Viral jasa sewa joki Strava untuk yang haus validasi, apakah melanggar hukum?
Beberapa pengguna Strava mendapat cuan dengan menjual pencapaian lari dan bersepeda mereka. Menurut pengacara, praktik menyewa joki ini bisa jadi pelanggaran hukum jika datanya digunakan untuk mencari keuntungan.
JAKARTA/SINGAPURA: Sembari menunggu ujian masuk kepolisian September nanti, Wahyu Wicaksono yang baru saja lulus SMA menemukan cara mendapatkan uang dari hobi larinya.
Wahyu menjadi "joki Strava", yaitu dengan menjual pencatatan larinya di aplikasi yang tengah populer itu kepada orang lain.
"Saya aktif di (media sosial) X dan itu (tren joki Strava) ramai di sana," kata Wahyu, 17, yang mulai memasarkan jasanya sejak dua pekan lalu.
"Saya hobi lari, jadi saya pikir harus memanfaatkannya dan menjadikannya bisnis."
Baru enam hari menjadi joki, Wahyu sudah mendapatkan enam klien.
Tarif yang dipatoknya adalah Rp10.000 per km untuk berlari di "Pace 4" (1km dalam empat menit). Untuk setiap km di "Pace 8" (1km dalam delapan menit), tarifnya Rp5.000.
Pembayaran dilakukan di muka sebelum Wahyu mulai berlari. Pencatatan bisa menggunakan akun Strava Wahyu atau milik kliennya, sesuai dengan permintaan. Bayaran terbesarnya sejauh ini adalah Rp100.000.
Di Indonesia, tren menjual jasa joki Strava tengah viral. Para joki menjual jasa mereka untuk pencatatan jarak dan kecepatan dalam lari, sepeda atau olahraga lainnya. Tidak hanya uang, mereka juga menerima bayaran berupa barang, misalnya energy bar.
Pengguna Strava sendiri punya motto “If it’s not on Strava, it didn’t happen” - jika tidak tercatat di Strava, maka tidak terjadi. Sedikit banyak, motto ini jugalah yang mendorong maraknya joki Strava.
Melalui aplikasi ini, pengguna bisa mengikuti sesama pengguna, serta membagikan dan memamerkan pencapaian mereka. Pengguna juga bisa ikut serta dalam perlombaan virtual untuk bersaing menempati ranking tertinggi dalam pengukuran jarak lari dan kecepatan.
Dalam situsnya, Strava mengaku memiliki lebih dari 100 juta pelanggan berbayar dan gratis yang tersebar di lebih dari 190 negara. Namun tidak ada laporan adanya joki Strava selain di Indonesia.
KLIEN "SEMUANYA LEBIH TUA DARI SAYA"
Fenomena ini sepertinya bermula dari sebuah postingan kelakar di X yang viral pada 3 Juli lalu.
"Btw aku buka joki strava yahh!!" bunyi postingan oleh @hahahiheho di X, dilampirkan juga gambar tangkapan layar rute perjalanan. "Tapi yang lari sodaraku yang jago larii, price menyesuaikan pace, km dan dl yahh!! bisa dm akyuuu.."
Gambar yang ditampilkan ternyata bukan dari aplikasi Strava, melainkan dari video game Grand Theft Auto San Andreas.
Postingan tersebut dilihat lebih dari 890.000 kali dan di-repost lebih dari 2.500 kali dalam waktu lima hari. Ternyata ide itu menarik perhatian pengguna Strava yang ingin memamerkan pencapaian mereka tanpa perlu berlelah-lelah.
Wahyu, yang memiliki akun Instagram @jokistrava, mengatakan kliennya kebanyakan para profesional yang usianya lebih tua dengan jadwal kerja yang padat.
"Saya tidak tahu pastinya umur mereka, tapi semuanya lebih tua dari saya. Mereka sehari-harinya bekerja dan tidak sempat lari," kata dia kepada CNA.
Joki Strava lainnya adalah pemuda asal Bogor, Satria, yang mulai menawarkan jasanya bulan ini melalui akun @Satzzyy di X. Pemuda 17 tahun ini mengaku melakukannya "iseng-iseng" setelah melihat postingan @hahahiheho.
Satria, yang melakoni profesi ini "untuk mengisi waktu" sambil menunggu pendaftaran universitas, mengaku mendapatkan empat klien dalam waktu lima hari.
Harga jasanya mulai dari Rp5.000 per kilometer. Jika klien ingin dia lari di Pace 4, dia mematok harga tambahan Rp20.000 per kilometer hingga jarak maksimal 10km.
"Jika ada yang ingin saya lari lebih dari 10km, saya akan memberikannya ke teman saya (sesama joki)," kata dia.
"Sebelumnya saya pernah ikut maraton, jadi saya memang hobi lari ... tidak ada ruginya," kata Satria, yang hanya ingin dipanggil nama depannya saja dan mengaku tidak memberitahu orangtuanya soal menjadi pekerjaannya ini.
HAUS AKAN VALIDASI
Namun tidak semua orang menyetujui keberadaan joki Strava ini. Seorang pengacara bahkan mengatakan, menyewa jasa mereka dapat berimbas masalah hukum jika seorang atlet menggunakannya untuk mengelabui sponsor atau mendapatkan keuntungan finansial.
Chaidil Akbar, influencer olahraga berusia 43 tahun dan telah menjadi member Strava sejak 2013, mengatakan meningkatnya popularitas olahraga lari di Indonesia menyebabkan banyak orang ramai membagikan data Strava, berisikan pencapaian mereka yang membanggakan.
Dia menambahkan, masyarakat mulai sadar kesehatan setelah pandemi COVID-19, termasuk para selebritis dan influencer yang mulai ikut-ikutan berlari.
Di Indonesia, biaya langganan Strava adalah Rp85.000 per bulan atau Rp549.000 per tahun. Platform Business of Apps mencatat pengguna Strava pada 2021 mencapai 1,2 juta orang.
"Berdasarkan pengamatan saya, seseorang memposting data Strava di akun media sosial mereka untuk mendapatkan validasi, seperti likes, comments, reaction atau engagement agar terlihat bagus," kata Chaidir.
"Jadi, joki Strava telah mengamati adanya permintaan dari orang-orang yang ingin punya data Strava tanpa perlu berusaha."
Bagi Ricky Safir, 51, fenomena joki Strava "bertolak belakang dengan semangat olahraga" dan sportivitas.
"Lari adalah sebuah tren dan orang yang kekanak-kanakan membutuhkan validasi ... atau untuk memunculkan citra diri tertentu," kata manajer pemasaran sebuah merek aksesoris olahraga ini, sembari menambahkan bahwa orang-orang seperti itu yang akhirnya menjadikan joki Strava sebagai solusi.
Psikolog mengamininya, mengatakan bahwa permintaan jasa joki Strava dipicu oleh sifat haus akan pengakuan dari luar.
"Keinginan untuk tampil lebih mampu dan sukses terkadang membuat seseorang melakukan perilaku yang tidak jujur," kata psikolog Shawn Ee di Singapura. "Perilaku ini didorong oleh rasa insecure atau niat untuk menutupi kemampuan dirinya yang sebenarnya."
Lama kelamaan, hal ini juga akan jadi kebiasaan yang sulit dihentikan, kata dia. "Bagi mereka yang rutin membagikan aktivitas berolahraga, akan muncul tekanan dari dalam diri untuk terus meningkatkan atau mempertahankan performanya yang tinggi."
Psikolog klinis Annabelle Chow sepakat "bahwa mempertahankan (statistik) usai memajang skor tinggi yang palsu bisa menimbulkan stres".
"Dalam jangka panjang, kita akan merasakan tekanan untuk mempertahankan reputasi itu dengan uang. Motivasi kita dalam berolahraga akan luntur, dan kita tidak lagi berolahraga agar badan sehat," kata Chow yang juga berada di Singapura.
Selain itu, para joki Strava juga berisiko mengalami kelelahan, kata spesialis kedokteran olahraga Andi Kurniawan kepada Detik.
KAPAN MENYEWA JOKI STRAVA DIANGGAP MELANGGAR HUKUM?
Menyewa jasa joki Strava bisa menjadi pelanggaran hukum ketika bertujuan untuk mendapat keuntungan finansial, kata Glenn Wijaya, pengacara di firma hukum Christian Teo and Partners, Jakarta.
Menurut Glenn, seseorang yang telah menandatangani kesepakatan sponsor dengan sebuah merek bisa dianggap melanggar kontrak jika ketahuan menggunakan data palsu.
Jika pemilik merek dapat membuktikan kerugian finansial mereka, maka orang tersebut dapat digugat secara hukum dan harus membayar ganti rugi. Gugatan ini didasarkan pada Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, soal tindakan melanggar hukum yang menyebabkan kerugian pada orang lain.
Untuk menghindari risiko ini, sponsor bisa merancang kontrak yang dengan jelas memuat klausul anti-penipuan dan sanksi bagi pelanggaran.
Namun, lanjut Glenn, tidak ada pelanggaran hukum jika tidak ada yang dirugikan dari penggunaan data Strava palsu menggunakan joki.
Bagi joki Strava seperti Wahyu, dia hanya ingin mendapatkan cuan dari olahraga yang memang disukainya.
Keinginan Wahyu cukup sederhana, "Target saya cuma punya satu klien per hari," kata dia. "Ini pekerjaan yang menyenangkan, hobi saya memang lari."
Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel CNA.id dengan klik tautan ini.