Komentar: Di era serba AI, ini 'senjata rahasia' manusia agar tetap bisa bersaing
Di tengah laju pesat AI, banyak yang bertanya, "Masih perlukah manusia belajar skill tertentu?" Terence Ho dari SUSS menegaskan, manusia tetap punya keunggulan tersendiri.
Lapangan pekerjaan dapat berubah secara signifikan dengan adanya AI, tetapi manusia tetap memiliki keunggulan tersendiri. (Foto: iStock/Edwin Tan)
SINGAPURA: Bulan lalu, kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) kembali mencetak prestasi besar. Versi terbaru Google Gemini AI sukses memecahkan lima dari enam soal di International Mathematics Olympiad — ajang matematika paling bergengsi untuk pelajar pra-universitas.
Prestasi itu setara medali emas, naik kelas dari medali perak tahun 2024. Jelas, AI berkembangnya sangat cepat.
Meskipun begitu, manusia masih sempat "membalas poin" lewat programmer asal Polandia, Przemyslaw "Psycho" Debiak, yang berhasil mengalahkan model AI buatan OpenAI dalam kontes maraton coding selama 10 jam di Tokyo.
Tetap saja, rasanya tinggal menunggu waktu sebelum AI akhirnya akan unggul di kompetisi semacam ini, seiring teknologi yang terus melaju tanpa henti.
Pertanyaannya, adakah bidang yang akan selalu jadi keunggulan manusia, di mana peran kita tidak akan tergeser?
Dan kalau ada, bagaimana sekolah atau kampus harus menyiapkan generasi baru menghadapi dunia yang sudah dikuasai AI?
KEUNGGULAN MANUSIA
Di tengah debat soal dampak AI generatif terhadap pekerjaan, satu hal mulai jelas: jumlah pekerjaan mungkin tidak akan turun drastis, tapi cara kita bekerja bakal berubah besar-besaran.
Skill seperti desain grafis, menulis profesional, atau coding — yang dulunya butuh keahlian khusus — sekarang bisa dilakukan lebih banyak orang karena kini AI "mempermudah" siapa pun untuk dapat menjadi desainer, penulis, atau coder dengan gaya sendiri.
Seperti halnya revolusi industri, era komputer, atau munculnya internet yang melahirkan jenis pekerjaan baru, AI juga akan menciptakan lapangan kerja yang baru, yang belum pernah ada di era sebelumnya.
Tapi pertanyaannya, lebih banyak pekerjaan bernilai atau justru pekerjaan repetitif?
Apakah AI bakal mengambil alih tugas paling sulit, atau malah membebaskan kita dari kerja membosankan supaya bisa mengerjakan hal yang lebih bermakna?
Salah satu alasan untuk tetap optimistis adalah mengingat bahwa pada dasarnya manusia memiliki keunggulan alami: kita dapat memahami dan memengaruhi orang lain.
Hingga saat ini, sulit membayangkan para konsumen atau pemilik bisnis sepenuhnya menyerahkan keputusan penting—seperti belanja, investasi, atau rekrutmen—sepenuhnya ke AI.
Alasannya, karena berbagai keputusan itu sifatnya sangat personal: terkait rasa nyaman, preferensi pribadi, dan rasa percaya.
Selama masih ada kebutuhan untuk meyakinkan seseorang, manusia punya keunggulan. Kita bisa membaca nada suara, bahasa tubuh, suasana hati, sampai kebiasaan orang, sesuatu yang sulit ditiru mesin.
AI generatif memang jago menulis dan berpikir logis karena dilatih dari berbagai macam data. Tapi banyak informasi tentang seseorang tidak pernah terekam, bahkan untuk figur publik sekalipun.
Artinya, orang yang benar-benar mengenal atau pernah berinteraksi langsung dengan pengambil keputusan, tetap punya nilai plus yang besar ketimbang AI untuk membuat presentasi, atau pitch, yang mengena di hati.
Pepatah lama "Siapa yang kamu kenal lebih penting dari apa yang kamu tahu" masih akan relevan di era yang serba AI ini.
Networking dan membangun kepercayaan itu pekerjaan manusia. AI bisa bantu bikin teks pidato atau mempercantik slide, tapi intuisi manusia tentang orang lain tetap tak tergantikan.
Begitu juga dengan kepemimpinan. Memimpin tim itu tidak hanya soal algoritma, tapi juga komunikasi, negosiasi, dan kompromi—hal-hal yang membutuhkan sentuhan manusia.
KEMAMPUAN MANUSIA UNTUK BERCERITA
Keunggulan lain manusia adalah kemampuan bercerita yang otentik. Cerita yang lahir dari pengalaman pribadi punya daya tarik yang sulit ditandingi AI.
Ini bisa dilihat di buku dan film. Fiksi memang menarik karena bisa menghadirkan drama manusia dalam dunia imajinasi, tapi kisah nyata atau memoar punya tempat spesial di hati audiens.
Dunia olahraga juga memberikan contoh jelas. Daya tarik olahraga ada pada drama manusia: rivalitas, jatuh-bangunnya bintang, perjuangan melawan rintangan, sampai keputusan sepersekian detik yang mengubah jalannya pertandingan.
Bahkan di catur, yang sudah lama dikuasai komputer, turnamen cepat dan blitz yang disiarkan langsung tetap ramai penonton, karena kesalahan manusia justru jadi daya tarik tersendiri.
Seperti halnya produk handmade yang dihargai tinggi di era produksi massal, konten yang melibatkan sentuhan manusia—entah di buku, film, atau olahraga—akan tetap punya nilai istimewa di era AI.
WAJIB PUNYA SKILL
Banyak yang bertanya, "Kalau AI sudah lebih pintar di banyak hal, apakah masih penting belajar skill tertentu?"
Jawabannya: tetap penting. Karena satu-satunya cara kita bisa memanfaatkan AI dengan benar adalah kalau kita sendiri paham keterampilan dasar suatu bidang.
Seseorang yang tidak bisa baca-tulis akan kesulitan memahami output AI.
Pemahaman anak SD tentang magnet jelas berbeda dari pemahaman mereka yang lulusan jurusan fisika, meskipun keduanya menggunakan platform AI yang sama.
Begitu juga menulis. Orang yang paham gaya bahasa akan lebih maksimal memanfaatkan teks buatan AI dibanding orang yang tidak menguasai dasar menulis.
Prinsip ini juga berlaku di bidang seni, desain, dan musik. Meskipun menggunakan AI, seorang profesional tetap dibutuhkan untuk memeriksa dan mengoreksi hasil AI supaya sesuai dengan tujuan.
Di dunia pemrograman, AI bisa mengerjakan banyak tugas, tapi saat coding bermasalah, pengetahuan mendalam seorang engineer tetap krusial untuk memperbaiki.
Di ranah riset, pakar yang memanfaatkan AI punya peluang terbesar membuat terobosan baru, dibanding orang awam yang hanya punya akses ke platform AI yang sama.
Oleh karena itu, ada kekhawatiran, kalau AI dapat mengambil alih pekerjaan level pemula, generasi muda tidak akan mendapat kesempatan untuk mengasah kemampuan mereka.
Untuk mengantisipasinya, para pelaku industri dan bisnis perlu memberi ruang belajar untuk anak muda, dan mereka pun harus pintar menggabungkan skill manusia dan AI sejak awal karier.
Intinya: Keunggulan manusia seharusnya jadi alasan untuk terus berinvestasi dalam skill, pengetahuan, dan keahlian, supaya AI menjadi alat pelengkap, bukan pengganti, kemampuan manusia.
Terence Ho adalah Associate Professor (Practice) di Institute for Adult Learning, Singapore University of Social Sciences (SUSS). Ia juga penulis buku Future-Ready Governance: Perspectives on Singapore and the World (2024).
Ikuti saluran WhatsApp CNA Indonesia untuk dapatkan berita menarik lainnya. Pastikan fungsi notifikasi telah dinyalakan dengan menekan tombol lonceng.