Skip to main content
Iklan

Komentar

Komentar: Selalu online, kenapa remaja kerap kesepian dan makin sulit punya sahabat?

Remaja selalu terhubung dengan internet, tapi kenapa mereka justru merasa makin kesepian? Di Hari Pencegahan Bunuh Diri Sedunia, Crispina Robert dari CNA menggali pentingnya arti pertemanan yang nyata.

Komentar: Selalu online, kenapa remaja kerap kesepian dan makin sulit punya sahabat?

Stok gambar seorang remaja menggunakan ponselnya saat makan. (Foto: iStock)

SINGAPURA: Suatu pagi lima tahun lalu, saya sedang scroll Facebook ketika sebuah unggahan dari teman lama di SMA langsung membuatku terlonjak dari tempat tidur karena kaget.

Agar identitasnya tidak terungkap ke publik, saya akan menyebutnya "Sean" dalam tulisan ini. Putranya yang baru berusia 17 tahun, sebaya dengan anakku, baru saja meninggal dunia. 

Saya langsung mengirim pesan turut berbelasungkawa atas tragedi ini. Dia pun terus terang mengungkapkan bahwa putranya memiliki isu kesehatan mental dan akhirnya memilih mengakhiri hidupnya.

Kematian putranya itu tentu menyayat hati mereka sekeluarga. Saat mengenang kembali, Sean bilang sebenarnya sudah ada tanda-tanda kecil sebelumnya, yakni bahwa putranya menderita gangguan kecemasan dan depresi

Tapi tidak ada yang tahu seberapa dalam luka batin yang dialami remaja itu, hingga ia memilih mengakhiri hidupnya. 

Hari ini, 10 September, kita memperingati Hari Pencegahan Bunuh Diri Sedunia. Menurut laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang dirilis pekan lalu, satu dari setiap 100 kematian global disebabkan oleh bunuh diri. Dan untuk setiap kematian, ada 20 percobaan bunuh diri lainnya.

Untuk memahami isu ini lebih dalam, saya berbicara dengan berbagai pihak: orang tua, siswa, hingga para profesional kesehatan mental.

Ilustrasi remaja kesepian. (Foto: iStock/feri ferdinan)

SULITNYA BERTEMAN DI ERA DIGITAL

Hampir semua profesional kesehatan mental yang kutemui menyoroti dampak penggunaan media sosial sejak dini terhadap cara para remaja memahami dunia, dan juga nilai diri mereka.

Meskipun masih terus diperdebatkan soal pembatasan gadget dan usua pengguna media sosial untuk meminimalkan dampak buruk seperti bullying dan standar kecantikan yang tidak realistis, ada hal yang jauh lebih mendasar yang sedang terjadi: ketidakmampuan untuk menjalin pertemanan.

Kenapa hal yang sesederhana berteman, sesuatu yang dulu rasanya mudah sekali dilakukan, kini jadi sangat sulit?

"Ketika kamu tanya ke anak muda, siapa yang akan mereka hubungi jika sedang merasa sangat terganggu dan butuh bicara, banyak yang menjawab 'tidak ada'," kata dr. Vivien Yang, pendiri Bloom Child Psychology.

Anak-anak sekarang juga lebih nyaman mengirim pesan teks daripada bicara langsung. Bahkan, beberapa sesi terapi dr. Yang dilakukan lewat chat, sehingga kliennya yang masih berusia anak-anak bisa dengan nyaman menuliskan masalah mereka. 

Kurangnya interaksi tatap muka ini memengaruhi kedalaman koneksi dan pertemanan yang terjalin.

CEO dari Institute of Mental Health, dr. Daniel Fung, menjelaskan bahwa berteman bukan sekadar menyapa atau meminjamkan alat tulis ke teman sebangku, lalu persahabatan akan terjalin dengan alami dan mudah.

"Tak semua orang punya insting alami atau seceria saya sehingga bisa langsung ngobrol. Ada juga orang-orang yang pemalu, jadi mereka butuh waktu dan ruang," kata dr. Fung.

Ilustrasi remaja menggunakan ponsel untuk mengakses sosial media. (Foto: iStock/Thai Liang Lim)

TERKONEKSI TAPI KESEPIAN

Kesepian kini telah menjadi sebuah epidemi, yaitu kondisi yang menyebar luas dan berdampak serius pada banyak orang dalam suatu populasi. Mirip seperti penyakit, tapi dalam hal ini yang terdampak adalah kesehatan mental.

Sebuah studi pada 2021 yang menganalisis data dari lebih dari satu juta remaja di 37 negara menemukan bahwa jumlah remaja yang merasa kesepian di sekolah hampir dua kali lipat, pada periode tahun 2000 dan 2018. 

Para peneliti mencatat bahwa lonjakan ini seiring dengan meningkatnya penggunaan smartphone.

Sungguh paradoks: di satu sisi, anak muda punya ribuan "teman" atau followers secara online. Tapi ketika mereka sedang merasa hancur, entah karena patah hati atau gagal ujian, tidak ada satu orang pun yang bisa mereka hubungi untuk curhat, marah, atau menangis bersama.

Ada kerentanan dalam membangun pertemanan, kata dr Fung. Kita perlu mengambil risiko dengan membagikan sesuatu yang sangat pribadi atau bahkan memalukan. 

Sampai dr. Fung menjelaskannya seperti ini, tidak pernah terpikir bagi saya bahwa pertemanan sejati butuh keberanian. Anak-anak harus bisa jujur tanpa takut dihakimi, dikucilkan, atau ditolak.

Jujur saja, saat berselisih dengan teman, rasanya lebih menyakitkan daripada luka lecet di lutut. 

Rasa sakit karena konflik itulah yang sebenarnya membantu membentuk ikatan kuat, jelas dr. Fung. Tanpa pengalaman semacam itu, anak-anak muda akan lebih sulit membangun ketahanan sosial.

Tidak ada buku panduan tentang bagaimana caranya berteman, sama seperti tidak ada panduan pasti untuk jatuh cinta. 

Inti dari semua ini terletak pada pemberian waktu, agar anak-anak bisa menemukan lingkaran sosial mereka sendiri.

Waktu nongkrong bersama teman mungkin terlihat seperti pemborosan dalam kehidupan yang super terjadwal. Tapi bisa jadi, justru hal inilah yang paling dibutuhkan anak-anak kita, supaya saat badai hidup datang, mereka punya seseorang untuk dihubungi.

Crispina Robert adalah editor eksekutif di unit pelatihan CNA.

Jika kamu merasakan keinginan untuk mengakhiri hidup, cari bantuan dengan menghubungi:

Call Center 24 jam Halo Kemenkes 1500-567

Kemenkes juga menyediakan 5 rujukan RS Jiwa dengan layanan telepon konseling:

1. RSJ Amino Gondohutomo Semarang: (024) 6722565
2. RSJ Marzoeki Mahdi Bogor: (0251) 8324024, 8324025, 8320467
3. RSJ Soeharto Heerdjan Jakarta: (021) 5682841
4. RSJ Prof Dr Soerojo Magelang: (0293) 363601
5. RSJ Radjiman Wediodiningrat Malang: (0341) 423444

Ikuti saluran WhatsApp CNA Indonesia untuk dapatkan berita menarik lainnya. Pastikan fungsi notifikasi telah dinyalakan dengan menekan tombol lonceng.

Source: CNA/ps

Juga layak dibaca

Iklan
Iklan