Sulitnya mencari sekolah dan guru yang tepat untuk anak-anak berkebutuhan khusus di Indonesia
Walau ada 2.300 sekolah untuk siswa berkebutuhan khusus, tapi itu tidak cukup bagi 23 juta warga Indonesia penyandang disabilitas.

JAKARTA: Pada 2016, Reshma Wijaya mendirikan sekolah untuk anak berkebutuhan khusus di pusat kota Jakarta.
Itu adalah cara Reshma untuk mengatasi sendiri masalah yang dia hadapi. Sebelumnya, pencariannya akan fasilitas pendidikan yang tepat untuk Cheryl, putrinya yang mengidap sindrom down, selalu berakhir sia-sia.
"Saya mencari di Google sekolah untuk anak-anak berkebutuhan khusus dan pusat terapinya. Tapi di mana? Sangat, sangat sulit menemukan fasilitas dan layanan seperti itu untuk anak saya," kata ibu berusia 41 tahun ini.
Sekarang, Cheryl telah berusia 13 tahun dan belajar di sekolah yang didirikan ibunya - Saraswati Learning Centre. Saat ini sekolah tersebut memiliki 100 peserta didik anak-anak dan remaja berkebutuhan khusus, mulai dari bayi hingga mereka yang berusia di atas 18 tahun.
Dinamakan "Sekolah Luar Biasa" oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia, sekolah seperti Saraswati Learning Centre dirancang untuk memberikan pendidikan khusus.
MEMBANTU ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS
Saraswati Learning Centre mempekerjakan para profesional untuk menilai dan mendiagnosis anak-anak yang datang mendaftar. Selain menjalankan kurikulum pendidikan yang telah ditetapkan, sekolah ini juga mengadakan berbagai program dan sesi terapi untuk para siswanya.
Setiap siswa memiliki akses kepada tim multidisiplin yang secara konsisten bertukar informasi dan bekerja sama untuk memantau perkembangan anak didik.
Para guru di Saraswati Learning Centre mengajarkan siswanya dengan metode khusus seperti teknik Teachh - sebuah program akademis berbasis bukti yang didasarkan pada gagasan bahwa penyandang autis adalah pembelajar visual.
Sekolah itu membuat kehidupan menjadi lebih mudah bagi anak-anak penyandang disabilitas dan orang tuanya yang tinggal di Jakarta, salah satunya Fenny Rusli dan putrinya Kayla. Gadis berusia 8 tahun itu didiagnosis memiliki gangguan spektrum autisme (ASD) dan sudah belajar di sekolah itu selama hampir lima tahun.
Menurut Reshma, menempatkan anak-anak dengan tipe kebutuhan khusus yang berbeda dalam satu kelas akan menciptakan pola pikir yang inklusif.

"Orang tua tidak menyambutnya dengan baik. Mereka tidak suka jika anak autis dan sindrom down berada dalam satu kelas," kata Reshma.
"Mereka khawatir anak-anak sindrom down akan meniru anak autis. Jadi, ini juga salah satu stigma yang harus saya hilangkan, dan saya juga menciptakan kesadaran bahwa mereka sebenarnya bisa tumbuh bersama dengan baik ... selama mereka dalam keadaan aman."
Siswa yang lebih tua di sekolah itu menjalani sesi pelatihan yang dipandu oleh unit vokasi, sebagai persiapan mereka menjalani kehidupan setelah lulus nanti.
Dalam pelatihan tersebut, para siswa diajarkan cara membuka rekening bank sendiri dan membuat kerajinan sederhana untuk dijual. Gelang misalnya, mereka jual dengan harga sekitar Rp60 ribu.
TEKANAN SOSIAL DARI MASYARAKAT
Caesar Astria Pusphita, psikolog klinis di sekolah itu, mengatakan bahwa para siswa akan menghadapi tekanan sosial dari masyarakat ketika mereka terjun ke dunia luar.
"'Memangnya mereka bisa apa? Sebenarnya, apa yang mereka lakukan?' Orang-orang melontarkan pertanyaan-pertanyaan tersebut. Itulah yang membuat saya sedih," kata dia.
"Mereka seperti kita. Mereka berkembang, kita juga berkembang. Kami juga mendukung mereka agar bisa berfungsi di masyarakat. Kami membantu mereka untuk bisa mandiri."
Walau para orang tua dengan anak berkebutuhan khusus mengakui adanya perubahan positif dalam hal penerimaan dan kesadaran dari masyarakat dan lingkungan di Indonesia, tapi masih banyak yang harus dilakukan.
"Dari kaca mata orang lain, melihat anak berkebutuhan khusus itu sedikit aneh, ada mata yang kurang enak (memandang)," kata Fenny.
"Tapi sebenarnya kita tidak usah berkecil hati, karena respons orang-orang itu sangat normal. Kita sendirilah yang harus membuka hati. Kita yang harus menggandeng mereka memahami kondisi (anak-anak) kita."

PEMERINTAH HARUS BERBUAT LEBIH BANYAK
Ada sekitar 23 juta orang yang didiagnosis menyandang disabilitas di Indonesia. Namun, negara ini hanya memiliki sekitar 2.300 sekolah untuk anak-anak berkebutuhan khusus.
Pemerintah memang memandatkan sekolah-sekolah lainnya di negara ini untuk inklusif. Namun, banyak anak berkebutuhan khusus yang kesulitan mendapat akses pendidikan.
Sekolah-sekolah di Indonesia mengaku menghadapi tantangan, seperti sulitnya mencari guru yang terlatih dan fasilitas yang mumpuni.
Untuk mendukung warga berkebutuhan khusus, pemerintah telah menghasilkan beberapa regulasi yang merupakan turunan dari Undang-undang Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Berbagai regulasi ini belum ada sebelum tahun 2019.
Regulasi tersebut mencakup implementasi jaminan dan dukungan sosial, pemenuhan hak-hak, akses ke pelayanan publik, dan perlindungan atas bencana.
Namun, penerapan regulasi itu dirasa masih lambat. Para ahli kemasyarakatan berpendapat pemerintah harus didorong untuk melakukan yang lebih banyak lagi bagi para penyandang disabilitas.
"Pemerintah butuh dikawal. Jika kita hanya diam, ya sudah (pemerintah) diam saja. Jadi harus didorong," kata Angkie Yudistia, staf khusus presiden untuk urusan sosial.
"Tapi isu ini rumit, multi-sektoral. Kita tidak bisa menyalahkan pemerintah 100 persen, karena akan kembali ke pertanyaan yang sama - bagaimana kita memulainya," kata dia.
Baca artikel ini dalam Bahasa Inggris.
Baca juga artikel Bahasa Indonesia ini mengenai dokter yang rela dibayar dengan sampah botol plastik demi membantu pasien yang kurang mampu.
Ikuti CNA di Facebook dan Twitter untuk lebih banyak artikel.