Skip to main content
Hamburger Menu
Close
Edisi:
Navigasi ke edisi CNA lainnya di sini.
Iklan

Indonesia

Tak cuma diam-diam merayap, cecak juga membawa cuan bagi banyak orang di Jawa Barat

Cecak-cecak diburu dan diekspor untuk memenuhi permintaan industri obat tradisional China. Meski jumlah cecak berlimpah, namun lembaga pemerhati satwa mengatakan perlu ada data yang lebih jelas soal perdagangannya.

Tak cuma diam-diam merayap, cecak juga membawa cuan bagi banyak orang di Jawa Barat

Dody Hermawan telah berburu kadal selama 12 tahun. (Foto: CNA/Danang Wisanggeni)

CIREBON, Jawa Barat: Dengan bersenjatakan senter di kepala, ember kecil, dan sepotong kayu di tangan, Dody Hermawan dan kawannya setiap malam menyusuri kampung-kampung di Jawa Barat dan Jawa Tengah.

Bergerak dari rumah ke rumah, Dody kerap bertemu warga kampung yang berterima kasih karena sudah membantu menyingkirkan para pengganggu.

Dody, 42, dan kawannya adalah pemburu cecak di rumah-rumah.

Dengan kayu sepanjang dua meter yang ujungnya dibubuhi lem, mereka dengan sigap menangkap cecak. Setelah tertangkap, cecak-cecak dikumpulkan di dalam ember.

Jika sedang beruntung, seorang pemburu bisa menangkap sekitar 400 cecak dalam delapan jam perburuan - dua kali lipat dari biasanya. Selepas hujan adalah saat cecak lebih berlimpah, ketika serangga-serangga santapan mereka banyak keluar sarang.

"Semuanya bermula saat kakak saya meminta saya mencari cecak untuk dijual," kata Dody, yang telah berburu cecak sejak 12 tahun lalu.

"Awalnya, enggak ada yang mau berburu cecak karena enggak yakin bisa jadi uang."

Ternyata benar, dari berburu cecak Dody bisa dapat uang. Beberapa hari pertama mulai berburu, dia menangkap sekitar 100 cecak per malam dan menjual ke kakaknya dengan harga Rp150.000. Kemudian, cecak-cecak itu dijual ke pengusaha lalu diekspor ke China untuk bahan obat tradisional China (TCM).

Jika sedang beruntung, Dody Hermawan bisa menangkap sekitar 400 cecak dalam delapan jam perburuan. (Foto: CNA/Danang Wisang)

Hasil penjualan cecak cukup lumayan kala itu. Pasalnya biaya hidup di kampungnya, Kertasura, kabupaten Cirebon, masih lebih rendah jika dibandingkan Jakarta dan Bandung.

Saat semakin banyak orang melihat pekerjaannya, dan menyadari adanya permintaan akan cecak, "perlahan mereka juga ikut bergabung," kata Dody.

Sekarang, puluhan orang dari 9.000 warga kampungnya ikut berburu dan memproses cecak untuk diekspor.

Para pemburu cecak menaruh hasil buruan di dalam ember. Beberapa cecak ditangkap dari pepohonan. (Foto: CNA/Danang Wisanggeni)

PEMBATASAN PENANGKAPAN

Menurut ahli herpetologi dan para pemburu, cecak rumah Asia atau Hemidactylus frenatus diyakini masih berlimpah jumlahnya.

Selain cecak, ada jenis kadal lain yang juga digunakan untuk obat tradisional. Beberapa jenis di antaranya dibatasi penangkapannya oleh pemerintah Indonesia.

Tahun ini, kuota untuk penangkapan cecak rumah Asia sekitar 2,5 juta ekor. Kuota penangkapan untuk cecak rumah ekor-pipih (Hemidactylus platyurus) juga sekitar 2,5 juta, sementara cecak bercakar-empat (Gehyra mutilata) sekitar 2 juta.

Mereka bisa ditangkap untuk dijadikan hewan peliharaan atau konsumsi, kata Dr Satyawan Pudyatmoko, direktur jenderal konservasi sumber daya alam dan ekosistem di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). 

Satyawan melanjutkan, tiga spesies cecak di atas boleh diburu di provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Yogyakarta, daerah-daerah eksportir hewan tersebut.

Dia mengatakan, ada lebih dari lima pemegang izin ekspor yang bekerja sama dengan pengusaha dan pemburu di daerah-daerah tersebut.

"Warga kampung membantu menangkap, mengumpulkan, memilah berdasarkan ukuran, mengeringkan dan akhirnya dikemas," kata Satyawan.

"Aktivitas ini bisa menjadi sumber penghasilan tambahan atau bahkan utama."

KLHK tidak memberikan informasi mengenai kuota ekspor dan volume ekspor dari cecak ini.

Tapi berdasarkan catatan beberapa tahun lalu, jumlah ekspor spesies kadal jenis tertentu, seperti tokek, sudah melampaui batas kuota.

Berdasarkan data Kementerian Perdagangan, dari 2013 hingga 2019, ada lebih dari 79,5 juta tokek diekspor dari Indonesia. Angka ini jauh melampaui batas kuota perburuan yang diperbolehkan ketika itu, jika menilik laporan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan KLHK.

Sementara di periode yang sama, KLHK melaporkan hanya ada sekitar 1,7 juta izin ekspor tokek yang telah dikeluarkan.

Perbedaan angka ini terjadi karena saat itu eksportir tidak perlu memperoleh izin KLHK untuk mengekspor tokek. Barulah pada 2019, perburuan dan perdagangan tokek dibatasi setelah jenis kadal ini dimasukkan dalam Apendiks II di Konvensi Perdagangan Internasional Spesies Fauna dan Flora Liar yang Terancam Punah.

China adalah importir besar tokek, spesies kadal yang diyakini berkhasiat meringankan gejala asma, meredakan batuk dan mengobati diabetes serta berbagai penyakit lainnya.

Para pemburu berburu di malam hari karena cecak adalah hewan nokturnal. (Foto: CNA/Danang Wisanggeni)

TIDAK AKAN HABIS DIBURU, TAPI BUTUH DATA YANG JELAS

Profesor Mirza Kusrini, ahli herpetologi dari Institut Pertanian Bogor, meyakini bahwa populasi cecak rumah masih melimpah ruah.

Hewan asli di sebagian besar Asia mulai dari India selatan hingga Indonesia ini banyak terdapat di area perkotaan, bertahan hidup dengan memakan serangga dan laba-laba.

Cecak mulai bereproduksi di usia sekitar enam bulan hingga satu tahun, dan rata-rata mampu hidup selama lima tahun. Sang betinanya bisa bertelur dua butir sekali.

Melihat ukuran fisik cecak yang tidak berubah, Mirza meyakini cecak rumah tidak mengalami perburuan berlebihan. Ketika hewan tertentu diburu terlalu banyak, Mirza menjelaskan, biasanya populasi sisanya berukuran lebih kecil lantaran hewan dewasanya semakin sedikit.

Selain itu, para pemburu menangkapi cecak secara manual bukannya menggunakan metode industri.

Apakah mereka bisa menangkap semua cecak sampai habis? Saya kira tidak, karena cecak ditangkap secara manual."

Kendati demikian, kelompok advokasi satwa liar memandang pentingnya ada informasi yang lebih banyak terkait ekspor cecak.

Kanitha Krishnasamy, direktur Asia Tenggara untuk organisasi pemantau perdagangan satwa liar TRAFFIC, mengatakan saat ini cecak rumah memang tidak dilindungi secara hukum dan belum tercantum dalam peraturan perdagangan internasional.

"Tapi pengumpulan spesies liar dalam skala besar berpotensi menyebabkan masalah dalam pelestarian hewan," kata dia.

"Tentu saja banyak yang masih harus dilakukan untuk mengetahui jumlah yang ditangkap dan diperjualbelikan, mengapa hewan ini dicari, dan apa dampaknya terhadap populasi liar dan ekosistem."

Wahyudin Iwang, direktur eksekutif lembaga Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) cabang Jawa Barat, mengatakan perburuan dan perdagangan cecak bisa "berdampak negatif terhadap ekosistem dan habitatnya".

Cecak berfungsi penting bagi keseimbangan ekosistem, kesehatan dan keselamatan manusia. Salah satu fungsi penting cecak adalah karena mereka hewan pemakan nyamuk."
Jumlah cecak berlimpah di Indonesia. (Foto: CNA/Danang Wisanggeni)

"BEBAS" DAN DAPAT PEMASUKAN DARI CECAK

Di perkampungan seperti Kertasura, cecak telah menjadi sumber pemasukan dan memajukan usaha-usaha kecil.

Para pemburu cecak di Cirebon keluar secara rombongan setiap malam ke beberapa kabupaten di Jawa Barat, bahkan hingga ke Jawa Tengah.

Satu rombongan bisa berisikan hingga 16 orang - ketika CNA berkunjung bulan lalu, ada delapan orang yang berburu cecak di Pemalang, Jawa Tengah.

Butuh latihan selama beberapa minggu sampai akhirnya piawai melacak dan menjerat cecak agar tidak kabur, kata Dody.

Supaya perburuan tetap mudah dan efisien, biasanya para pemburu tidak mencari cecak di kampung yang sama selama beberapa malam berturut-turut.

Saat cuaca sedang kering, kata Dody, berburu cecak menjadi lebih sulit. Di musim kemarau, beberapa pemburu cecak beralih mencari ular atau bekerja serabutan lainnya.

Persaingan dalam berburu cecak belakangan ini juga kian ketat, kata pemburu lainnya, Rosulun.

Untuk setiap kilogram cecak, pemburu mendapatkan upah sekitar Rp42.000, dan Rolusun rata-rata mendapat sekitar Rp150.000 per malam. Upah yang diperolehnya ini menurun jika dibanding beberapa tahun lalu ketika dia bisa membawa pulang Rp200.000 per malam.

Jika pemburu berusia 52 tahun ini berburu 20 hari selama sebulan, dia bisa mengantongi pendapatan sekitar Rp3 juta, sedikit di atas upah minimum Cirebon Rp2,5 juta.

Cecak-cecak itu kemudian dijual ke keponakan Dody, Ita Purwita, 27, yang mempekerjakan warga kampung untuk membersihkan, mengeringkan dan mengemas cecak.

Kebanyakan pekerja Ita adalah warga kampung dengan pendidikan SD atau SMP.

Penduduk desa membersihkan cecak yang sudah mati. (Foto: CNA/Danang Wisanggeni)

Salah satu pekerja, Murwanti, 51, mengaku tidak punya keluhan dan menikmati pekerjaannya.

"Saya suka pekerjaan ini karena bebas. Ada TV, Wifi. Kami juga bisa menyetel musik. Apa yang mau dikeluhkan?" kata Muryanti yang sudah bekerja untuk Ita selama empat tahun dan mendapat upah Rp100 ribu per hari.

Warga kampung lainnya, Khasanah, telah membersihkan cecak selama 10 tahun dan sebelumnya bekerja untuk ibu Ita. Selain cecak, Ita dan keluarganya juga memroses ular untuk dijual.

"Yang bekerja di bagian ular kebanyakan lelaki, karena ular bisa menggigit," kata ibu berusia 48 tahun ini.

"Tapi cecak enggak menggigit. Kami hanya perlu membersihkan, mengeringkan dan memasukkan ke dalam oven. Gampang."

Tim yang membersihkan, mengeringkan dan mengemas cecak untuk diekspor. (Foto: CNA/Danang Wisanggeni)

Awalnya Ita berbisnis jual beli buah noni, tapi ketersediannya sangat bergantung kepada cuaca. Jadi dia meminta izin orang tuanya untuk mengambil alih bisnis mereka.

"Meski pemasukannya (dari cecak) juga fluktuatif, tapi persediaannya tidak pernah habis," kata dia.

Ita mengakui agak sulit menemukan cecak berkualitas bagus dengan ekor dan seluruh anggota tubuh yang masih lengkap, yang bisa memengaruhi harganya. Namun, dari bisnis ini dia mendapat sekitar Rp5 juta per bulan.

Ita menjual cecak-cecak yang sudah dikeringkan ke pamannya, Asep Saifudin - adik Dody - untuk kemudian diekspor.

Adiknya memang mendapatkan cuan lebih besar sebagai eksportir, namun Dody lebih memilih berburu cecak saja karena dia mengaku tidak pandai berbisnis.

"Selain itu, saya pemburu cicak yang pertama di sini. Kerjaan ini lumayan juga," kata dia.

Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel CNA.id dengan klik tautan ini. 

Source: CNA/da

Juga layak dibaca

Iklan
Iklan