Sempat berpeluang hidup 5%, pensiunan tentara Singapura ini taklukkan kanker dan rintis bisnis penganan
Penyintas kanker Fuad Fahmi rintis bakeri rumahan Captain Roti, menjual aneka pastri ala Prancis dengan sentuhan lokal.
SINGAPURA: Aroma sedap dari pastri yang baru matang merebak di udara ketika Fuad Fahmi menguak pintu oven.
Di dalam pemanggang, sinar lampu terangi deretan rapi kroisan isi rendang ayam berwarna cokelat keemasan.
Nampan ditarik, dan ia pun memeriksa tiap kroisan dengan saksama.
Dengan pisau kecil bergerigi, ia iris penganan itu perlahan, dan wangi rempah pun menguar.
Kemudian, dengan lembut ia selipkan daun jeruk purut segar pada tiap kroisan, menambahkan sepercik warna.
Mondar-mandir di dapur, pria ramping berotot berumur 34 tahun ini tampak segar bugar, berbanding terbalik dengan kondisinya enam tahun lalu, saat ia nyaris takluk hadapi kanker.
MELAWAN KANKER
Semua berawal dari rasa nyeri pada bagian bawah punggungnya, disusul mual berkelanjutan dan penurunan berat badan yang drastis.
Dua bulan kemudian, Desember 2016, hasil tes mengonfirmasi ketakutan terburuknya: Fuad menderita koriokarsinoma – kanker sel germinal – stadium 4.
“Saya hanya diberi 5 persen peluang bertahan hidup,” ujar Fuad.
“Sifatnya agresif dan kanker itu merebak ke organ-organ lain seperti paru-paru, kelenjar limpa. (Kanker itu) merayap ke atas dari kawasan testis dan sudah merebak ke sumsum tulang belakang, dan dikhawatirkan mungkin sampai ke otak.”
Kabar itu teramat menohok bagi Fuad yang kala itu merupakan instruktur tentara di Angkatan Bersenjata Singapura (Singapore Armed Forces, SAF). Ia berpangkat kapten saat pensiun.
“Saya selalu jadi orang yang menyokong gaya hidup sehat dan seimbang. Secara pribadi, saya memupuk kebiasaan makan yang baik, gemar pergi ke gym dan selalu berolah raga. Jadi amat sukar untuk menerimanya,” ungkapnya.
Fuad pun segera memulai kemoterapi yang berlangsung hingga delapan siklus, dan hal tersebut teramat membebani fisiknya.
“Perawatannya sangat, sangat keras dan saya terkena banyak efek samping, seperti diare dan mual, dan juga diserang demam panas karena perawatan itu sendiri,” jelasnya, menambahkan bahwa ia mengalami pendarahan hebat pascaoperasi hingga tak mampu menggerakkan kedua kakinya.
“Menjelang tahap akhir perawatan, saya benar-benar merasa seperti berputus asa. Dan saya memberitahu ayah saya: ‘Saya tidak mau menjalani kemoterapi lagi. Saya tidak mau lagi. Biarkan saya sendiri. Dan jika sudah tiba waktunya saya pergi, saya akan pergi’,”
Namun keluarga dan kekasihnya – istrinya sekarang – menolak untuk menyerah. Mereka justru kian semangat mendorongnya untuk gigih berjuang.
“Mereka betul-betul bersatu menentang kanker dan memberi saya sokongan yang hebat. Bukan hanya menyemangati saya tetapi juga membantu menjadikan masalah yang ada menjadi lebih terkelola serta mencarikan solusinya,” kenangnya.
“Mereka juga selalu mengingatkan bahwa saya harus berjuang untuk orang yang saya sayangi, dan bahwa saya masih muda, masih banyak yang perlu dicapai dalam hidup.”
Upaya mereka membuahkan hasil. Pada bulan Agustus 2019 – sembilan bulan sejak ia pertama kali didiagnosis menderita kanker stadium akhir – Fuad dinyatakan sembuh.
“Waktu doktor menyampaikan berita sudah tidak ada lagi penanda kanker dalam badan saya, saya tidak percaya,” ujarnya.
“Saya tidak mampu berkata-kata. Saya hanya memandang ayah saya dan memeluknya. Saya katakan: ‘Inilah yang telah kita perjuangkan. Mari kita memulai hidup baru.’ ... Saya begitu gembira.”
LEMBARAN BARU
Menjadikan kesehatan sebagai fokus, Fuad memutuskan untuk pensiun dini dari SAF dan menjajaki beberapa profesi baru, termasuk di bidang penjualan dan logistik.
Gairahnya tergugah ketika ia bekerja singkat di satu toko kecil yang menjual pastel isi kari di Tampines, Singapura. Ia menemukan bahan-bahan yang ia butuhkan untuk menciptakan hidup baru sesuai selera.
“Ada seorang pakcik ketika itu yang membuat roti di sana. Saya tanya apa dia bisa mengajari saya, dan dia berbagi resep singkat tentang cara membuatnya, dan itu agaknya menarik minat saya,” katanya.
“Saya menyukai ide membuat produk buatan tangan sendiri dan berbagi makanan dengan keluarga dan masyarakat.”
Belajar seluk-beluk pembuatan pastri lewat video-video di YouTube, minatnya terhadap seni ini terus ia kembangkan secara mandiri.
Meski tidak memiliki latar belakang kuliner, Fuad sigap menjajal resep-resep yang lebih rumit, termasuk viennoiserie – pastri ala Wina, Austria.
Februari tahun lalu, ia mulai menjajakan pastri buatannya di media sosial sebagai usaha sampingan yang ia namai Captain Roti.
Sebulan kemudian, didorong respon positif, ia memutuskan untuk melepas posisinya selaku manajer di satu perusahaan logistik untuk fokus pada bisnis penganannya.
Kini Fuad dapat menjual 2.000 hingga 2.500 pastri per bulan. Impiannya ke depan adalah mendirikan akademi bakerinya sendiri.
“Saya tidak pernah menyangka akan berada di tahap ini,” ujarnya. “Saya tadinya senantiasa berpikir saya akan punya karir bagus di SAF, atau mungkin di tempat lain di luar. Tetapi di sinilah saya, melakukan sesuatu yang saya sukai, walaupun minat ini baru saja saya temukan.
“Tetapi ini bukti bahwa tidak ada kata terlambat dan selalu ada jalan bagi Anda untuk menunjukkan kreativitas atau mencari jalan melalui apa pun rintangan yang menghalangi jalan Anda,” katanya.
“Kalau saya tengok kembali seluruh perjalanan saya, termasuk perjuangan saya melawan kanker, saya merasa sangat bersyukur. Ada banyak hal yang perlu disyukuri sepanjang perjalanan ini.”
Baca artikel ini dalam Bahasa Inggris.
Baca juga artikel Bahasa Indonesia ini mengenai mengenai masih adanya harapan bagi anak-anak yatim korban COVID-19.
Ikuti CNA di Facebook dan Twitter untuk lebih banyak artikel.