Skip to main content
Hamburger Menu
Close
Edisi:
Navigasi ke edisi CNA lainnya di sini.

Iklan

Indonesia

Kisah penyintas kanker merajut asa pendidikan untuk anak nelayan

Didiagnosis dokter hidupnya tinggal beberapa bulan, Desi Purwatuning ingin berkontribusi lebih banyak bagi masyarakat di kawasan yang kurang peduli terhadap pendidikan.

Kisah penyintas kanker merajut asa pendidikan untuk anak nelayan

Desi Purwatuning mendirikan Rumah Belajar Merah Putih setelah ia didiagnosis kanker pada tahun 2005. Sejak saat itu, ia telah mengajar ratusan anak-anak di kawasan nelayan Kojem, distrik Cilincing, Jakarta. (Foto: CNA/Nivell Rayda)

Artikel ini adalah bagian dari seri 'Hero adalah Kita'.

JAKARTA: Pada suatu pagi hari di Kojem (singkatan dari Kolong Jembatan), Cilincing, Jakarta Utara, anak-anak berusia tujuh tahun yang seharusnya berada di bangku sekolah malah baru pulang dari melaut. 

Di kawasan kumuh yang kerap terjadi aksi kriminalitas, narkoba, dan prostitusi ini, tampaknya pendidikan menjadi hal tak pernah menjadi perhatian.

Sebagian besar anak-anak di Kojem terpaksa putus sekolah sebelum kelas empat. Beberapa dari mereka terpaksa berhenti karena orang tua tak mampu membayar biaya sekolah. 

Ada juga yang orang tuanya dipenjara karena kasus narkoba atau kekerasan. 

Beberapa anak mengaku berhenti sekolah karena kesulitan belajar, sementara yang lainnya bahkan mengaku belum pernah menginjakkan kaki sama sekali di sekolah formal.

Seorang siswa berdiri di pintu masuk Rumah Belajar Merah Putih, sekolah informal bagi anak-anak kurang mampu di kawasan nelayan Kojem, distrik Cilincing, Jakarta. (Foto: CNA/Nivell Rayda)

"Sebanyak 90 persen dari semua anak di sini adalah anak putus sekolah. Bisa dihitung dengan jari orang yang punya ijazah SMA," ujar Desi Purwatuning, pendiri Rumah Belajar Merah Putih, sekolah sederhana yang membantu anak putus sekolah melanjutkan pendidikan. 

Desi sudah menjalankan Rumah Belajar Merah Putih di Kojem selama 14 tahun terakhir, meski hanya dari ruang sewa berukuran kecil.  

Walaupun sederhana, sekolah ini sudah membantu anak-anak putus sekolah di Kojem dan sekitarnya untuk mengikuti ujian kesetaraan SD, SMP, dan SMA agar mereka bisa mencari pekerjaan yang lebih baik. 

Tujuan utamanya, tentu saja agar anak-anak ini dapat keluar dari lingkaran kemiskinan.

Deretan kapal nelayan yang bersandar di kawasan nelayan Kojem, distrik Cilincing, Jakarta. (Foto: CNA/Nivell Rayda)

"Tak ada yang berharap mereka akan menjadi lebih dari sekadar nelayan atau pekerja kasar. Bahkan orang tua mereka pun tidak," ungkap Desi. 

"Makanya, setelah anak-anak bisa membaca dan berhitung, mereka lebih memilih anaknya membantu di laut atau bekerja serabutan," tuturnya. 

TEMPAT YANG NYAMAN

Setidaknya ada 100 anak belajar di Rumah Belajar Merah Putih, dalam shift selama dua jam per hari di ruangan sempit berukuran 4x5 meter. 

Karena ruang kelas terlalu kecil, tak ada kursi di dalamnya; guru dan murid duduk di atas matras karet yang sudah mulai rusak.

Desi Purwatuning (paling kanan bawah) mengajar anak-anak kurang mampu di dalam sebuah toko kecil yang disewa di kawasan nelayan Kojem, distrik Cilincing, Jakarta. (Foto: CNA/Nivell Rayda)

Anak-anak belajar berbagai mata pelajaran mulai dari matematika dan sains hingga pendidikan agama Islam yang diajarkan oleh relawan mahasiswa. 

"Penting mengajarkan agama pada mereka. Karena lingkungan sekitar penuh dengan kejahatan, narkoba, dan prostitusi, mereka perlu tahu mana yang benar dan salah," jelasnya.

Sekolah ini kerap ramai karena beberapa anak merasa lebih nyaman berada di sana dibanding berkeliaran di lingkungan penuh bau ikan busuk, limbah industri, dan tumpahan minyak dari kapal nelayan.

Beberapa anak bahkan menghabiskan lebih banyak waktu di sekolah ini daripada di rumah mereka sendiri.

Seorang siswa sedang belajar huruf Arab di Rumah Belajar Merah Putih, sekolah informal bagi anak-anak kurang mampu di kawasan nelayan Kojem, distrik Cilincing, Jakarta. (Foto: CNA/Nivell Rayda)

"Salah satu siswi kami diperkosa tahun lalu. Kami juga pernah memiliki mantan siswi yang mengalami pelecehan seksual oleh seseorang yang dekat dengannya," tutur Desi. 

"Ada juga anak-anak yang dipaksa masuk ke dunia prostitusi. Bagi banyak anak di sini, tempat ini adalah tempat aman mereka," ujarnya.

DIMULAI DARI PERPUSTAKAAN

Desi merupakan seorang janda berusia 42 tahun yang tidak pernah membayangkan dirinya akan menjadi penggiat pendidikan gratis untuk masyarakat miskin. 

Dulunya, ia sendiri merupakan seorang perempuan pelaut, bekerja sebagai kru kapal yang melintasi Indonesia dan negara tetangga.

Namun pada tahun 2005, Desi didiagnosis menderita kanker. Dokter memperkirakan hidupnya tinggal beberapa bulan saja. 

Nasib baik berpihak kepada Desi. Ia masih dapat menjalani keseharian setelah beberapa kali operasi dan menjalani sesi kemoterapi. Meskipun, kankernya belum sepenuhnya diangkat.

Desi Purwatuning mendirikan Rumah Belajar Merah Putih setelah ia didiagnosis kanker pada tahun 2005. Sejak saat itu, ia telah mengajar ratusan anak-anak di kawasan nelayan Kojem, distrik Cilincing, Jakarta. (Foto: CNA/Nivell Rayda)

Merasa belum berbuat banyak untuk masyarakat, ia mendirikan perpustakaan dan tempat bermain di salah satu ruangan tak terpakai di rumahnya yang berjarang kurang dari satu kilometer dari Kojem. 

Bahkan ia sering mengadakan pemutaran film untuk anak-anak di perpustakaan itu.

"Saya perhatikan beberapa anak memegang buku terbalik," kenangnya. 

"Saya tanya mereka rumahnya di mana, dan mengapa mereka tidak tahu cara membaca?"

Tidak sampai 24 jam, Desi kemudian memindahkan perpustakaannya ke Kojem dan mengubahnya menjadi kelas di mana ia mengajarkan anak-anak di sana cara membaca, menulis, dan berhitung. 

"Saya kerjakan semuanya sendiri. Tahu-tahu, saya sudah punya 100 siswa. Ini menjadi sangat berat, jadi saya mulai mencari relawan," ujarnya.

Lemari yang berisi mainan, teka-teki, dan permainan papan di Rumah Belajar Merah Putih, sekolah informal bagi anak-anak kurang mampu di distrik Cilincing, Jakarta. (Foto: CNA/Nivell Rayda)

Saat ini, Desi dibantu oleh lima mahasiswa dan satu mantan siswa Rumah Belajar Merah Putih yang menjadi relawan di waktu luangnya.

ASA YANG TERUS DIRAJUT

Kelas pagi di Rumah Belajar Merah Putih didedikasikan untuk anak-anak kecil yang tidak mampu pergi ke taman kanak-kanak. 

Belajar di PAUD memang sebuah kemewahan yang sulit dijangkau banyak keluarga berpenghasilan rendah, karena tidak ada TK gratis dari pemerintah. 

Sementara itu, anak-anak yang putus sekolah dari jenjang SD biasanya belajar setelah pukul 10 pagi, setelah mereka kembali dari melaut.

Salah satu siswa, Yogi Pratama Putra, mengaku bahwa belajar di Rumah Belajar Merah Putih memberinya fleksibilitas yang ia butuhkan.

"Pagi bisa bantu ayah melaut, siang bisa bantu ibu membersihkan kerang," ujarnya kepada CNA. 

Yogi Pratama Putra (kanan) membaca buku pelajaran saat seorang siswa lain melihat di Rumah Belajar Merah Putih, sekolah informal bagi anak-anak kurang mampu di distrik Cilincing, Jakarta. (Foto: CNA/Nivell Rayda)

Remaja berusia 14 tahun itu mengatakan bahwa ia berhenti sekolah di kelas empat untuk membantu orang tuanya. 

"Dulu aku benci sekolah. Aku lebih suka bekerja dan dapat uang. Tapi di Rumah Belajar Merah Putih aku tidak merasa begitu," katanya. 

Yogi merasa senang sekolah ini tidak seperti sekolah formal, ia bisa belajar sesuai ritmenya sendiri dan masih punya waktu untuk membantu keluarganya.

Siswa lainnya, Putra, yang sebelumnya berhenti sekolah di kelas empat, baru saja memperoleh ijazah SD dan sekarang bersiap untuk ujian kesetaraan SMP.

Lain lagi dengan Tegar Mahendra, yang berhenti sekolah sejak kelas dua setelah ibunya meninggal. 

Ia bergabung dengan Rumah Belajar Merah Putih lima tahun lalu dan kini tengah bersiap untuk ujian kesetaraan SMP.

Tegar Mahendra, 17 tahun, bermimpi menjadi pengusaha sukses, sesuatu yang dulu ia anggap mustahil sebelum bergabung dengan Rumah Belajar Merah Putih, sekolah informal bagi anak-anak kurang mampu di distrik Cilincing, Jakarta. (Foto: CNA/Nivell Rayda)

"Aku bersyukur atas pendidikan yang aku dapat. Tanpa sekolah ini, mungkin aku sudah terjerumus ke narkoba atau hal-hal buruk lainnya, karena itu yang kulihat di lingkungan ini," aku Mahendra.

Mahendra berharap suatu hari ia bisa menjadi seorang pengusaha."Dengan begitu, aku bisa membuka lapangan kerja untuk orang lain," pungkasnya.

'Hero adalah Kita' adalah seri tulisan yang mengangkat kisah inspiratif dari pahlawan sehari-hari di Indonesia. CNA Indonesia menyoroti individu-individu yang berdedikasi tulus demi kebaikan masyarakat dan lingkungan di sekitar mereka.

Seri ini adalah bentuk apresiasi kami kepada mereka yang sering kali tidak terlihat namun berdampak besar bagi banyak orang. Ayo sama-sama kenali dan hargai para pahlawan di sekitar kita, karena Hero adalah Kita!

Kenal sosok pahlawan di sekitarmu yang telah membantu masyarakat? Beri tahu kami lewat email di cnaindonesia [at] mediacorp.com.sg.

Ikuti saluran WhatsApp CNA Indonesia untuk dapatkan berita menarik lainnya.
Source: CNA/ps

Juga layak dibaca

Iklan

Iklan