Usul pemilu per 10 tahun demi bayar utang nyaleg, politikus NasDem dirujak netizen
Dalam rapat DPR, Muslim Ayub mengaku butuh minimal Rp20 miliar untuk kampanye caleg sehingga perlu waktu lama untuk membayarnya.

Anggota DPR dari partai Nasional Demokrat (Nasdem) Muslim Ayub. (Youtube/Baleg DPR RI)
JAKARTA: Anggota DPR dari partai Nasional Demokrat (NasDem) Muslim Ayub menuai kecaman dari netizen setelah mengusulkan pemilu per 10 tahun demi membayar utang selama kampanye.
Senator dari daerah pemilihan Aceh itu menyampaikan usulannya dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) di Badan Legislasi (Baleg) DPR terkait lanjutan pembahasan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) pada Rabu (30 Okt). Dalam rapat itu turut diundang Perludem, Komnas Perempuan dan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK).
Pada pernyataannya yang juga disiarkan langsung di akun Youtube Baleg DPR RI itu, Muslim mengusulkan pemilu diadakan setiap 10 tahun sekali, bukan lima tahun seperti saat ini.
Pasalnya, menurut dia, pemilu per lima tahun terlalu singkat sehingga sulit mengembalikan modal kampanye yang telah dikeluarkan. Apalagi, butuh persiapan setidaknya dua tahun sebelum pemilu digelar bagi para caleg.
"Saya berharap, apa salahnya barangkali pemilu ini 10 tahun sekali, ya kan? Karena untuk 5 tahun ini, pimpinan, kita ini 2025, 2026 itu udah dekat, 2027 udah mulai (persiapan) pemilu lagi," kata politisi berusia 57 tahun ini.
"Jadi enggak mungkin dana ini akan kita kembalikan dengan sistem begini," lanjut dia.
Muslim yang menjabat Sekretaris Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Partai NasDem di Aceh menambahkan bahwa rata-rata anggota dewan membutuhkan paling tidak Rp20 miliar ke atas untuk mengikuti pemilu.
"Mohon maaf rata-rata kita bukan sedikit menghabiskan uang. Minimal Rp20 miliar ke atas. Enggak ada yang Rp10 miliar ... masing-masing kami meninggalkan utang semua," kata dia lagi.
"Jujur saya sampaikan. Tidak salah kan kalau 10 tahun sekali ... Ini usulan pribadi nih bukan NasDem," katanya.
Komentar Muslim ramai diberitakan media tanah air dan menuai kecaman dari para netizen di media sosial seperti X atau Instagram.
Seorang netizen di X bahkan mengatakan bahwa opini Muslim adalah "sesampah-sampahnya opini" saat berkomentar untuk berita tersebut yang diposting CNN Indonesia.
"Opini ini sampah sesampah-sampahnya opini, namanya Muslim Ayub dari NasDem, catat namanya, dia cuma peduli kantong dan kantong golongannya," ujar netizen tersebut.
"Kalau politikus bekerja sungguh-sungguh untuk rakyat...ya nggak perlu nunggu balik modal," tulis komentar lainnya dari netizen di postingan yang sama.
Komentar netizen juga membanjiri postingan NasDem di Instagram yang menampilkan Muslim Ayub. Kebanyakan mempertanyakan niatan Muslim untuk menjadi anggota DPR: Sebagai wakil rakyat atau mencari keuntungan pribadi.
"Pak, kalau mau cari duit jadi pengusaha jangan jadi anggota DPR. Uang rakyat itu yang kau makan," bunyi sebuah komentar di Instagram NasDem.
"Bapak ngerti nggak kalo DPR itu wakil rakyat? Ada rakyatnya. Suruh siapa nyaleg jor-joran kalo nggak mau rugi. Jadi wakil rakyat kok cari untung. Aneh," bunyi komentar lainnya.
"Ambisius banget pak kemarin nyalon sampe habis 20m. demi kepentingan warga atau perut pribadi?" ujar netizen.
Penentangan juga datang dari sesama anggota DPR dari anggota Baleg DPR, Jazilul Fawaid dari fraksi PKB. Dia mengatakan bahwa usulan Muslim itu konyol.
"Konyol, usulan kok menggunakan parameter masalah dirinya sendiri. Apalagi usulan akan berdampak pada amendemen UUD," ujar Jazilul seperti dikutip dari Detik.com.
Jazilul mengaku heran karena Muslim Ayub menggunakan rumus perdagangan, yaitu soal biaya dan balik modal, dalam evaluasi pemilu.

MEMPERLIHATKAN AMBISI MELANGGENGKAN KEKUASAAN
Ambang Priyonggo, pengamat politik dari Universitas Multimedia Nusantara, mengatakan bahwa Muslim tidak seharusnya mengutarakan wacana yang memperlihatkan "ambisi melanggengkan kekuasaan".
Kepada CNA, Ambang mengatakan bahwa prinsip dasar demokrasi adalah soal pembatasaan kekuasaan. Sehingga jika ada usulan pemilu 10 tahun, maka akan memunculkan potensi penyalahgunaan kekuasaan.
"Ini buruk bagi demokrasi. Pemilu bukan soal hitung-hitungan modal atau pun biaya kampanye untuk mendapatkan kekuasaan, tapi poin pentingnya adalah akuntabilitas para politisi yang telah dipilih rakyat," kata Ambang.
Pernyataan Muslim juga sekaligus menunjukkan terangnya money politic atau politik uang dalam pemilu di Indonesia. Bahkan untuk bisa membayar utang saat kampanye, para anggota dewan banyak yang menggadaikan SK mereka untuk berutang ke bank.
Money politic bisa dalam bentuk logistik berupa materi yang dibagikan oleh caleg kepada pemilih, atau pun mahar politik agar bisa diusung oleh partai.
"Ini juga diperparah bahwa literasi politik masyarakat yang masih rendah dan lebih tertarik tawaran-tawaran materi (termasuk money politic) ketimbang gagasan-gagasan dari politisi," kata Ambang.
Agung Baskoro, pengamat politik dari lembaga Trias Politika Strategis, mengatakan daripada mengusulkan soal penambahan masa jabatan, lebih baik anggota DPR membahas soal revisi undang-undang terkait politik, termasuk undang-undang partai, pilkada dan soal penyelenggaraan pemilu.
"Revisi ini tidak perlu anggaran, cuma perlu political will, bagaimana agar peraturan yang bermasalah bisa direvisi," kata Agung.
"Misalnya di paket undang-undang politik, bisa direvisi soal pendanaan partai, pembatasan dana kampanye, atau penegakan hukum pemilu."
"Harus ada sanksi tegas dan jelas sehingga ada lagi money politic yang TSM (terstruktur, sistematis dan masif)," lanjut dia.
Dari pada memperpanjang masa jabatan Agung malah mengusulkan revisi agar DPR tidak boleh menjabat lebih dari dua periode.
"Sekarang itu tidak ada batasannya. Atau kalau bisa ketua umum partai juga dibatasi saja dua periode," ujar Agung.
📢 Ikuti kuis CNA Memahami Asia eksklusif di saluran WhatsApp CNA Indonesia. Ayo uji wawasanmu dan raih hadiah menariknya!
Jangan lupa, terus pantau saluran WhatsApp CNA Indonesia untuk mendapatkan tautan kuisnya 👀
🔗 Cek info selengkapnya di sini: https://cna.asia/4dHRT3V