BNPB kembangkan sistem peringatan dini pakai GPS untuk deteksi tsunami
Dua dekade setelah tsunami 2004 yang melanda Aceh, CNA menyoroti peran penting sistem peringatan bencana yang dapat diterapkan BNPB dalam lima tahun ke depan.
SIMEULUE, Aceh: Indonesia tengah mengembangkan sistem peringatan dini tsunami lepas pantai yang menggunakan GPS untuk memantau perubahan permukaan laut.
Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), sistem dinamis baru ini dapat diterapkan dalam lima tahun ke depan.
Perkembangan ini terjadi 20 tahun sejak Indonesia mengalami salah satu bencana alam terburuk yang tercatat dalam sejarah.
Gempa bumi berkekuatan 9,1 skala Richter yang dahsyat di Samudra Hindia pada 26 Desember 2004 memicu tsunami yang menewaskan sekitar 230.000 orang di banyak negara di Asia.
Sejak itu, telah terjadi peningkatan dalam sistem peringatan dini dan kesadaran yang lebih besar akan mitigasi bencana, kata para pengamat.
KEARIFAN LOKAL
Di Simeulue, salah satu dari banyak pulau di provinsi Aceh, kurang dari 10 orang tewas dalam tsunami pada 26 Desember 2004.
Penduduk setempat mengatakan kepada CNA bahwa kearifan lokal yang diwariskan dari generasi ke generasi telah membantu meminimalkan jumlah korban tewas di pulau tersebut. Kearifan itu berkembang setelah Simeulue mengalami gempa bumi dan tsunami besar pada tahun 1907 yang menewaskan ratusan penduduknya.
Warga asli Simeulue Karina Purwanti berusia 15 tahun ketika tsunami 2004 melanda desanya.
“Ketika air surut, kami ingin melihat karena ada banyak ikan di depan rumah yang berada di tepi laut. Kemudian nenek saya memperingatkan kami untuk tidak pergi ke sana,” kata guru di SMAN 1 Sinabung tersebut.
“Biasanya, akan ada ‘smong’ (tsunami dalam bahasa Devayan), dan akan ada ombak besar. Kami kemudian dituntun ke atas gunung di belakang rumah. Ketika kami naik, kami melihat permukaan air naik tiga kali lipat,” kenangnya.
Aktivis budaya Simeulue Mohammad Riswan Roesli mengatakan kearifan lokal tentang tsunami telah efektif dalam menyelamatkan nyawa.
Riswan, yang mewariskan tradisi ini kepada generasi muda melalui puisi dan lagu, meyakini diperlukannya upaya yang lebih terpadu untuk memastikan pengetahuan lokal tidak dilupakan.
“Pemerintah harus membuat kebijakan agar kearifan lokal tersebut menjadi muatan lokal formal di sekolah,” imbuhnya.
Profesor media dan tata kelola Rajib Shaw dari Universitas Keio, Jepang, menekankan pentingnya berbagi kearifan lokal sebagai persiapan menghadapi bencana.
“Sebagian dari pengetahuan adat ini didokumentasikan, tetapi sebagian lainnya tidak didokumentasikan (dan) disampaikan secara lisan,” katanya kepada program Asia First CNA pada hari Selasa (24/12).
“Saya pikir mendokumentasikan pengetahuan adat setempat dan menghubungkannya dengan sistem pendidikan setempat sangatlah penting.”
SISTEM PERINGATAN DINI
Meskipun hanya sedikit orang yang meninggal di Simeulue selama tsunami 2004, wilayah lain di Aceh tidak seberuntung itu.
Lebih dari 130.000 orang di provinsi tersebut tewas, sebagian di antaranya disebabkan kurangnya kesadaran terhadap mitigasi bencana.
Tsunami 2004 telah memicu pengembangan sistem peringatan dini untuk mengantisipasi bencana di masa mendatang.
Sistem ini terdiri dari tsunameter pendeteksi tsunami yang ditambatkan ke dasar laut bersama dengan pelampung di permukaan.
Jika gelombang besar melewatinya, tsunameter akan mendeteksi tekanan yang lebih tinggi yang menandakan peningkatan permukaan air.
Sistem tersebut kemudian mengirimkan peringatan ke pelampung yang meneruskan informasi tersebut ke satelit dan ke lembaga otoritas terkait.
Jika tsunami datang, peringatan kemudian dapat dikirim ke publik untuk memicu evakuasi.
BNPB mengatakan ada rencana untuk meningkatkan sistem peringatan dini tsunami lepas pantai.
Abdul Muhari, kepala Pusat Data Informasi dan Komunikasi Kebencanaan, mengatakan bahwa mereka sedang menimbang cara penggunaan "peralatan dinamis", seperti cara memanfaatkan sistem GPS di kapal-kapal besar.
LATIHAN PERSIAPAN
Sementara itu, sekolah-sekolah menyelenggarakan latihan untuk kesiapan menghadapi bencana.
Latihan-latihan ini mengajarkan siswa apa yang harus dilakukan dalam situasi kehidupan nyata, kata Rima Afriani, kepala sekolah SMP 1 Banda Aceh.
“Dengan kesadaran dan pengetahuan, setidaknya mereka dapat menyelamatkan diri sendiri.”
Di tingkat regional, negara-negara Asia Tenggara bekerja sama dan berbagi pengetahuan melalui Pusat Koordinasi ASEAN untuk Bantuan Kemanusiaan dalam Penanggulangan Bencana (AHA Centre).
Lembaga yang berpusat di Jakarta itu mengatakan kawasan ASEAN kini lebih siap menghadapi bencana besar dengan kolaborasi yang lebih erat antara berbagai negara.
Direktur eksekutif Pusat AHA Lee Yam Ming mengatakan: “Meskipun kita adalah salah satu kawasan yang paling rawan bencana di seluruh dunia, dalam hal kapasitas, dalam hal kemampuan mobilisasi sumber daya dan rencana kontinjensi untuk menanggapi bencana, kita dianggap cukup maju.”
Ikuti saluran WhatsApp CNA Indonesia untuk dapatkan berita menarik lainnya.