Skip to main content
Iklan

Indonesia

Sekolah dan rumah sakit premium kena PPN 12%, apa definisi dan kriterianya?

Pemerintah memutuskan untuk mengenakan PPN pada layanan premium tersebut karena hanya dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia kelas atas.

Sekolah dan rumah sakit premium kena PPN 12%, apa definisi dan kriterianya?
Sampoerna Academy yang merupakan alah satu sekolah internasional di Jakarta. (Dok Sampoerna Academy)

JAKARTA: Jasa pendidikan dan kesehatan premium akan dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12% mulai 1 Januari 2025.

Namun sejauh ini definisi dan kriteria spesifik mengenai “premium” belum sepenuhnya jelas.

Adapun sebelumnya, jasa kesehatan dan pendidikan secara umum tidak dikenakan PPN, sebagaimana tercantum dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 49 Tahun 2022.

Pemerintah memutuskan untuk mengenakan PPN pada layanan premium tersebut karena dianggap bukan konsumsi bagi warga kelas menengah ke bawah, melainkan kelas atas.

Dengan demikian, demi tercapainya keadilan sosial dan prinsip gotong royong, diputuskan menerapkan PPN pada layanan pendidikan dan kesehatan premium yang hanya dikonsumsi oleh kelompok tertentu masyarakat Indonesia.

Wahyu Utomo, Kepala Pusat Kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (Kemenkeu), menjelaskan bahwa salah satu jenis layanan premium yang dimaksud adalah pendidikan dan rumah sakit dengan biaya yang tinggi dan berstandar internasional.

“Kriteria premium sedang kami rumuskan. Salah satu pendekatannya adalah biaya pendidikan yang mahal dan/atau berstandar internasional,” jelas Wahyu kepada detikFinance, Kamis (19/12).

Sementara itu, Febrio Nathan Kacaribu, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu, menjelaskan bahwa layanan pendidikan yang dapat dikenakan PPN 12% meliputi sekolah dengan biaya lebih dari Rp 100 juta per tahun.

"Ada sekolah dengan biaya Rp 100 juta lebih per tahun yang tidak dikenakan PPN, sementara itu, jasa kesehatan premium atau VIP juga selama ini bebas PPN. Apa iya layak PPN 0%? Jadi ini yang kita tunjukan keadilan yang harus kita tegakkan ya kita pegang dalam perpajakan," tegasnya.

Kementerian Keuangan sendiri tengah merumuskan secara lebih rinci kriteria untuk menentukan jenis layanan pendidikan dan kesehatan yang akan dikenakan PPN 12%.

Diharapkan, rincian kriteria ini akan dirilis pada akhir tahun 2024.

Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta Kamdani, punya pandangan berbeda mengenai penggunaan kata premium ini.

Menurutnya, sebenarnya dengan diterapkannya PPN 12%, hampir seluruh barang dan jasa akan terpengaruh, meskipun ada beberapa komoditas sembako yang tidak dikenakan PPN.

"Secara menyeluruh, memang PPN akan dikenakan 12%, meskipun ada penamaan sebagai barang mewah atau premium. Namun, hampir semua barang akan terkena PPN 12%," jelas Shinta.

Shinta juga menambahkan bahwa kenaikan tarif PPN ini diprediksi akan menurunkan daya beli masyarakat kelas menengah.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, pada 2024, jumlah penduduk kelas menengah dan menuju kelas menengah di Indonesia mencapai 66,35% dari total penduduk Indonesia, dengan pengeluaran konsumsi dari kedua kelompok tersebut mencakup 81,49% dari total konsumsi masyarakat.

Shinta memperkirakan bahwa dengan adanya tekanan dari PPN 12%, persentase konsumsi tersebut dapat mengalami penurunan.

Ikuti saluran WhatsApp CNA Indonesia untuk dapatkan berita menarik lainnya. Pastikan fungsi notifikasi telah dinyalakan dengan menekan tombol lonceng.

Source: Others/ew

Juga layak dibaca

Iklan
Iklan