Skip to main content
Iklan

Komentar

Komentar: Harapan semu dari pengakuan negara Palestina

Pengakuan idealnya mencerminkan aspirasi rakyat Palestina, bukan dipakai sebagai instrumen untuk menekan Israel dalam perangnya melawan Hamas, tulis Kepala Middle East Institute, National University of Singapore, Joseph Chinyong Liow.

 

Komentar: Harapan semu dari pengakuan negara Palestina

Warga Palestina yang mengungsi dari Gaza utara akibat operasi militer Israel bergerak ke selatan setelah pasukan Israel memerintahkan penduduk Gaza City untuk mengevakuasi diri, di Jalur Gaza tengah, 16 September 2025. (Foto: Reuters/Mahmoud Issa)

SINGAPURA: Awal bulan ini, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan suara mayoritas (142 banding 10, dengan 12 abstain) menyetujui “Deklarasi New York” yang merinci langkah menuju solusi dua negara bagi konflik Israel-Palestina serta upaya mengakhiri bencana kemanusiaan di Gaza.

Sejalan dengan Deklarasi itu, beberapa negara anggota, termasuk negara besar di G7 yakni Inggris dan Kanada, pada Minggu (21/9) secara resmi mengakui Negara Palestina. Sejumlah negara lain, termasuk Prancis, Luksemburg, dan Malta, menyusul dengan pengumuman resmi pada Senin dalam konferensi khusus PBB. Mereka bergabung dengan 147 dari 193 negara anggota PBB yang sudah lebih dulu memberikan pengakuan.

Singapura, sementara itu, menyatakan siap meninjau kembali posisinya terkait pengakuan negara Palestina apabila situasi terus memburuk, kata Menteri Luar Negeri Vivian Balakrishnan di parlemen pada Senin.

Di tengah dorongan diplomatik ini, Israel tetap tidak mengacuhkannya. Serangan tanpa henti di Gaza terus berlanjut, sementara rencana menganeksasi lebih banyak wilayah di Tepi Barat, yang dinilai ilegal menurut hukum internasional, kian dipercepat. Perdana Menteri Benjamin Netanyahu tidak hanya secara tegas menolak solusi dua negara, tetapi juga menolak hak Palestina untuk eksis sebagai sebuah negara.

Kebuntuan ini menyoroti kenyataan bahwa jalan menuju pengakuan Palestina dipenuhi sejumlah fakta pahit. Pertama, tanpa persetujuan Israel dan dukungan Amerika Serikat, mustahil ada negara Palestina yang berdaulat. Kedua, masih diragukan sejauh mana pengakuan terhadap Palestina dalam kondisi saat ini dapat mengubah kondisi di lapangan bagi warga Gaza.

APAKAH MENGAKUI PALESTINA ADALAH KEWAJIBAN “MORAL”?

Sekilas, secara naluriah sulit untuk menentang gagasan pengakuan. Dibayangi gambar penderitaan di Gaza, kebanyakan orang menganggap bahwa pengakuan kenegaraan memang langkah yang benar.

Namun kenyataannya lebih rumit dari itu. Pertama, pengakuan seharusnya mencerminkan aspirasi rakyat Palestina, bukan dijadikan alat tawar untuk menekan Israel dalam perangnya dengan Hamas. Keduanya isu yang berbeda.

Kedua, beberapa negara G7 yang baru-baru ini mengakui Palestina melakukannya dengan syarat tertentu, di antaranya gencatan senjata, dikeluarkannya Hamas dari proses politik, serta dukungan terhadap solusi dua negara. Pada kenyataannya, syarat-syarat ini tidak jauh berbeda dengan negara lain yang sudah lebih dulu mendukung keanggotaan penuh Palestina di PBB, termasuk Singapura.

Dalam pernyataan resminya di parlemen pada Senin, Menlu Singapura Vivian Balakrishnan mengecam tindakan Israel, menegaskan kesiapan Singapura untuk mengakui Palestina setelah syarat-syarat tertentu terpenuhi, serta merinci langkah-langkah yang akan terus dilakukan Singapura guna membantu mengatasi krisis kemanusiaan di Gaza.

Memang, saat ini Negara Palestina sudah diakui oleh tiga perempat komunitas internasional, meski tanpa atribut kenegaraan. Namun status ini hanya memberi sedikit penghiburan bagi rakyat Gaza. Lebih penting lagi, selama dua aktor paling menentukan dalam skenario pelik ini, Amerika dan Israel, menahan dukungan mereka, negara Palestina yang sepenuhnya berdaulat tak mungkin terwujud.

APA YANG MEMBUAT SEBUAH NEGARA MENJADI NEGARA?

Apa kemungkinan bagi terwujudnya negara Palestina yang berdaulat? Untuk menjawab pertanyaan ini, ada baiknya menilik Konvensi Montevideo 1933 tentang Hak dan Kewajiban Negara yang menetapkan ciri dasar kenegaraan berdaulat: memiliki penduduk tetap, batas wilayah yang jelas, pemerintahan, serta kapasitas menjalin hubungan dengan negara lain.

Bagaimana kondisi Palestina hari ini jika diukur dengan kriteria tersebut?

Sekilas, tidak diragukan lagi bahwa Palestina memiliki penduduk permanen, meski ada berbagai upaya untuk menyingkirkan mereka. Namun persoalannya tidak sesederhana itu. Menurut badan PBB untuk pengungsi Palestina, UNRWA, ada hampir 6 juta pengungsi Palestina yang secara historis dipaksa meninggalkan rumahnya. Bagaimana negara Palestina yang berdaulat mengelola mereka, secara politik maupun administratif, harus diperhitungkan dalam persyaratann kenegaraan.

Wilayah Palestina saat ini tidak menyatu; Gaza dan Tepi Barat terpisah oleh 40km wilayah Israel. Slogan simbolis “from the river to the sea” memang populer di kalangan nasionalis Palestina, namun slogan ini menafikan hak sah Israel sehingga mustahil diwujudkan.

Begitu pula keinginan kalangan nasionalis “puritan” Palestina agar Yerusalem diakui sebagai ibu kota negara merdeka, fakta di lapangan menjadikannya mustahil. Secara konsep teritorial, itu juga bertentangan dengan solusi dua negara yang, meski kini sama-sama ditolak keras baik di Israel maupun Palestina, tetap merupakan satu-satunya opsi realistis.

Lahan yang saat ini berada di bawah pemerintahan Otoritas Palestina sejatinya hanya sekadar titel saja. Israel pada hakikatnya mengendalikan segala hal mulai dari akses fisik, keamanan, air, hingga perpajakan. Kondisi ini jelas tidak bisa diterima oleh rakyat Palestina. Namun justru karena itu, diperlukan kejelasan arah terkait perbatasan dan kapasitas kelembagaan, agar negara Palestina merdeka kelak tidak berubah menjadi negara gagal sejak hari pertama.

Terakhir, saat ini belum ada entitas yang mendapat dukungan mayoritas rakyat Palestina sekaligus siap menjalankan pemerintahan. Selalu ada perbedaan tajam pada dasar ideologis gerakan penentuan nasib sendiri Palestina, jika tidak diwarnai kekerasan - misalnya apa yang dilakukan Hamas terhadap sesama warga Palestina simpatisan Fatah setelah berkuasa di Gaza pada 2007, yang menumbuhkan ketidakpercayaan mendalam bahkan permusuhan terbuka di antara keduanya. Tidak jauh berbeda, Fatah legitimasinya telah runtuh di mata rakyat Palestina akibat korupsi bertahun-tahun dan ketidakmampuan memerintah.

DENGAN ATAU TANPA HAMAS?

Harus diakui, Hamas adalah pemicu siklus kekerasan terbaru di Gaza yang melukai psikologi nasional Israel, dan yang kini dijadikan pembenaran oleh banyak pemimpin Israel atas respons represif mereka. Namun, meskipun ada konsensus global bahwa Hamas tak boleh menjadi bagian dari masa depan Palestina, sejauh ini hampir tidak ada tanda-tanda kelompok itu siap melucuti senjata dan melepaskan perannya.

Survei yang dilakukan Mei tahun ini oleh Palestinian Center for Policy and Survey Research menunjukkan mayoritas warga Gaza menolak pelucutan senjata Hamas. Salah satu alasannya, mereka tidak percaya Israel akan mengakhiri perang meski Hamas telah melucuti senjata mereka. Jika dibaca bersama, ini menandakan prospek politik Palestina tanpa Hamas sulit terwujud.

Perlu diingat pula, Hamas dan sekutunya masih menahan hampir 50 sandera, termasuk sekitar 20 yang diyakini masih hidup. Pengakuan penuh terhadap Palestina jelas harus mencakup pembebasan mereka, tetapi itu berarti Hamas harus menyerahkan satu-satunya daya tawar yang mereka miliki.

Di sisi lain, tujuan Israel untuk secara permanen melenyapkan Hamas lewat cara militer tidak akan berhasil. Sekalipun hari ini Hamas bisa dilenyapkan, namun agresi militer Israel di Gaza justru akan memastikan ideologi yang melahirkan kelompok militan ini akan terus bertahan.

Karena itulah, persoalan pengakuan kenegaraan sejatinya jauh lebih rumit daripada sekadar pengakuan itu sendiri.

Semua ini menimbulkan pertanyaan yang meresahkan: adakah jalan lain menuju perdamaian, pragmatisme, dan kemitraan di Timur Tengah yang bisa memutus siklus konflik ini?

Untuk saat ini, memang sulit melihat secercah cahaya di ujung terowongan yang panjang dan melelahkan ini. Namun, diskusi barangkali bisa dimulai dari timbal balik pengakuan.

Saat ini, sejumlah negara Arab dan mayoritas Muslim tidak mengakui Israel, meski sebagian menjalin hubungan ekonomi secara diam-diam. Jika solusi dua negara tetap sulit dicapai, apakah bentuk “pengakuan timbal balik” tertentu — tanpa Hamas — bisa menjadi opsi yang siap dipertimbangkan para pihak terkait?

Semua ini tentu tidak dimaksudkan untuk menafikan harapan dan hak-hak rakyat Palestina atas negara serta tanah air mereka sendiri. Namun, harapan bukanlah sebuah strategi.

Selama belum jelas siapa yang akan memimpin Palestina menuju negara yang layak, efektif, dan stabil secara politik maupun ekonomi, pengakuan yang tergesa-gesa hari ini justru berpotensi melahirkan masalah lebih besar di masa depan. Inilah alasan Deklarasi New York mencoba menawarkan peta jalan, sekaligus pengingat bahwa tujuan itu masih jauh dari tercapai.

Joseph Chinyong Liow adalah Ketua Middle East Institute, National University of Singapore.

Ikuti saluran WhatsApp CNA Indonesia untuk dapatkan berita menarik lainnya. Pastikan fungsi notifikasi telah dinyalakan dengan menekan tombol lonceng.

Source: CNA/da

Juga layak dibaca

Iklan
Iklan