Vasektomi jadi syarat bansos, Dedi Mulyadi dinilai kebablasan, NU: Menyedihkan
Gagasan tersebut dipandang sebagai bentuk ketidakadilan terhadap masyarakat kurang mampu.

Gubernur Jabar Dedi Mulyadi (Humas Pemprov Jabar)
JAKARTA: Usulan kontroversial yang dilontarkan oleh Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi mengenai vasektomi sebagai syarat penerima bantuan sosial (bansos) terus memicu gelombang kritik dari berbagai kalangan, terutama tokoh agama dan masyarakat sipil.
Ketua Bidang Keagamaan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Ahmad Fahrur Rozi, atau yang akrab disapa Gus Fahrur, menilai gagasan tersebut sebagai bentuk ketidakadilan terhadap masyarakat kurang mampu.
“Amat menyedihkan jika rakyat kecil harus ‘dimandulkan’ demi mendapatkan hak dasar mereka berupa bantuan sosial. Ini sesuatu yang harus dikaji kembali secara rasional dan manusiawi,” ucap Gus Fahrur kepada Kompas.com, Sabtu (3/5).
Menurutnya, kebijakan yang menyangkut pengendalian kelahiran—terutama melalui prosedur permanen seperti vasektomi—harus mempertimbangkan dimensi keagamaan secara serius.
Apalagi, mayoritas ulama telah mengeluarkan fatwa yang mengharamkan tindakan vasektomi karena dianggap sebagai bentuk pencegahan kelahiran secara total.
“Meski terdapat perbedaan pendapat, pandangan mayoritas ulama menyatakan bahwa vasektomi itu haram, terutama jika bersifat permanen. Sementara itu, metode kontrasepsi lain yang bersifat sementara masih diperbolehkan,” jelasnya.
Gus Fahrur juga menegaskan bahwa pemerintah tidak boleh memaksakan prosedur medis yang menyangkut keyakinan religius warganya.
“Ini menyangkut soal halal dan haram. Negara harus menghormati keyakinan setiap warga negara,” tekannya.

KEBABLASAN DAN SEMBRONO
Kecaman serupa juga datang dari Ketua Umum Ikatan Alumni Pondok Pesantren Ibadurrahman YLPI Tegallega Sukabumi, Toto Izul Fatah.
Ia mengatakan usulan Gubernur yang akrab dipanggil KDM itu sudah kebablasan.
“Saya dan sejumlah tokoh di Jawa Barat sangat menyesalkan pernyataan KDM. Pernyataan itu kebablasan, ceroboh, dan tidak mempertimbangkan berbagai aspek, termasuk sentimen keagamaan dan sosial,” ungkap Toto dalam keterangan resmi kepada Metro TV.
Ia menyarankan agar pejabat publik lebih berhati-hati sebelum melempar wacana sensitif ke ruang publik. Terutama, menurutnya, perlu melihat ke kiri dan ke kanan sebelum berbicara tentang isu-isu yang cukup sensitif dan mendengar sikap organisasi keagamaan seperti NU, Muhammadiyah, Persis, hingga Majelis Ulama Indonesia (MUI).
“Langkah MUI yang mengeluarkan fatwa haram terhadap vasektomi sudah tepat, karena dampaknya permanen dan menyentuh aspek kemanusiaan yang sangat fundamental,” sebutnya.
“Saya paham semangat KDM ingin agar bansos tepat sasaran. Tapi menyederhanakan persoalan kemiskinan dengan jumlah anak yang banyak lalu menawarkan solusi berupa vasektomi? Itu kesimpulan yang terlalu sembrono,” kritiknya.
Ia menambahkan, jika kebijakan vasektomi dipaksakan sebagai syarat menerima bansos, maka hal itu bisa dikategorikan sebagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia karena mengandung unsur diskriminasi terhadap kelompok masyarakat tertentu.
Ikuti saluran WhatsApp CNA Indonesia untuk dapatkan berita menarik lainnya. Pastikan fungsi notifikasi telah dinyalakan dengan menekan tombol lonceng.