'Kalau pulang saya ditangkap': Dilema para WNI kombatan Suriah dan ancaman terorisme yang menyertai
Dilabeli foreign terrorist fighter (FTF), para WNI di Suriah akan menghadapi hukuman penjara dan wajib menjalani deradikalisasi jika pulang ke tanah air. Pemerintah Suriah yang baru membuka opsi menjadikan mereka warga negara.

Tentara Hay'at Tahrir al-Sham (HTS), menggelar parade militer setelah Presiden Suriah Bashar al-Assad digulingkan, di Damaskus, Suriah, 27 Desember 2024. (Foto: Reuters/Amr Abdallah Dalsh/File Photo)
JAKARTA: Berdiri di atas sebuah landasan beton, Abu Ilyas—bukan nama sebenarnya—memperlihatkan kondisi sekeliling pantai Kota Tartus yang dipenuhi bebatuan besar, pasir dan kerikil. Dari kamera ponselnya, terlihat beberapa bangunan kosong di bibir pantai.
Membelakangi matahari pagi yang sinarnya menyengat, bayangan tubuh Ilyas membentuk siluet saat melakukan panggilan video dengan CNA Indonesia dari Jakarta.
"Nanti, belum waktunya wajah saya terlihat," kata Ilyas, ketika CNA Indonesia meminta dia memperlihatkan wajah dalam wawancara pada 1 Februari 2025.
Ilyas mengaku baru sampai di Tartus, kota pesisir sebelah barat Suriah yang terletak 200 km dari tempatnya tinggal di Idlib, untuk melakukan patroli dan razia senjata.
"Masih banyak bekas tentara rezim (Bashar al-Assad) yang bersembunyi, dan belum semua senjata diamankan," kata pria berusia 38 tahun ini.
Ilyas adalah warga negara Indonesia (WNI) yang bergabung dengan Hay'at Tahrir al-Sham (HTS), kelompok pemberontak yang menggulingkan Presiden Suriah Bashar al-Assad pada 8 Desember 2024 lalu dan membentuk pemerintahan transisi di negara itu.

Di mata hukum, dia dianggap pejuang teroris asing atau foreign terrorist fighter (FTF) karena bergabung dengan organisasi yang dilabeli teroris oleh Dewan Keamanan PBB dan negara-negara Barat.
Diduga masih ada ratusan WNI yang menjadi FTF di Suriah. Jika pulang ke Tanah Air, mereka akan jadi sasaran penangkapan dengan ancaman hukuman penjara. Para pengamat mengatakan bahwa mereka masih menjadi ancaman keamanan bagi Indonesia jika pulang nanti.
Diincar aparat penegak hukum, mereka enggan pulang kendati kerinduan terhadap keluarga sudah membuncah. Sebagian besar dari mereka berharap bisa menjadi warga negara Suriah di pemerintahan yang baru ini.
"Saya anggota resmi HTS. Selangkah lagi saya bisa menjadi warga negara Suriah," ujar WNI anggota HTS di kota Lattakia dengan nama samaran AF, 34, kepada CNA Indonesia.
Tidak hanya HTS, beberapa WNI juga bergabung dengan kelompok teroris ISIS di Suriah. Kini WNI anggota ISIS, yang kebanyakan tersisa perempuan dan anak-anak, tinggal di dua kamp pengungsi yang dikuasai pasukan Kurdi.
Sejak tahun lalu, pemerintah Indonesia telah menggelontorkan wacana untuk merepatriasi para FTF yang berada di Suriah untuk mendapatkan hukuman di dalam negeri dan menjalani babak panjang deradikalisasi sebelum akhirnya bisa kembali ke masyarakat.
Meski repatriasi belum terlaksana, namun menurut pakar terorisme, pemerintahan Presiden Prabowo Subianto saat ini lebih terbuka untuk pemulangan para FTF jika dibandingkan pendahulunya, Presiden Joko Widodo, yang menutup pintu rapat-rapat bagi mereka.

AKTIF DI FACEBOOK
Dalam perbincangan dengan CNA Indonesia, Ilyas mengaku ditugaskan berangkat ke Tartus dalam sebuah majmuah musyat atau kelompok infanteri kecil.
"Saya jadi wakil komandan majmuah. Ini kelompok kecil, terdiri dari delapan orang," kata Ilyas.
Setelah rezim runtuh, para tentara Assad dilucuti senjatanya dan wajib lapor. Namun, kata Ilyas, ada beberapa oknum bekas tentara yang masih melakukan perlawanan di sana-sini, terutama di daerah yang berbatasan dengan Lebanon, termasuk Tartus.
"Tadinya di tempat ini (Tartus) lengkap (infrastrukturnya), tapi tentara-tentara itu mengambil semuanya, seperti pemancar dan tembaga," kata dia, dengan suara sedikit terputus-putus akibat buruknya sinyal ponsel.
Pria asal Sulawesi ini mengaku datang ke Suriah pada 2013 dan bergabung dengan kelompok pemberontak Jabhat al-Nusra, organisasi teroris yang berafiliasi dengan Al-Qaeda dan cikal bakal HTS saat ini.
Sejak saat itu, dia kerap ikut mengangkat senjata dan terlibat dalam berbagai pertempuran bersama HTS. Dia mengaku beberapa kali hampir mati dalam pertempuran jarak dekat.
Sebelas tahun berselang, Ilyas kini sudah menetap di Idlib, menikahi perempuan Suriah dan memiliki tiga anak.
"Kami telah hidup harmonis di sini, dianggap sebagai bagian dari keluarga," kata dia.
Ali Husni, WNI relawan pemberi bantuan dan dilabeli sebagai FTF, menjelaskan bahwa banyak WNI di HTS yang bertugas seperti Ilyas. Biasanya, mereka dikerahkan ke kota-kota kecil untuk menyisir senjata dan ranjau darat yang masih ditinggalkan tentara Assad.
"Mereka ditugaskan macam-macam, ada yang jadi komandan regu, pelontar mortir, sampai sniper," kata Ali, 45, yang saat itu juga berada di Tartus untuk menyalurkan bantuan roti bagi warga.
"Setahu saya di kota Idlib tempat saya tinggal jumlah orang Indonesia di bawah 100 orang."

Adlini Ilma Ghaisany Sjah, pakar terorisme dan peneliti dari International Centre for Political Violence and Terrorism Research, S. Rajaratnam School of International Studies (RSIS), Singapura, mengatakan bahwa berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Terorism (BNPT) pada 2021 ada sekitar 1.000 WNI yang ke Suriah dan menjadi FTF karena didorong oleh keinginan berjihad.
"Saat itu masih ada 800 orang di wilayah konflik, sementara 100 lainnya meninggal dan 50 sudah pulang. Tidak semua WNI ini adalah pejuang aktif," kata Adlini kepada CNA Indonesia.
CNA Indonesia telah mencoba mengonfirmasi hal ini ke BNPT namun belum mendapatkan respons.
"Beberapa FTF asal Indonesia telah berlatih bersama (kelompok teror Suriah) Ahrar al Sham, Tentara Pembebasan Suriah, dan Suquor al-Izz di Suriah. Kelompok-kelompok pemberontak ini sangat cair dan ketiganya kadang bergabung di bawah payung HTS, seperti saat penyerangan Damaskus," kata Adlini, menyinggung penyerangan ibu kota Suriah pada Desember lalu yang menggulingkan Assad.
Di antara WNI yang bergabung dengan HTS di Suriah adalah 16 orang anggota Jemaah Islamiyah (JI), kelompok teroris yang telah menyatakan diri bubar pada Juli tahun lalu.
Arif Siswanto, mantan ketua tim lajnah (Dewan Syuro) JI, dikutip Sindonews pada Desember lalu mengatakan bahwa ke-16 WNI itu adalah jebolan sasana JI.
Sasana JI adalah pusat pelatihan kelompok teroris yang berhasil dibongkar oleh tim Detasemen Khusus 88 (Densus 88) Antiteror Polri pada 2020 di berbagai lokasi di Jawa Tengah. Di sasana ini, mereka diajari penggunaan senjata api hingga merakit bahan peledak sebagai persiapan bergabung dengan Jabhat al-Nusra di Suriah.
Selain HTS, beberapa WNI lainnya bergabung dengan ISIS, kelompok teror yang menggunakan kekerasan sadis sebagai alat propagandanya.
CNA Indonesia menelusuri keberadaan para WNI yang menjadi FTF di Facebook dan mencoba mengontak mereka sejak awal Januari 2025. Beberapa di antara mereka membagikan kegiatan di ketentaraan Suriah, kuliner hingga rekreasi keluarga.
Muhammad Makmun Rasyid, pakar terorisme dari Badan Penanggulangan Ekstremisme dan Terorisme Majelis Ulama Indonesia (BPET MUI), mengatakan bahwa HTS memang "mengajarkan afiliasinya atau klan-klan kecil yang direkrutnya aktif di dunia digital".
"Di samping mencari suaka secara politis, juga ada yang masih bernarasi tentang jihad ... Ini dianggap (bagian dari) jihad melawan penguasa bagi mereka," kata Makmun kepada CNA Indonesia, seraya menjelaskan bahwa BPET MUI adalah mitra komunikasi dan koordinasi aparat penegak hukum di Indonesia terkait penanganan WNI terasosiasi FTF.
Salah satu yang aktif di Facebook adalah AF, memiliki lebih dari 6.000 follower. Di akun media sosialnya, dia membagikan perkembangan politik di Suriah hingga kesehariannya di negara itu, termasuk kegiatannya bersama anak-anaknya.
Kepada CNA Indonesia, dia mengatakan bahwa anggota ISIS yang saat ini mendekam di kamp pengungsian juga punya akun Facebook. Namun AF yang sudah berada di Suriah sejak 2016 bersikeras bahwa mereka yang bergabung dengan HTS memiliki ideologi dan cara yang berbeda dengan ISIS.
"Bahkan kami juga dianggap kafir oleh mereka," kata AF soal ISIS yang menganggap kafir orang-orang yang berbeda pemahaman.
Pria asal Jawa Timur ini mengaku tergerak untuk berangkat ke Suriah saat menjalani program magang kerja di Jepang. Sepulangnya ke Indonesia, dia memutuskan berangkat ke Suriah seorang diri, masuk melalui jalur Turkiye.
"Saya ingin membantu kaum Muslimin di Suriah untuk menyingkirkan diktator yang sudah 54 tahun berkuasa dan membantai rakyat," kata AF, soal kepemimpinan dinasti Assad sejak tahun 1970-an.
Ketika awal masuk Suriah, AF bekerja sebagai penyalur bantuan di bawah bendera sebuah organisasi amal. Organisasi tersebut kemudian bubar, lalu dia bergabung dengan HTS.
BNPT dalam sebuah publikasinya tahun 2024 mengatakan bahwa jalur bantuan kemanusiaan memang salah satu cara FTF untuk menjadi kombatan di Suriah. Beberapa WNI yang berafiliasi dengan FTF juga dituding mengumpulkan donasi dari masyarakat Indonesia untuk mendanai organisasi teror di Suriah.
"Berbagai lembaga amal dari Indonesia telah memberikan sumbangan kepada Huras as-Din, kelompok sempalan yang pro Al-Qaeda dari HTS, sementara pendukung Hizbut Tahrir Indonesia lebih mendukung kelompok Hizbut Tahrir di Suriah," kata Adlini.
Ali Husni yang kerap membagikan kegiatannya di Facebook dan memiliki lebih dari 1.600 followers mengatakan bahwa dia memang telah diincar aparat. Bendaharanya di Indonesia, kata dia, bahkan sudah ditangkap polisi.
Namun dia membantah tuduhan penggunaan dana sumbangan untuk organisasi teror.
"Beberapa kali polisi (Indonesia) menginterogasi saya (melalui telepon). Kami membantah," kata Ali yang mengaku pernah mengumpulkan dana hingga Rp2 miliar per tahun, salah satunya untuk membangun pabrik roti dan 'Pengungsian Indonesia Raya' di Idlib yang menampung sekitar 100 pengungsi dari 37 keluarga.

INDONESIA BELUM MENGAKUI PEMERINTAH BARU SURIAH
Setelah Assad kabur ke Rusia, pemerintahan Suriah dipegang oleh HTS yang telah bertransformasi dan membentuk pemerintahan transisi di bawah kepemimpinan Presiden interim Ahmed Hussein al-Sharaa, alias Abu Mohammad al-Julan, mantan komandan tinggi HTS.
Saat ini, al-Sharaa bekerja keras menggalang pengakuan internasional dengan menyatakan bahwa dia akan memberantas kelompok teror di Suriah dan memulai proses pembentukan pemerintahan baru yang inklusif serta menggelar pemilihan umum empat tahun lagi.
Arab Saudi menjadi negara tujuan kunjungan luar negeri pertamanya dan bertemu dengan Putra Mahkota Mohammed bin Salman pada awal bulan ini. Dia kemudian meneruskan perjalanan ke Turkiye dan bertemu dengan Presiden Reccep Tayyip Erdogan.
Baik Saudi dan Turkiye mendukung pemerintahan transisi dan upaya pemberantasan terorisme di Suriah.
Pemerintah Indonesia sampai saat ini belum menyatakan sikapnya terkait pemerintah baru Suriah. Juru bicara Kementerian Luar Negeri Indonesia Rolliansyah Soemirat mengatakan mereka masih "terus memantau secara intensif perkembangan di Suriah, terutama isu perlindungan WNI."
"Untuk hal lainnya terkait perkembangan politik di Suriah, pemerintah akan terus melakukan koordinasi dan dialog dengan berbagai negara kunci melalui forum-forum multilateral terutama PBB dan OKI (Organisasi Kerja Sama Islam)," kata Rolliansyah kepada CNA Indonesia.
Dr Teuku Rezasyah, dosen hubungan internasional di Universitas Padjadjaran dan President University, mengungkapkan pendapatnya mengapa Indonesia bersikap tidak tergesa-gesa dalam hal ini.
"Karena ujungnya masih belum jelas, apakah pemerintah (Suriah) legitimate atau tidak. Kalau pemerintah Indonesia mengakui dan (Suriah) menjadi tidak stabil, maka ini jadi preseden buruk bahwa keputusan Indonesia dibuat dengan tergesa-gesa," kata Teuku kepada CNA Indonesia.
Setelah HTS memegang pemerintahan, para kombatannya termasuk WNI diangkat menjadi tentara nasional Suriah dan mendapatkan gaji resmi dari pemerintah. Beberapa FTF asal China yang beretnis Uighur, Yordania dan Turkiye bahkan mendapatkan pangkat tinggi di kemiliteran Suriah.
"Itu rahasia dapur, tapi (gajinya) cukup," kata AF ketika ditanya berapa gaji yang diperolehnya dari pemerintah Suriah.
AF mengatakan, dengan HTS yang menjadi pemerintah dan dirinya sebagai tentara resmi, seharusnya label teroris sudah tidak lagi dilekatkan kepada dirinya. Menurut dia, saat ini pasukan HTS dianggap pahlawan di Suriah karena berhasil menggulingkan rezim Assad.
Dr Ardi Putra Prasetya, kriminolog dari Universitas Indonesia, mengatakan meski HTS kini telah berkuasa di Suriah, namun para WNI FTF ini masih dianggap melanggar hukum karena bergabung ketika HTS belum menjabat pemerintahan.
Hukuman terhadap mereka diatur dalam Undang-undang No 5/2018 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme dengan ancaman penjara antara empat hingga 15 tahun.
"Secara delik hukum, mereka telah melakukan pelanggaran sehingga sudah memenuhi syarat untuk diadili ketika pulang nanti. Mereka juga mengikuti pelatihan paramiliter (di luar negeri), yang juga merupakan pelanggaran hukum," kata Ardi.
CNA Indonesia telah mengirimkan surat resmi ke Densus 88 untuk meminta informasi lebih lanjut soal WNI FTF di Suriah, namun belum mendapatkan jawaban.

REPATRIASI FTF DARI SURIAH
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) pada Mei tahun lalu telah mengusulkan repatriasi atau pemulangan WNI FTF di Suriah kepada kepada Presiden Joko Widodo.
Data terbaru BNPT menyebutkan bahwa terdapat 375 WNI eks ISIS, kebanyakan perempuan dan anak-anak, yang saat ini berada di kamp Al Hawl dan Al Roj yang dikelola pasukan Kurdi di utara Suriah, berbatasan dengan Irak.
Mereka terlunta-lunta setelah ISIS ditumpas pada 2019 dengan pemimpinnya Abu Bakar al-Baghdadi terbunuh dalam serangan pasukan Amerika Serikat.
Deputi Bidang Penindakan dan Pembinaan Kemampuan BNPT Irjen Pol. Ibnu Suhaendra seperti dikutip Antara pada Mei 2024 mengatakan bahwa Indonesia adalah satu dari sedikit negara yang belum menjemput warganya yang terafiliasi FTF dari Suriah.
Sebelumnya pada 2023, pemerintah melalui Keputusan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, Keamanan (Menkopolhukam) Nomor 90 Tahun 2023 mengeluarkan perintah untuk membentuk satuan tugas lintas kementerian dan lembaga untuk penanganan WNI terasosiasi FTF.
Dalam publikasi BNPT tahun 2024 disebutkan, proses repatriasi nantinya akan melibatkan tiga tahapan, yaitu sebelum perbatasan, di perbatasan dan setelah melintasi perbatasan.
Tahap sebelum perbatasan adalah proses identifikasi dan verifikasi data. Tahapan perbatasan adalah proses pemulangan setelah ada keputusan resmi dari pemerintah. Sementara, tahapan setelah perbatasan adalah identifikasi personal untuk penegakan hukum dan menilai tingkat radikalisme individu untuk proses deradikalisasi serta reintegrasi.
Jokowi pada 2020 tegas menolak memulangkan para FTF ke Indonesia. Di antara perdebatan yang muncul saat itu, selain dapat menyebarkan paham radikalisme di Tanah Air, para FTF juga dinilai sudah bukan warga negara Indonesia lagi karena bergabung dengan tentara asing.
Namun, menurut Yusril Ihza Mahendra, Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Indonesia, para FTF ini masih WNI karena "belum menyampaikan permohonan kehilangan kewarganegaraan" sebagaimana yang tertuang dalam undang-undang.
"Dengan demikian, WNI yang tergabung dalam HTS belum kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia, status kewarganegaraannya masih WNI," ujar Yusril saat dihubungi CNA Indonesia.

Selama masih berstatus WNI, berarti mereka berhak mendapatkan perlindungan dari negara, ujar Direktur Pelindungan WNI Kemlu RI Judha Nugraha.
"Setiap WNI di luar negeri akan diberikan bantuan kekonsuleran oleh Perwakilan RI. Jika mereka melakukan pelanggaran hukum Indonesia, mereka tetap harus mempertanggungjawabkannya," kata Judha kepada CNA Indonesia.
Meski telah disampaikan permohonan repatriasi dan pembentukan satgas, sampai saat ini pemulangan WNI terafiliasi FTF dari Suriah belum juga diumumkan pemerintah.
Makmun dari BPET MUI yang mengetahui rencana repatriasi ini mengatakan, awalnya pemerintah akan memulangkan para WNI FTF itu di tahun 2024. Namun karena terjadi perkembangan baru di Suriah, yaitu jatuhnya rezim Assad dan HTS menguasai pemerintah, pemerintah Indonesia akhirnya memutuskan menyusun strategi kembali.
"KBRI di Damaskus, Kemlu dan pihak terkait juga masih akan menentukan langkah sikap politik-diplomatisnya untuk Suriah," kata Makmun.
"Ini faktor yang menentukan keterlambatan waktu untuk memulangkan. Di samping keterbatasan anggaran pasca instruksi (penghematan anggaran) Prabowo."
Kendati repatriasi belum terlaksana, namun Adlini dari RSIS mencermati adanya perubahan sikap pemerintah Indonesia saat ini di bawah Presiden Prabowo Subianto yang lebih terbuka untuk repatriasi, terlihat dari beberapa institusi pemerintah yang mengajukan pemulangan WNI bermasalah dari berbagai negara, termasuk Hambali, tersangka Bom Bali pada tahun 2002 yang kini ditahan oleh Amerika Serikat di Penjara Guantanamo.
Di saat yang sama, kata Adlini, infrastruktur dan kerja sama antar lembaga di Indonesia kini juga lebih siap untuk menyambut para FTF pulang ke Tanah Air.
"Demi keamanan dan masa depan Indonesia, lebih baik mereka direpatriasi. Jika tidak, mereka bisa semakin lama berada dalam jaringan teror asing, dan bisa menyebarkan propaganda serta merekrut lebih banyak lagi warga Indonesia, serta semakin sulit dipantau dan dikendalikan," kata dia.
ANCAMAN KEAMANAN, DERADIKALISASI SOLUSINYA
Menurut Dr Noor Huda Ismail, pakar terorisme dan peneliti tamu di RSIS, meski nantinya para FTF menjalani hukuman penjara, namun mereka masih menjadi ancaman di Indonesia, terutama yang pernah terlibat langsung dalam pertempuran.
"Kalau kita melihat kepemimpinan di dalam Jemaah Islamiyah (JI) sebelum mereka bubar, biasanya pemimpinnya adalah orang-orang yang pernah terlibat di konflik. Mereka memiliki karisma khusus yang bisa mempengaruhi orang lain," kata Huda.
"Ada militarize masculinity, kecondongan terhadap orang yang punya pengalaman tempur. Tidak hanya di kelompok teror, masyarakat umum pun begitu, ada penghormatan yang lebih kepada anggota militer."
Laporan United Nations Development Programme (UNDP) pada 2020 berjudul "Homecoming: The Return of Foreign Terrorist Fighters in South-East Asia" menyebutkan, para FTF yang pulang dari perang Soviet-Afghanistan pada tahun 1980-an telah membangkitkan gerakan-gerakan ekstrem kekerasan di seluruh dunia, termasuk JI di Malaysia dan Indonesia.
FTF yang terlibat pertempuran di Suriah, bunyi laporan UNDP, memiliki berbagai kemampuan perang, seperti melancarkan propaganda, merakit bom atau mengoperasikan drone. Banyak dari mereka juga menyaksikan tindakan teror maupun melakukan kejahatan perang di Suriah.
"Pemerintah negara-negara Asia Tenggara khawatir FTF yang pulang akan membangkitkan ekstremisme di negaranya sendiri, dan jaringan yang telah mereka bentuk di Irak dan Suriah dapat memperkuat jaringan teror regional dan internasional," bunyi laporan tersebut.
Makmun dari BPET MUI mengatakan, cara agar para FTF ini dapat melepaskan ideologi ekstrem dan tidak kembali ke jaringan teroris adalah dengan melalui proses rehabilitasi.
"Program pencegahan, pemantauan, serta deradikalisasi yang efektif menjadi kunci dalam proses rehabilitasi ini," kata Makmun.
Ibnu Suhaendra dari BNPT pada Mei tahun lalu mengatakan mereka telah bekerja sama dengan Kementerian Sosial untuk menyiapkan Sentra Handayani di Cipayung, Jakarta Timur, sebagai lokasi pelaksanaan program deradikalisasi FTF dari Suriah.

Ardi, kriminolog dari Universitas Indonesia, mengatakan bahwa proses deradikalisasi berlangsung selama enam bulan, dan dapat diperpanjang enam bulan lagi jika diperlukan. Kemudian setelah satu tahun, BNPT akan melakukan evaluasi untuk menentukan apakah diperlukan terapi lanjutan atau tidak.
Kepada CNA Indonesia, Ardi mengakui bahwa deradikalisasi yang paling sulit dilakukan adalah terhadap para criminal career, atau mereka yang sudah lama berkecimpung di kelompok teror, sejak usia-usia emas, termasuk para FTF yang sudah belasan tahun di Suriah.
"Karena belief system-nya sudah terlalu meyakini sesuatu yang berbeda dengan norma dan nilai yang berlaku, dan kulturnya sudah mengkristalisasi. Untuk mengubah itu lumayan susah," kata Ardi yang terlibat langsung dalam program deradikalisasi BNPT.
Dalam proses deradikalisasi, terlebih dulu akan dilakukan identifikasi mengapa seseorang menjadi radikal. Tidak melulu karena kesalahan dalam memahami agama, kata Ardi, ada juga yang menjadi FTF ke Suriah karena ingin mendapatkan materi, mencari sensasi, atau krisis identitas.
Prosesnya kemudian dilakukan secara bertahap untuk menurunkan tingkat radikalisasi seseorang.
Ardi melanjutkan, keberhasilan deradikalisasi ini bisa diukur dari sikap mereka yang tidak lagi setuju dengan penggunaan kekerasan, mengakui hukum di Indonesia, mau berkomunikasi dengan masyarakat, dan menghargai perbedaan.
Selain itu, lingkungan sosial dan keluarga sangat penting dalam mencegah orang tersebut kembali melakukan tindakan teror.
"Ideologi itu sifatnya up and down. Salah satu penghambat seseorang melakukan aksi teror salah satunya adalah intervensi keluarga dan lingkungan. Jika masyarakat masih memberikan stigma negatif, maka mereka bisa radikal kembali," ujar Ardi.

JADI WARGA NEGARA SURIAH?
Para WNI anggota HTS di Suriah mengaku enggan mengikuti repatriasi jika mereka memang ditawarkan. Pasalnya, mereka takut ditangkap dan diadili sekembalinya ke Indonesia.
"Saya sangat kangen sekali dengan keluarga. Tapi kalau pulang, saya ditangkap Densus karena dicap teroris. Mereka akan memenjarakan saya," kata Ilyas, menyebut Detasemen Khusus 88 Anti Teror Kepolisian Indonesia.
Ilyas sendiri masih memiliki orangtua di Sulawesi dan sering kontak dengan mereka hingga saat ini.
Ali, yang memiliki tiga anak dari pernikahannya dengan perempuan Suriah, mengatakan banyak WNI anggota HTS mengaku rindu dengan keluarga di Indonesia, tapi mereka memilih bertahan di negara itu karena khawatir dipenjara.
Selain itu, kata dia, ada peluang bagi mereka di sini untuk menjadi WN Suriah. "HTS memberikan jaminan mendapat kewarganegaraan Suriah begitu kondisi sudah stabil," kata Ali.
"Saya pun kemungkinan besar akan mengambilnya (tawaran jadi WN Suriah)."
Hal ini telah disampaikan juga oleh Presiden interim Suriah al-Sharaa dalam wawancara dengan beberapa media Barat pada pertengahan Desember 2024.
Al-Sharaa mengatakan para FTF ini adalah bagian dari pergerakan yang telah meruntuhkan Assad dan harus dihargai. Menurut al-Sharaa, mereka "bisa berintegrasi karena memiliki ideologi dan nilai-nilai yang sama dengan masyarakat Suriah".
AF sendiri sudah mengurus pindah kewarganegaraan Suriah. Dia juga mengaku sudah menyampaikan hal ini secara langsung kepada pihak Kedutaan Besar Republik Indonesia di Damaskus beberapa waktu lalu.
"Saya bilang ke KBRI, saya akan ganti kewarganegaraan. Biar BIN (Badan Intelijen Negara) tidak takut saya bikin 'petasan' kalau pulang nanti," kata AF.
Ilyas mengatakan pindah kewarganegaraan adalah opsi yang terbaik saat ini karena ada perlindungan dan keamanan bagi diri dan keluarganya.
"Kalau misalnya Indonesia yang memberikan keamanan tersebut, tidak neko-neko (dipenjara), pengennya pulang ke Indonesia," kata dia.
Juru bicara Kemlu RI Rolliansyah mengatakan pemerintah "belum mendapatkan informasi apa pun" mengenai tawaran kewarganegaraan bagi WNI FTF di Suriah.
CNA Indonesia telah mencoba mengonfirmasi hal ini kepada pemerintah Suriah melalui kedutaan besar mereka di Jakarta, namun belum mendapatkan jawaban.
Pakar hubungan internasional Rezasyah mengatakan bahwa pindah kewarganegaraan akan menjadi "one-way ticket" bagi para WNI anggota HTS di Suriah. Mereka, kata dia, akan kesulitan mendapatkan visa untuk ke Indonesia mengunjungi keluarga.
"Kalau ingin bertemu keluarga, mereka harus di negara ketiga, misalnya di Saudi ketika umrah," ujar Rezasyah.
AF mengatakan, "tidak ada niatan sedikit pun dia ingin merusak Indonesia, karena saya lahir di sana, orang tua saya di sana". Namun, dia mengaku tidak masalah jika memang tidak bisa lagi pulang ke Indonesia.
"Karena saya ke Suriah memang bukan untuk pulang, tapi menetap. Saya sudah menikah di sini dan punya anak."
Ikuti Kuis CNA Memahami Asia dengan bergabung di saluran WhatsApp CNA Indonesia. Menangkan iPhone 15 serta hadiah menarik lainnya.