Pengamat: Demokrasi di titik nadir jika PDIP merapat ke koalisi pemerintahan Prabowo Subianto
PDIP telah menunjukkan sinyal kuat akan merapat ke Koalisi Indonesia Maju yang menyokong pemerintahan Prabowo Subianto.
JAKARTA: Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) telah menunjukkan sinyal kuat akan merapat ke koalisi gemuk pendukung pemerintahan presiden terpilih Prabowo Subianto.
Jika ini terwujud, maka tidak akan ada partai oposisi di parlemen. Menurut para pengamat, situasi ini akan jadi ancaman bagi demokrasi di Indonesia.
Sinyal kuat ini muncul setelah Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dilaporkan akan bertemu dengan Prabowo. Belum diketahui kapan akan dilakukan, namun media tanah air memperkirakan keduanya akan bertemu sebelum pelantikan presiden 20 Oktober mendatang.
"Saya melihat indikasi PDIP akan masuk pemerintahan semakin kuat, salah satunya akan ada pertemuan antara Megawati dan Prabowo," kata Ujang Komarudin, pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia, kepada CNA.
Sinyal kuat lainnya ditunjukkan Ketua DPP PDIP Puan Maharani ketika ditanya apakah partainya akan bergabung dengan koalisi Prabowo.
“Insya Allah (merapat), tidak ada yang tidak mungkin,” kata putri Megawati itu pada Selasa lalu (24/9), dikutip dari Liputan6.
Bahkan Puan mengaku perwakilan dari PDIP sudah beberapa kali bertemu langsung dengan Prabowo usai pemilihan presiden Februari lalu.
Ada delapan partai politik yang lolos ke DPR usai pemilihan legislatif 2024, dan PDIP adalah satu-satunya yang saat ini belum bergabung dengan Koalisi Indonesia Maju (KIM) pengusung Prabowo yang didampingi Gibran Rakabuming Raka - putra sulung Presiden Joko Widodo.
Partai yang sebelumnya berseberangan seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Nasional Demokrat (Nasdem) memutuskan bergabung dengan koalisi Prabowo, menjadikannya KIM Plus.
Total ada 14 partai yang tergabung dalam KIM Plus, 7 di antaranya tidak lolos parlemen.
Dedi Kurnia Syah, Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO), menduga upaya menggaet PDIP dan membentuk pemerintahan tanpa oposisi telah direplikasi Prabowo dari cara Jokowi berkuasa selama ini.
"Prabowo sudah mengakui Jokowi sebagai mentor politiknya. Situasi ini membuat Prabowo besar kemungkinan mereplikasi cara Jokowi berkuasa, yakni dengan membangun koalisi besar," kata Dedi.
Di pemerintahannya, Jokowi merangkul satu per satu partai oposisi, di antaranya Gerindra dengan cara mengangkat Prabowo - ketua umum Gerindra - sebagai menteri pertahanan pada 2019. Sebelumnya, Prabowo dua kali kalah dari Jokowi dalam pemilihan presiden.
Demokrat menyusul bergabung dengan pemerintahan Jokowi pada Februari 2024, menyisakan PKS menjadi satu-satunya oposisi ketika itu. PKS adalah partai terlama yang berada di kubu oposisi, 15 tahun, sebelum akhirnya bergabung dalam KIM Plus pada Agustus lalu.
"Kondisi itu memang sudah dimulai sejak Jokowi memimpin, tetapi Prabowo punya kans membangun eskalasi lebih besar," kata Dedi kepada CNA.
PDIP sendiri pernah berada di kubu oposisi selama 10 tahun pada pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
ANCAMAN BAGI DEMOKRASI
Para pengamat politik mengatakan kondisi pemerintahan tanpa oposisi adalah ancaman bagi kehidupan berdemokrasi.
"Demokrasi kita akan berada di titik nadir karena check-and-balances dipertaruhkan akibat tidak adanya partai di luar pemerintahan yang menjadi penyeimbang kekuasaan," kata Agung Baskoro, pengamat politik dari lembaga Trias Politika Strategis.
Dedi dari IPO mengatakan, tata kelola pemerintahan akan terancam jika semua partai berada di koalisi pendukung presiden. Kondisi ini, kata dia, tercermin di pemerintahan Jokowi ketika DPR yang diisi koalisi pemerintahan hanya "menjadi penyokong keinginan kekuasaan".
"Sebenarnya sudah terjadi di periode Jokowi, misalnya Jokowi hampir selalu berhasil mengeluarkan produk legislasi dalam waktu singkat meskipun tidak ada dalam Prolegnas (Program Legislasi Nasional)," kata Dedi.
"Artinya Demokrasi sudah hilang dari tata kelola pemerintah sejak 10 tahun terakhir ini," lanjut dia.
Menurut Ujang dari Universitas Al Azhar, koalisi besar akan membuat Prabowo bisa dengan cepat melaksanakan pembangunan yang jadi janji kampanyenya, lantaran besarnya dukungan di parlemen.
Namun, tiadanya oposisi membuat longgarnya pengawasan terhadap laju pemerintahan. Menurut dia, bagaimana pun, kekuasaan harus diawasi agar tidak salah jalan.
"Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely. Kekuasaan yang terlalu dominan, maka penyalahgunaannya akan besar juga," kata Ujang, mengutip perkataan politisi Inggris abad ke-19, Lord Acton.
OPOSISI RAKYAT?
Ketiadaan oposisi terhadap pemerintah di parlemen pada akhirnya akan memunculkan oposisi rakyat, kata pengamat.
"Sudah menjadi hukum alam ketika parlemennya tidak ada yang mau beroposisi, maka kekuatan oposisi akan diambil oleh publik," kata Ujang.
Agung dari Trias Politika Strategis mengatakan, oposisi rakyat yang terdiri dari akademisi, pers, mahasiswa, dan elemen lain seperti lembaga swadaya masyarakat akan menyatukan barisan untuk tetap mengawal jalannya pemerintahan yang bersih.
Menurut Agung, pengawasan dari masyarakat diperlukan "agar tidak ada penyalahgunaan akibat bertumpuknya seluruh partai dalam satu gerbong kekuasaan."
Dia meyakini pengawasan dari rakyat telah terbukti efektif, salah satunya ketika aksi protes besar seluruh elemen masyarakat di berbagai kota yang berhasil membatalkan revisi undang-undang pemilihan kepala daerah (Pilkada) oleh DPR pada Agustus lalu.
Revisi UU Pilkada itu disebut-sebut demi memuluskan langkah Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Kaesang Pangarep - putra bungsu Jokowi - untuk maju sebagai bakal calon wakil gubernur Jawa Tengah.
"Elemen masyarakat yang selama ini pasif, seperti artis, komika, organisasi profesi, psikolog, akuntan, pebisnis, jadi tergerakkan. Saya kira ini bisa menjadi alternatif gerakan di luar partai agar tetap menjaga demokrasi kita," ujar Agung, berbicara soal aksi besar menentang revisi UU Pilkada.
Namun Dedi sangsi gerakan rakyat akan mampu berperan sebagai pengawas jalannya pemerintahan. Rakyat menurut dia, tidak ada dalam sistem sehingga hanya bisa bersuara, namun tidak memengaruhi kebijakan.
"Kecuali dengan jalan revolusi atau referendum. Tetapi, akan sulit terwujud, karena pemerintah hari ini juga menguasai sebagian 'rakyat' yang dijadikan sebagai influencer," tutur Dedi.
Prabowo diketahui menggunakan para influencer yang terdiri dari para artis dan selebritis papan dalam kampanye pemilihan presiden Februari lalu.
Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel CNA.id dengan klik tautan ini.