Skip to main content
Iklan

Lifestyle

'Aku bakal kena juga?': Ketika Gen Z dihantui risiko kanker payudara yang diwariskan

Melihat ibu atau nenek berjuang melawan kanker payudara membuat banyak perempuan Gen Z takut hal yang sama terjadi pada mereka. Namun, di balik ketakutan itu, muncul kesadaran baru tentang pentingnya memahami risiko dan menjaga diri sejak dini.

'Aku bakal kena juga?': Ketika Gen Z dihantui risiko kanker payudara yang diwariskan

Kanker payudara merupakan jenis kanker paling umum di kalangan perempuan di Singapura, menurut Singapore Cancer Society. (Foto: iStock/xijian)

Terlahir sebagai perempuan Gen Z, aku sebenarnya tidak banyak tahu tentang kanker payudara, hingga suatu hari penyakit itu merenggut  keluargaku sendiri: pada Mei lalu, tanteku meninggal karena penyakit ini.

Seketika aku tersadar, kanker payudara bukan lagi sebuah penyakit yang terasa jauh, tapi sudah menyerang, dan menyebabkan salah satu keluargaku berpulang.

Sejak saat itu, rasa takut perlahan tumbuh: Apakah aku bakal kena juga?
 

Aku mulai mendapati bahwa bukan aku saja yang merasa gelisah. Perasaan cemas serupa juga mengusik perempuan-perempuan muda lain di keluarga saya.

Meskipun tidak semua kanker payudara bersifat turunan, ketakutan emosional itu sering kali membuat seolah-olah penyakitnya bisa diwariskan. Di balik setiap diagnosis, ada perempuan lain di keluarga penyintas yang diam-diam bergulat dengan rasa takut, kehilangan, dan ketidakpastian.

Untuk memahami dampaknya, aku berbicara dengan beberapa pakar medis dan perempuan muda yang hidup di bawah bayang-bayang kanker payudara.

Konsultan senior di departemen bedah payudara Rumah Sakit Umum Changi (CGH) Singapura, dr. Mok Chi Wei, menjelaskan, "Banyak perempuan muda—biasanya anak dari pasien saya—bertanya, 'Aku bakal kena juga?' 'Aku harus tes genetik?' 'Bagaimana cara mencegahnya?'"

"Meskipun mereka tidak benar-benar memahami diagnosisnya, mereka tetap merasakan stres, takut, dan kekhawatiran yang ikut menyebar ke seluruh keluarga. Seiring bertambahnya usia, beberapa dari mereka mulai mengalami kecemasan, perilaku menghindar, atau ketakutan besar terhadap masa depan," lanjutnya.

Ia menambahkan, sekitar 5–10 persen kasus kanker payudara disebabkan oleh mutasi genetik yang diwariskan, seperti BRCA1 atau BRCA2. "Namun mayoritas kasus dipengaruhi oleh faktor gaya hidup, hormon, dan lingkungan—termasuk usia, obesitas, konsumsi alkohol, paparan hormon, serta riwayat reproduksi," jelasnya.

Jika seorang ibu memiliki mutasi genetik bawaan seperti BRCA1 atau BRCA2, setiap anaknya memiliki risiko 50 persen untuk mewarisi mutasi tersebut. (Foto: iStock/Chinnapong)

Kepala klinik pencegahan dan pengendalian kanker di Singapore Cancer Society, dr. Priyanka Rajendram, menjelaskan kepada CNA Women bahwa bagi mayoritas perempuan muda, kekhawatiran akan kanker payudara tidak hanya dipengaruhi oleh faktor risiko medis namun juga pengalaman hidup.

"Saya lihat gadis remaja 18 tahun. Dia awalnya merasa ada benjolan di payudaranya dua minggu terakhir, tanpa ada gejala lain yang terlihat. Ketika saya lakukan tes fisik, saya kaget melihat benjolannya sudah sebesar melon," ungkapnya.

"Saya tanyakan sudah berapa lama benjolan itu ada, lalu dia menjawab kalau benjolan itu sudah ada kurang lebih setahun. Dia pun datang ke klinik karena dia merasa ada yang tidak benar.

"Baik ibunya dan neneknya pernah mengalami kanker payudara, tetapi selama ini, dia tidak pernah mencari pertolongan karena kakaknya bilang tidak ada gunanya, dan saya sangat sedih mendengarnya," kata dr. Rajendram.  

"Dalam kasusnya, dia dan kakaknya sangat terpukul melihat orang tuanya menderita kanker, sampai-sampai kakaknya berpikiran kalau pergi untuk pemeriksaan tidak ada gunanya."

MENDAMPINGI KELUARGA

Bagi Sarah Ali, 22, kanker payudara bukan hal asing di keluarganya. Ia pertama kali mengetahuinya saat neneknya mengalaminya di usia 16 tahun—dan itu adalah kali kedua sang nenek berjuang melawan kanker.

Melihat orang tuanya berbisik di balik pintu dan menyembunyikan kekhawatiran membuat Sarah sadar ada masalah besar yang sedang terjadi. Meskipun neneknya selamat, penyakit itu terus membayangi keluarganya.

Pada Juli 2024, ibunya didiagnosis mengidap kanker payudara. Meskipun terdeteksi dini, hal itu tetap mengguncang hidup Sarah.

Sarah Ali bersama ibunya, yang berhasil pulih setelah melawan kanker payudara. (Foto: Sarah Ali)

"Ketika aku menyaksikan ibuku sendiri mengalaminya, rasanya penyakit ini sangat dekat dan mulai membuat aku takut," ujar anak bungsu dari tiga bersaudara itu.

"Ibu juga berpesan, 'Kalian harus jaga kesehatan, karena bisa saja terjadi di masa depan.'"

Kata-kata itu membekas di benak Sarah. Ia masih ingat betapa berat perjuangan ibunya. Saat ibunya menjalani operasi, Sarah sedang berada ribuan kilometer jauhnya di Glasgow, Skotlandia, untuk mengikuti program pertukaran pelajar.

Jarak membuat rasa takutnya semakin menjadi. "Aku ingin menemaninya, tapi tidak bisa. Aku tak berhenti menangis di kelas. Aku sangat cemas dan tak berhenti mengirim pesan kepada keluarga, menanyakan kabar," katanya.

Belum sempat tenang, tantenya pun didiagnosis kanker payudara.

"Apakah selanjutnya aku atau kakak-kakakku?" ucap Sarah. "Aku tak mau itu terjadi pada kami, tapi di sisi lain, kami juga tak bisa memungkirinya. Rasanya seperti bertanya tanpa jawaban: Kenapa harus keluarga kami?"

Krosha Elanjezhiyan kehilangan ibunya karena kanker payudara pada 2020, saat usianya baru 18 tahun.

"Kami sempat pergi ke Spanyol, dan Mama demam tinggi sepanjang perjalanan. Setelah pulang, ia pergi ke rumah sakit dan ternyata didiagnosis kanker payudara — sudah stadium akhir," kenang perempuan yang kini berusia 23 tahun itu. 

Ibunya berpulang hanya dua bulan kemudian.

Krosha Elanjezhiyan menjalani tahun pertamanya di politeknik saat ibunya didiagnosis kanker payudara. (Foto: Krosha Elanjezhiyan)

"Aku tak banyak punya waktu bersama di masa-masa terakhirnya. Suaranya sudah hilang, dan ia tak mau aku melihatnya dalam kondisi itu. Jadi saya tidak sempat berpamitan dengan baik," ucap Krosha lirih.

"Kadang di momen-momen tertentu, aku merasa benar-benar sendirian. Aku tak bisa terbuka pada keluarga, walaupun mereka ada di sana."

"Saat itu aku masih sangat muda, aku tak tahu harus bagaimana dan berbuat apa," ucapnya.

Jarak emosional seperti yang dialami Krosha dan ibunya memang kerap terjadi, menurut dr. Rajendram. Diagnosis kanker pada seorang ibu bisa menegangkan hubungan orang tua dan anak — apalagi saat peran mulai bergeser dan sang anak yang harus mengasuh.

Dalam beberapa kasus, beban emosional membuat sang ibu menarik diri karena merasa takut atau bersalah telah "menurunkan" penyakit itu pada anak-anaknya.

Krosha, yang juga telah kehilangan ayah di usia 15 tahun, mengatakan duka itu memberinya kekuatan.

"Aku sudah pernah kehilangan ayah, jadi saat diberitahu ibu hanya punya waktu seminggu, aku sudah paham aku harus kuat dan mandiri," ujarnya.

DARI TAKUT MENJADI TEGAR

Sarah dan Krosha sama-sama mengubah ketakutan mereka menjadi kesadaran.

Sarah merasa lebih tenang karena tiga perempuan di keluarganya terdeteksi lebih awal sehingga tak perlu menjalani masektomi. "Itu membuatku berpikir, kalau pun nanti aku mengalaminya, aku bisa melawannya juga," katanya.

Sarah saat bayi di pelukan neneknya, bersama ibu dan kakaknya di samping. (Foto: Sarah Ali)

Sejak ibunya didiagnosis, gaya hidup keluarganya berubah total. Mereka kini lebih disiplin menjaga pola makan, mengurangi gula, rutin berolahraga, dan memperbanyak sayur serta buah.

"Kami jadi lebih sadar dalam menjalani hidup. Tidak selalu mudah, apalagi di usia muda. Tapi aku tahu, aku harus menjaga tubuh," tegasnya. Sarah juga sudah mulai melakukan pemeriksaan payudara mandiri.

Namun untuk tes genetik, ia mengaku belum siap.

"Aku tahu, karena ibu dan nenekku pernah mengidap kanker, bukan berarti aku pasti akan mengalaminya juga. Tapi membaca hasil tes di atas kertas bisa membuatku lebih takut dari sekarang," ujarnya jujur.

Berbeda dengan Sarah, Krosha justru memilih menghadapi ketakutannya. "Kalau saja ibuku melakukan tes lebih awal, mungkin hasilnya bisa berbeda," katanya. "Jadi aku ingin tahu lebih cepat agar bisa mencegahnya."

Kelly Chang juga tumbuh dengan pengalaman serupa. Kini berusia 24 tahun, ia mengenang saat itu usianya baru 10 tahun ketika ibunya didiagnosis kanker payudara.

"Aku pernah bertanya, 'Mama nanti meninggal, ya?' Tapi Mama menenangkanku, dan entah bagaimana, rasa takut itu langsung berkurang," ceritanya.

Kini, Kelly justru melihat penyakit itu dari sisi berbeda.

"Menurutku, kanker tidak semenakutkan yang dibayangkan orang. Kalau kamu periksa sejak dini, selalu ada pilihan pengobatan yang baik," katanya.

Ibunya bahkan menempelkan pengingat di pintu kamar mandi agar keluarga rutin memeriksa payudara sendiri, dan kini mereka aktif menjadi relawan di Breast Cancer Foundation untuk mengedukasi masyarakat.

Ibu Kelly Chang, penyintas kanker payudara, menaruh pengingat di kamar mandi agar rutin melakukan pemeriksaan payudara mandiri. (Foto: Kelly Chang)

MULAI DARI KONSELING GENETIK

Menurut dr. Rajendram dan dr. Mok, memahami risiko pribadi adalah langkah pertama yang penting, terutama bagi perempuan muda dengan riwayat keluarga.

Salah satu cara efektifnya adalah melalui konseling genetik — untuk mengetahui apakah ada mutasi gen penyebab kanker.

Dokter yang diwawancarai CNA Women mengatakan, semakin banyak perempuan muda kini proaktif menjaga kesehatannya. (Foto: iStock/liza5450)

Kepala konselor genetik di Pusat Kanker Nasional Singapura (NCCS), Jeanette Yuen, menjelaskan bahwa perempuan berusia di atas 21 tahun dengan riwayat kanker dalam keluarga sebaiknya mempertimbangkan konseling genetik.

"Sebagian besar datang karena ada riwayat keluarga, tapi ada juga yang datang karena semakin sadar pentingnya pencegahan," katanya.

Biayanya bervariasi antara S$300 (Rp3,8 juta) hingga S$3.000 (Rp38 juta), tergantung kompleksitas pemeriksaan.

"Lebih baik tahu sejak dini. Ketika kamu tahu risikonya lebih awal, kamu bisa mengambil langkah yang berbeda dibanding mereka yang baru sadar setelah terlambat," ujar Yuen.

Langkah pertama dalam konseling adalah asesmen, yakni konselor akan memeriksa riwayat dua sisi keluarga hingga tiga generasi.

"Ini membantu kami menilai seberapa besar kemungkinan seseorang mewarisi kondisi genetik tertentu dan apakah pemeriksaan diperlukan," tambahnya.

Bagi perempuan muda yang memiliki jaringan payudara padat, pemeriksaan MRI dianggap lebih efektif daripada mammogram. (Foto: iStock/utah778)

Jika hasil tes menunjukkan mutasi gen BRCA, maka risiko terkena kanker payudara bisa meningkat hingga 70–80 persen, dibandingkan populasi umum yang hanya 13 persen.

Dalam kasus seperti ini, konselor akan menyarankan jadwal skrining yang lebih intensif dan rutin, termasuk MRI dan mammogram mulai usia 25 tahun.

Jika hasil tes negatif namun ada riwayat keluarga, pemeriksaan tetap disarankan dilakukan 5–10 tahun lebih awal dibanding usia diagnosis anggota keluarga pertama.

MELAWAN KANKER PAYUDARA

Yuen menegaskan pentingnya kesadaran diri.

"Mulai usia 18 tahun, perempuan sudah bisa melakukan pemeriksaan payudara mandiri setiap beberapa bulan sekali. Gunakan tiga jari untuk meraba secara melingkar dan perhatikan bila ada perubahan pada bentuk atau tekstur kulit," jelasnya.

Dalam pemeriksaan payudara mandiri, perempuan perlu meraba dan memperhatikan perubahan yang tidak biasa pada payudaranya. (Foto: iStock/icetocker)

Jika menemukan benjolan atau perubahan yang tidak biasa, segera periksa ke dokter.

Gaya hidup juga memegang peran besar: rutin berolahraga, makan seimbang, batasi alkohol, dan hindari rokok.

Semua pakar yang diwawancarai CNA sepakat: bicarakan ketakutanmu.

"Rasa takut yang dipendam justru bisa mengisolasi seseorang dari keluarga dan teman," ujar dr. Rajendram. "Memberi informasi sesuai usia dan menciptakan ruang aman untuk berbicara bisa membawa dampak besar."

Ikuti saluran WhatsApp CNA Indonesia untuk dapatkan berita menarik lainnya. Pastikan fungsi notifikasi telah dinyalakan dengan menekan tombol lonceng.

Source: CNA/ps/da

Juga layak dibaca

Iklan
Iklan