Skip to main content
Iklan

Indonesia

Amnesty International: Vonis praperadilan Delpedro Marhaen dkk menormalkan pembungkaman aktivis

Keputusan tersebut menunjukkan represi negara terhadap aktivis yang menyuarakan keresahan rakyat. 

Amnesty International: Vonis praperadilan Delpedro Marhaen dkk menormalkan pembungkaman aktivis
Seorang demonstran membawa bendera Indonesia memberi isyarat kepada polisi anti huru-hara saat bentrokan dalam aksi protes terhadap tunjangan berlebihan bagi anggota DPR, di luar gedung DPR RI di Jakarta, 28 Agustus 2025. (Reuters/Willy Kurniawan)

JAKARTA: Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menilai putusan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang menolak permohonan praperadilan empat aktivis yang diduga terlibat dalam aksi demo akhir Agustus 2025 lalu merupakan bentuk kemunduran dalam penegakan hukum dan kebebasan berekspresi di Indonesia.

Menurut Usman, hakim tunggal praperadilan kurang mempertimbangkan bukti-bukti yang diajukan para pemohon dan mengabaikan prinsip keadilan yang berkembang di masyarakat.

“Hakim tunggal praperadilan di PN Jakarta Selatan kurang adil dalam menimbang bukti-bukti yang diajukan para tersangka. Hakim juga kurang memperhatikan rasa keadilan di masyarakat. Putusan ini bisa menormalisasi pembungkaman kebebasan berekspresi,” kritik Usman dalam keterangan kepada CNA Indonesia, Selasa (28/10).

Ia menegaskan, hakim seharusnya menjadi pengawas terakhir atas dugaan penyimpangan proses hukum, bukan memperkuat praktik yang berpotensi melanggar asas peradilan yang adil (fair trial).

“Fakta-fakta yang diungkap Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) sudah cukup untuk mengoreksi tindakan polisi. Namun hakim justru memperkuat pengabaian prinsip due process of law,” tambahnya.

Usman menyebut, keputusan tersebut menunjukkan represi negara terhadap aktivis yang menyuarakan keresahan rakyat — padahal hal itu dijamin dalam UUD 1945 dan Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR).

“Negara seharusnya melindungi warga yang menyampaikan kritik, bukan menjadikannya musuh yang harus dipenjara,” tegasnya.

LATAR BELAKANG KASUS 

Sidang putusan praperadilan yang digelar di PN Jakarta Selatan pada Senin (27/10) menolak permohonan empat aktivis tersebut.

Mereka adalah Delpedro Marhaen dan Muzaffar Salim (pegiat HAM dari Lokataru Foundation), Syahdan Husein (aktivis Gejayan Memanggil), serta Khariq Anhar (aktivis Aliansi Mahasiswa Penggugat asal Riau).

Para aktivis itu mengajukan praperadilan untuk menguji keabsahan penangkapan, penyitaan, penahanan, dan penetapan tersangka oleh Polda Metro Jaya dalam kasus dugaan penghasutan terkait unjuk rasa yang berujung ricuh.

Kuasa hukum mereka, Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD), menilai ada sejumlah pelanggaran prosedural oleh kepolisian, antara lain:

  1. Penetapan tersangka tanpa pemeriksaan sebagai calon tersangka, bertentangan dengan Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014.
  2. Penyitaan barang milik aktivis tanpa izin Ketua Pengadilan Negeri setempat.
  3. Penangkapan tanpa pemanggilan terlebih dahulu.

Menurut pantauan Amnesty International Indonesia, sidang praperadilan digelar secara terpisah. 

Sidang pagi hari untuk permohonan Khariq Anhar sempat diwarnai ketegangan ketika petugas keamanan melarang pengunjung membentangkan poster dukungan. Seorang polisi bahkan terlihat merebut dan melempar poster tersebut, yang memicu protes dari pengunjung sidang.

Dengan ditolaknya permohonan mereka, keempat aktivis itu tetap berstatus tersangka kasus dugaan penghasutan dan akan menjalani proses hukum berikutnya.

Amnesty mencatat, mereka merupakan bagian dari 12 aktivis yang ditahan pasca-demo Agustus lalu, dan dijerat dengan pasal 160 KUHP tentang penghasutan, pasal 45A ayat (3) jo, pasal 28 ayat (3) UU ITE, serta pasal 76H jo. Pasal 15 jo. Pasal 87 UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.

Amnesty menegaskan, praktik kriminalisasi terhadap aktivis yang menyampaikan pendapat secara damai bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia dan negara hukum demokratis.

“Jika praktik semacam ini terus dibiarkan, Indonesia akan semakin menjauh dari prinsip negara hukum yang menjunjung tinggi HAM,” tutup Usman Hamid.

Source: Others/ew

Juga layak dibaca

Iklan
Iklan