Komentar: Vending machines menjamur di Singapura, kamu bisa beli skincare sampai mobil mewah!
Peeling gel, pil atau Porsche? Saat ini, vending machines di Singapura menyediakan lebih dari sekadar makanan ringan, menurut pengamatan Joe Escobedo dari NUS Business School.
Deretan vending machines di pusat perbelanjaan Thomson Plaza, Singapura, yang menjual berbagai macam produk, mulai dari mainan, bunga, hingga jus jeruk. (Foto: CNA/Raj Nadarajan)
SINGAPURA: Jalan kaki di stasiun MRT mana pun, mal, atau bahkan rumah sakit di Singapura, kemungkinan besar kamu akan melihat satu atau bahkan tiga mesin penjual otomatis, atau vending machines.
Dulu, mesin ini hanya jadi perangkat khusus untuk menjual minuman, keripik kentang, dan cokelat batangan. Kini, konsep tersebut telah berevolusi menjadi model ritel tersendiri.
Mulai dari banana cake legendaris Hiap Joo asal Johor Bahru, durian Mao Shan Wang dari Kaki Kaki, hingga roti prata panas lengkap dengan kuah kari dari Springleaf Prata Place — semuanya kini bisa didapatkan on-demand, 24 jam sehari, selama stok tersedia.
Tidak ada toko, tidak ada staf, hanya layar digital dan jendela kaca.
Lalu, apa yang membuat tren ini naik daun? Apakah ini hanya fenomena sesaat atau justru masa depan dunia ritel?
VENDING MACHINES MAKIN DIMINATI
Sebagian daya tariknya terletak pada efisiensi tinggi dan biaya rendah. Di kota yang terkenal dengan harga sewa properti tinggi seperti Singapura, vending machines merupakan cara yang efektif untuk menjangkau konsumen tanpa beban operasional penuh layaknya toko fisik.
Tidak perlu menjadwalkan staf, tidak ada sistem kasir, dan tidak perlu mengunci toko saat jam operasional berakhir.
Satu mesin yang ditempatkan di lokasi ramai bisa menghasilkan pendapatan stabil dengan tenaga kerja minimal. Mesin penjual otomatis juga efektif untuk menguji pasar baru atau mempertahankan kehadiran di area dengan lalu lintas tinggi.
Kedua, konsep ini selaras dengan gaya hidup masyarakat Singapura yang mengutamakan kemudahan 24 jam. Di negara di mana layanan seperti perbankan daring, belanja kebutuhan pokok online, dan pembayaran dengan QR code sudah menjadi bagian sehari-hari, model layanan mandiri (self-service) semacam ini bukanlah hal asing.
Vending machines — yang selalu beroperasi, selalu terisi dengan produk, dan kini mampu memenuhi kebutuhan yang sangat spesifik — sekarang menjual segala hal mulai dari bunga, pakaian, deterjen, bahkan mobil mewah.
Ada juga vending machines yang memungkinkan kamu berkonsultasi dengan dokter, mendapatkan surat keterangan medis, dan menebus obat.
Lalu ada faktor fandom. Mesin PopMart dan Labubu, misalnya, menjual item "blind box" yang memikat kolektor karena unsur kejutan.
Layaknya mesin gachapon di Jepang, mereka mengandalkan misteri dan kemungkinan, mengubah pembelian produk menjadi sebuah pengalaman tersendiri.
Meskipun tren vending machines jelas menguat, kecil kemungkinan mesin penjual otomatis akan sepenuhnya menggantikan toko fisik dalam waktu dekat.
Kesesuaian produk menjadi faktor penting. Tidak semua produk cocok dijual melalui mesin otomatis. Misalnya, makanan segar punya masa simpan terbatas, dan produk rapuh seperti make-up bisa rusak saat dikeluarkan.
Vending machines memang cocok untuk camilan kemasan, minuman, koleksi mainan, dan makanan siap saji. Namun, mereka kurang efektif untuk produk yang membutuhkan interaksi manusia, edukasi, atau panduan sebelum dibeli.
Bahkan dengan kemajuan kecerdasan buatan dan antarmuka personalisasi, beberapa elemen pengalaman berbelanja tetap bersifat manusiawi dan tak tergantikan.
Beberapa produk, seperti skincare, suplemen kesehatan, gadget teknologi, dan perlengkapan bayi, sering memerlukan edukasi pelanggan sebelum dibeli.
Konsumen biasanya lebih memilih interaksi tatap muka untuk menanyakan bahan, efek samping, atau kecocokan produk.
Hal-hal seperti ini masih belum bisa dilakukan oleh vending machines — setidaknya untuk saat ini.
Selain itu, vending machines tidak dapat membangun komunitas atau menyampaikan branding merek seperti yang dilakukan pop-up store atau toko fisik.
Bagi brand gaya hidup, toko fisik masih penting untuk membangun kepercayaan dan identitas.
RISIKO VENDING MACHINES
Meskipun lebih murah dibanding toko fisik, vending machines tetap memerlukan modal awal yang cukup besar.
Satu mesin baru bisa berharga antara S$5.000 (Rp63,3 juta) hingga S$10.000 (Rp126,6 juta). Bagi yang memilih sewa, biaya bisa mencapai S$800 (Rp 10 juta) per bulan.
Masih ada biaya untuk perangkat keras, lisensi, perangkat lunak, perawatan, dan logistik untuk pengisian ulang rutin, belum termasuk kerugian akibat kerusakan, masalah teknis, atau vandalisme.
Dukungan pelanggan juga menjadi tantangan. Saat terjadi masalah — seperti barang tersangkut atau pembayaran gagal — tidak ada staf di tempat untuk langsung memperbaiki. Tanpa solusi cepat, loyalitas pelanggan bisa menurun.
Contohnya adalah Amazon Dash Button. Dirancang untuk mempermudah pemesanan ulang produk rumah tangga, layanan ini dihentikan setelah pengguna menganggapnya tidak intuitif, tidak memberikan umpan balik yang jelas, dan sering memicu pemesanan tidak sengaja.
Contoh lain adalah Stockwell (sebelumnya Bodega). Vending machines berbasis AI yang didirikan pada 2017 oleh mantan karyawan Google ini dipasang di kantor dan lobi apartemen di Amerika Serikat, dengan tujuan menggantikan toko kelontong.
Menurut laporan TechCrunch, meski berhasil mengumpulkan dana lebih dari US$45 juta (Rp731 miliar), Stockwell tidak menemukan model bisnis yang berkelanjutan atau bisa diperluas. Akhirnya, mereka menutup operasi pada 2020.
Alih-alih disebut masa depan ritel, vending machines merupakan bagian dari evolusi ritel itu sendiri. Vending machines akan menjadi salah satu dari banyak alat dalam strategi sebuah brand.
Misalnya, toko roti bisa memanfaatkannya untuk menjual menu terlaris di luar jam operasional. Merek kosmetik bisa menempatkan mesin di stasiun MRT untuk membagikan sampel edisi terbatas demi menciptakan hype.
Supermarket bisa memindahkan produk-produk fast-moving ke vending machines di area sekitar, sehingga staf dapat fokus pada interaksi bernilai tinggi.
Penyedia layanan kesehatan pun bisa memasang mesin di daerah terpencil untuk meningkatkan akses obat dan kesinambungan perawatan.
Secara lebih luas, vending machines mencerminkan tren besar yang disebut retail unbundling.
Sama seperti hiburan yang berevolusi dari TV gratis ke TV kabel, lalu ke Netflix dan potongan video TikTok, ritel kini dipecah menjadi momen-momen tertentu.
Alih-alih bersaing dengan vending machines, toko fisik mungkin akan berevolusi menjadi pusat pengalaman (experience hubs) yakni memungkinkan pelanggan mencoba, mencicipi, dan mendapatkan layanan personal yang hanya bisa diberikan manusia.
Kamu memang tidak perlu toko fisik untuk berjualan. Tapi jika ingin membangun brand, bercerita, atau mendapatkan loyalitas pelanggan, kamu tetap memerlukan sesuatu yang lebih dari sekadar mesin.
Joe Escobedo adalah Dosen Luar Biasa di Departemen Pemasaran, National University of Singapore (NUS) Business School. Opini yang disampaikan adalah milik penulis dan tidak mewakili pandangan NUS.
Ikuti saluran WhatsApp CNA Indonesia untuk dapatkan berita menarik lainnya. Pastikan fungsi notifikasi telah dinyalakan dengan menekan tombol lonceng.