Ketika ponsel mengancam tradisi, suku Baduy minta putus hubungan dengan internet
Demi menjauhkan diri dari kenyamanan dunia modern, masyarakat Baduy Juni mengirim petisi kepada pemerintah Indonesia agar desa mereka bisa bebas dari internet.

KANEKES, Indonesia: Ibu kota Indonesia, Jakarta, hanya terpaut empat jam berkendara dari Desa Kanekes, tapi keduanya bak bumi dan langit.Â
Jakarta adalah kota metropolitan yang tak pernah terpejam. Gedung-gedung perkantoran yang menjulang tinggi dan pusat-pusat perbelanjaan mewah menjadi perlambang kemajuan manusia, ambisi dan inovasinya.
Sementara Kanekes seperti tak tersentuh oleh waktu yang terus berputar. Penduduknya - masyarakat suku Baduy - menjauhkan diri dari kenyamanan dunia modern seperti listrik, mobil dan televisi.
Baduy meyakini kemalangan akan menimpa seluruh desa jika mereka merangkul teknologi dan menyimpang dari gaya hidup tradisional yang telah dijalani selama ratusan tahun.
Itulah mengapa selama beberapa generasi, warga suku Baduy tetap tinggal di rumah sederhana yang terbuat dari kayu dan bambu. Mereka menerapkan kehidupan yang minimalis dan mengenakan pakaian serba hitam atau putih yang kainnya ditenun sendiri.
Karena suku Baduy juga dilarang menggunakan segala macam alat transportasi, mereka bepergian kemana-mana dengan berjalan kaki, termasuk ketika harus bertemu pejabat pemerintah di Jakarta - sebuah perjalanan pergi-pulang sejauh 200km yang memakan waktu sekitar empat hari.
Tetapi ada satu jenis teknologi yang sulit ditolak oleh suku Baduy: Ponsel pintar alias smartphone.

Penggunaan teknologi ponsel pintar merebak di kalangan masyarakat suku Baduy di masa pandemi COVID-19 yang membuat pariwisata terhenti.
Karena tidak bisa lagi menjual barang kepada ratusan turis yang rutin berkunjung ke desa mereka setiap harinya, akhirnya sebagian orang suku Baduy beralih ke lokapasar dan media sosial untuk menjajakan dagangan seperti tas dan baju rajut serta hasil tani seperti madu dan durian.
Baca:
Namun teknologi ini memiliki sisi negatif. Para orang tua suku Baduy khawatir anak-anak mereka akan menghabiskan lebih banyak waktu bermain gim online dan belajar tarian yang sedang tren ketimbang melestarikan warisan budaya sendiri.
"Saya dulu membantu tetangga, bantu orang tua. Kalau di malam hari mendekati sesepuh, belajar doa dan yang lainnya," kata warga Baduy, Jamal, kepada CNA.
"Anak-anak zaman sekarang di sore hari banyak yang ngumpul, ada yang hobi (menonton) bola, mainan (gim online). Jauh sudah berubah, makanya saya sedikit ada kekhawatiran."

Tidak diketahui berapa orang suku Baduy yang memiliki ponsel pintar.
Tapi jumlah mereka yang semakin banyak membuat tokoh-tokoh adat Baduy pada 1 Juni lalu mengirim petisi kepada pemerintah Indonesia agar Desa Kanekes bebas dari sinyal internet. Langkah ini memicu selisih pendapat di kalangan masyarakat Baduy sendiri.
SEBUAH DILEMA
Meski masyarakat Baduy mencoba menafikan teknologi, namun beberapa orang sukunya sudah punya ponsel pintar selama bertahun-tahun, menggunakannya sembunyi-sembunyi di dalam rumah atau ketika keluar dari batas desa.
Mereka mengisi daya ponsel di Ciboleger dan Cijahe, desa tetangga terdekat yang dialiri listrik. Kedua desa itu adalah akses masuk utama bagi turis yang ingin mengunjungi Kanekes.
Orang suku Baduy yang ketahuan memiliki ponsel bisa diganjar sanksi berat, atau dalam kasus yang ekstrem, diusir dari desa karena dianggap melanggar peraturan adat.
Orang Baduy, Jamal, mengatakan dewan adat suku akan melakukan penggeledahan dan pemeriksaan setiap beberapa bulan sekali untuk mencari barang-barang dari dunia luar.
"Jangankan HP, piring kaca dan sendok logam juga akan disita karena kami tidak boleh memakainya. Kami hanya boleh pakai ini," kata dia sembari memperlihatkan gelas dari bambu.

Tapi peraturan itu dilonggarkan ketika pandemi berlangsung dan turis-turis tidak lagi datang.Â
"Kami kesulitan menjual produk-produk kami. Jadi saya membuat toko online," kata warga Baduy Ako Sarka.
Dengan uang tabungan hasil berjualan baju rajutan tangan, tas keranjang dan gelang rotan kepada turis, Ako pergi ke Rangkasbitung - kota terdekat yang ditempuhnya dengan tujuh jam berjalan kaki - untuk membeli ponsel dan membuka rekening bank.Â
"Adat kami melarang penggunaan internet, ini jadi dilema buat saya. Tapi saya yakin, yang saya lakukan ini untuk kebaikan suku saya," kata dia.

Pria 25 tahun ini juga beralih ke media sosial untuk mempromosikan produk-produknya. Dia juga membuat akun Youtube sendiri, mendokumentasikan aktivitas keseharian dan mengabarkan kepada dunia luar tentang tradisi dan kebiasaan di Desa Kanekes.
"Banyak kreator konten yang datang ke sini dan menyebarkan informasi yang salah soal Baduy dan video-video mereka ditonton jutaan orang. Jadi saya ingin menceritakan sesuatu dari sudut pandang kami sendiri," kata dia.

Ako sekarang memiliki lebih dari 90.000 subscriber di Youtube dan 3.000 follower di Instagram.
Tidak berselang lama, anak-anak muda Baduy lainnya mengikuti langkah Ako dan membuat akun media sosial mereka sendiri. Beberapa dari mereka menjadi semacam influencer-nano, dengan ribuan pengikut setia di media sosial.
Sama halnya seperti Ako, bagian luar rumah kayu para influencer Baduy ini dihiasi foto-foto diri mereka, beberapa terlihat bersanding dengan para selebritis dan penggemar dari kota-kota besar.
Jika ada razia oleh dewan adat Baduy, kata Ako, foto-foto itu akan dicabut dan disembunyikan di desa lain atau dalam hutan.
ANTARA KEUNTUNGAN DAN KERUGIAN
Sejak menjual produknya di pasar online dan media sosial, Ako mengatakan perekonomian keluarganya meningkat drastis. Setiap bulannya dia menghasilkan Rp8 juta dari berjualan pakaian dan produk lainnya, hampir tiga kali lipat upah minimum Kabupaten Lebak, tempat Kanekes berada.
"Sebelumnya hasilnya tidak pasti. Ada hari ketika kami tidak bisa menjual satu pun barang," kata dia.
Ako juga mempromosikan dan menjualkan produk milik kerabat dan kawan-kawannya dengan imbalan.

Jamal sebagai warga Baduy mengakui bahwa ada keuntungan bagi suku Baduy jika menggunakan internet.
"Sebelum ada internet, kami mengandalkan turis dan pengunjung untuk menjual produk. Durian kami, misalnya, akan banyak terbuang karena pohonnya memproduksi buah lebih banyak dari yang bisa kami makan atau jual. Sekarang, kami hanya perlu me-WhatsApp pedagang, menurunkan durian di pinggiran desa dan pedagang yang akan mengurusnya," kata pria 40 tahun ini.
Tapi teknologi juga memberi kerugian tersendiri.
Berdasarkan data Kanekes, setiap harinya lebih dari 1.000 turis mendatangi desa tersebut.

Beberapa wisatawan datang karena tertarik oleh postingan media sosial tentang keunikan budaya dan pesona suku Baduy. Sayangnya, tidak semua turis menghormati hukum adat dan privasi warga desa.
"Pengunjung memotret orang-orang tanpa izin, termasuk mereka yang sedang mandi di sungai," kata kepala desa Kanekes Jaro Saija kepada CNA.
Suku Baduy terbagi menjadi dua kelompok: Baduy Luar yang memperbolehkan kontak dengan dunia luar, dan Baduy Dalam, yang tinggal di tempat yang dianggap keramat oleh masyarakat Baduy.
Kedua kelompok ini mudah dibedakan dari pakaian yang mereka kenakan: Serba hitam untuk Baduy Luar dan putih untuk Baduy Dalam.
Saija mengatakan pengunjung bebas mengambil foto dan video di wilayah Baduy Luar, tapi tidak demikian di Baduy Dalam. "Ada tempat-tempat dan benda keramat yang tidak boleh tercemari teknologi dan pengaruh dari luar," jelas dia.

Pengunjung seringkali menjelajah hingga wilayah Baduy Dalam dan melanggar larangan tersebut.
Setiap kali ada pelanggaran, kata Saija, warga Baduy harus melakukan ritual panjang untuk menenangkan para arwah. Jika tidak demikian, mereka meyakini desa akan ditimpa malapetaka.
Ongkos ritual ini biasanya ditanggung oleh siapa pun yang melanggar. Tapi terkadang pelanggaran ini baru diketahui setelah pelakunya sudah lama pergi.
PEMERINTAH SIAP AMBIL TINDAKAN
Khawatir nilai-nilai mereka akan terkikis dan banyaknya pengunjung yang melanggar adat istiadat, anggota dewan adat Baduy berjalan kaki ke Kantor Bupati Lebak pada 1 Juni untuk menyerahkan petisi, meminta pemerintah menjadikan Kanekes bebas dari internet.
Mereka juga mengajukan petisi kepada pemerintah untuk menghapus postingan di media sosial tentang Baduy yang dianggap tidak pantas.
Ajis Suhendi, asisten sekretaris Pemerintah Kabupaten Lebak untuk pembangunan dan perekonomian, mengatakan kepada CNA bahwa pertemuan resmi antara pemerintah Pemkab Lebak dan perwakilan Baduy telah dilakukan pada 16 Juni lalu.
"Mereka menyampaikan ketakutan dan kekhawatiran tentang bagaimana internet berdampak pada tradisi mereka," kata dia.

Dalam surat resminya, dewan adat Baduy meminta agar seluruh wilayah mereka bebas dari internet. Namun menurut Ajis, pemkab Lebak menyadari tidak semua warga Baduy mendukung pemutusan internet secara menyeluruh.
"Kami serahkan keputusan akhir kepada warga Baduy sendiri. Apakah mereka ingin seluruh wilayah Baduy bebas dari internet atau hanya Baduy Dalam saja? Apa pun keputusan mereka, kami siap."
Untuk saat ini, Ajis mengatakan semua warga suku Baduy sepakat bahwa wilayah Baduy Dalam harus bebas dari internet.
"Tapi jika mereka berubah pikiran di masa depan, kami bisa, misalnya, mendirikan pusat UMKM di luar wilayah Baduy tempat mereka bisa terus berjualan dan mempromosikan produk-produk kepada orang luar," kata dia.

Anik Sakinah, kepala dinas komunikasi, informatika, statistik dan persandian di Kabupaten Lebak, mengatakan para petugas dari Jakarta telah datang dan melakukan survei awal di wilayah tersebut. Mereka menemukan bahwa sinyal seluler di wilayah Baduy Dalam sudah sangat lemah.
"(Sinyalnya) hanya ada di tiga titik kecil dan sangat samar, tidak cukup untuk download atau upload data," kata dia.
Sakinah mengatakan penyedia layanan telekomunikasi siap mengalihkan sinyal mereka yang sudah lemah agar menjauhi wilayah Baduy Dalam.
"Tapi secara administratif sulit menentukan mana yang Badui Dalam dan mana Baduy Luar, karena mereka menggunakan bentang alam seperti bukit, lembah dan sungai untuk menentukan perbatasan antara Baduy Dalam dan Luar," kata dia.

"Kami juga ingin memastikan desa-desa di luar wilayah Baduy tidak akan terdampak. Inilah sebabnya mengapa kami perlu melakukan survei mendalam di area tersebut, dan ini perlu waktu."
Ajis mengatakan, begitu surveinya rampung, petugas dari kabupaten akan melakukan pertemuan lagi dengan tetua suku Baduy untuk mendengarkan apa keputusan akhir mereka.
"Membatasi internet hanya untuk Baduy Dalam adalah solusi yang moderat. Tapi kami sudah bersiap jika memang masyarakat Baduy memutuskan seluruh wilayah Baduy, entah itu Baduy Luar atau Dalam, bebas dari internet," kata dia.
Ako sebagai Youtuber dari suku Baduy telah siap menerima apa pun keputusan adat yang nanti akan diambil.
"Internet untuk Baduy Luar bisa dibilang penting, karena buat komunikasi. Tapi ketika adat melarang, kami tidak bisa berbicara banyak. Kami tetap menghargai apa yang diputuskan oleh adat," kata dia.
