membuat pojok-pojok mak comblang di taman-taman kota.

Tak ubahnya pasar kaget, para orang tua ini mengiklankan kelebihan anak-anak mereka, berharap bisa menarik perhatian calon menantu.
 

Poster-poster milik orang tua yang mengiklankan kelebihan anak-anak mereka.

"Tren semacam ini masih terus berlanjut ... karena pada dasarnya kebanyakan generasi muda perkotaan tidak punya cukup banyak waktu untuk masuk ke pasar perjodohan dan coba-coba menjalin hubungan," kata Wang.

Pojok mak comblang bisa ditemui di kota-kota besar China, seperti Guangzhou dan Shanghai. Di Beijing, salah satu titik yang populer ada di Taman Zhongshan. Seniman Hao Wenzi, 35, hapal betul taman ini karena ayahnya sering mengunjungi pojok mak comblang.

Hao mengaku telah mencari wanita impiannya sejak usia awal 20-an, tapi selama hampir delapan tahun kisah percintaannya selalu pupus. "Saya telah bertemu banyak orang yang berbeda, tapi peluang berhasilnya sangat kecil," kata dia.

"Saya tidak tahu cara berkencan. Saya tidak tahu bagaimana menjadi menawan dan hadir secara emosional. Yang saya tahu hanyalah penghasilan saya lebih besar dari para wanita itu. Saya punya properti.

"Kalau begini, cara berkencan tidak ada bedanya dengan 100 tahun lalu — memamerkan sapi dan tanah."

Hao Wenxi kesulitan untuk berteman dengan lawan jenis.

Tapi Hao ingin menemukan cinta, jadi dia terus mencoba berkencan. Dalam dua hingga tiga tahun ini, dia telah bertemu 20 sampai 30 wanita.

Aplikasi kencan telah memberikannya hasil yang beragam. Namun pada akhirnya, upaya ayahnya di Taman Zhongshan-lah yang justru membuahkan hasil. Hao dipertemukan dengan istrinya saat ini, seorang dokter. Mereka berpacaran selama satu tahun sebelum akhirnya menikah.

Sekarang putra mereka sudah berusia empat tahun dan berniat memiliki anak kedua, mungkin dalam waktu tiga atau empat tahun lagi.

CUTI TAMBAHAN DAN INSENTIF UNTUK MENDAPAT JODOH

Akhir kisah Hao yang bahagia menunjukkan adanya dimensi ketakutan lain di China terkait dengan menurunnya angka pernikahan: Jika orang tidak menikah, maka tidak akan punya anak.

Hao dengan keluarganya.

"Korelasi antara pernikahan dan tingkat kelahiran tidak begitu kuat (di masyarakat Barat)," ujar Wang. "Orang (di Barat) masih bisa punya anak bahkan jika mereka tidak menikah. ... Tapi di China, korelasinya hampir 100 persen."

Selain paham konservatif, sistem Hukou juga jadi alasan utamanya. Hukou adalah sistem pendaftaran keluarga untuk mendapat akses kesehatan dan pendidikan. Sampai saat ini, hanya wanita menikah yang boleh mendaftarkan anak-anak mereka.

Tapi tahun lalu, populasi China menurun untuk pertama kalinya dalam enam dekade. Penurunan angka pernikahan ditambah populasi yang kian menua membuat pemerintah China kian khawatir.

Pemerintah akhirnya mencoba berbagai cara untuk mendorong pernikahan dan kelahiran anak, termasuk dengan mengendalikan harga perumahan.

Pada Mei tahun lalu, setidaknya ada 13 kota di China yang memberikan subsidi perumahan bagi keluarga dengan anak lebih dari satu. Beberapa pemerintah daerah juga memberikan satu kupon bagi keluarga untuk pembelian rumah.

Galeri perumahan di kota Yanjiao, provinsi Hebei.

Dengan lebih banyak subsidi dan insentif, kata Yeung, harapannya dapat mendorong anak-anak muda untuk hidup mapan. Untuk itu, Zhu punya ide, yaitu "rumah pernikahan" yang diberikan khusus untuk anak-anak muda. Dia yakin, pemerintah akan menggulirkan ide itu "dalam waktu dekat".

"Jika bersedia menikah, maka rumah ini akan disewakan kepada Anda dengan harga yang sangat murah. Jika berniat punya anak, mungkin rumah ini akan dijual kepada Anda dengan harga yang terjangkau," kata Zhu.

Agar muda-mudi bisa jatuh cinta, beberapa sekolah telah memberikan para siswanya liburan tambahan untuk bersosialisasi. Sementara beberapa perusahaan di China menawarkan tambahan cuti tahunan untuk para karyawati lajang agar mereka bisa "pulang dan berkencan".

Tapi tetap saja, para karyawan di perusahaan China masih bekerja rata-rata 48,7 jam per minggu tahun ini. Padahal budaya kerja "996" sudah secara resmi dianggap pelanggaran hukum.

Jam kerja karyawan di China lebih panjang daripada karyawan di Amerika Serikat dan Inggris yang rata-rata jam kerjanya sekitar 36 jam seminggu.

Meski undang-undang ketenagakerjaan China mengharuskan perusahaan membayar lembur untuk tambahan pekerjaan di luar delapan jam kerja, "namun dalam pelaksanaannya, ... budaya 996 masih lazim terjadi", kata Wang.

"Akibatnya, saya rasa China sekarang sudah mandek jika berbicara soal realita dunia percintaan."

Banyak negara Asia yang juga telah mencoba meningkatkan angka pernikahan, tapi lebih banyak yang menemui kegagalan ketimbang kesukesan. Masih belum diketahui apakah China berhasil membalikkan tren ini.

Zhao mengatakan muda-mudi yang masih percaya adanya cinta "layak untuk diberikan semangat". Namun Zhao sendiri saat ini tengah beristirahat mencari jodoh setelah sebelumnya menggunakan jasa mak comblang selain aplikasi kencan.

"Saya ingin pernikahan yang berkualitas. Tapi pria-pria yang saya kenal tidak bisa memenuhi harapan tersebut. Jadi walau mereka mau dengan saya, saya masih menolak," kata dia.

"Saat ini bagi saya lebih baik menjadi lajang. Saya menikmati status lajang ini, dan saya merasa bahagia." 

Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel CNA.id dengan klik tautan ini. 

Source: CNA/da(ih)

Juga layak dibaca

Iklan
Iklan