Skip to main content
Iklan

Indonesia

'Saya harus jadi macannya hutan': Perjuangan Rosita ubah tanah gersang jadi hutan organik di Megamendung

Dalam lebih dari dua dekade, Rosita berhasil mewujudkan mimpi suaminya dengan membangun hutan seluas 30 hektare yang menampung 44 ribu pepohonan dan ratusan satwa. 

'Saya harus jadi macannya hutan': Perjuangan Rosita ubah tanah gersang jadi hutan organik di Megamendung

Rosita Istiawan di tengah hutan organik miliknya di kawasan Megamendung, Bogor, Jawa Barat. (Foto: CNA/Wisnu Agung Prasetyo)

JAKARTA: Matahari siang memancar terik, tetapi sinarnya terhenti di rapatnya kanopi dedaunan, tak mampu menyentuh tanah hutan organik milik Rosita Istiawan. Padahal siapa yang menyangka, dulu kawasan ini kering dan gersang, tetapi kini ditumbuhi berbagai jenis pohon yang tinggi menjulang.

Perubahan kondisi tanah di kawasan Megamendung, Bogor, Jawa Barat, itu tidak hanya menciptakan ekosistem baru tetapi juga memunculkan mata air yang menjadi sumber penghidupan bagi ratusan jenis satwa dan masyarakat sekitar.

"Setelah dua tahun menanam jati dan kayu keras, keluar mata air yang mengairi dua desa. Mata air muncul karena preservasi pohon," kata Rosita ketika berbincang dengan CNA beberapa waktu lalu.

Diawali dari lahan seluas 2.000 meter persegi, kini hutan organik milik Rosita telah berkembang hingga 30 hektare, ditumbuhi berbagai jenis tanaman dari dalam dan luar negeri.

Perjalanan perempuan 63 tahun itu tidak mudah, berbagai aral melintang; mulai dari kondisi tanah yang tidak cocok, ancaman dari para calo tanah, hingga sikap masyarakat sekitar yang tidak mendukung.

Namun setelah lebih dari 20 tahun, keberanian dan kegigihan Rosita dalam mewujudkan mimpi mendiang suaminya telah terbayarkan.  

"Tanah ini memang milik kami, tapi kami bercita-cita membuatnya jadi kebun raya kecil," kata Rosita.

Lebatnya vegetasi di hutan organik milik Rosita Istiawan di Megamendung, Bogor, Jawa Barat, membuat sinar matahari sulit menyentuh tanah. (Foto: CNA/Wisnu Agung Prasetyo)

MIMPI MEMBUAT HUTAN

Perjalanan Rosita membangun hutan dimulai pada tahun 2000, ketika suaminya menyampaikan mimpi untuk membuat "kebun raya kecil" di masa pensiun.

"Saya mau membuat hutan," kata Rosita, menirukan suaminya ketika itu.

Rosita menganggap itu sebagai tantangan bagi dirinya. Kemudian pendapatan suaminya yang bekerja di industri perminyakan mulai disisihkan untuk membeli lahan di kawasan Megamendung.

Lahan pertama yang dibeli Rosita adalah bekas kebun singkong. Kondisi ini, kata Rosita, membuat pH atau tingkat keasaman tanahnya sangat rendah sehingga sulit ditanami. Selain itu, wilayahnya yang gersang membuat Rosita mesti membawa air dari bawah untuk menyirami tanaman.

Untuk mengubah kondisi tanah sekaligus mengoptimalkan lahan, ibu dua putra ini melakukan tumpang sari sebagai metode bercocok tanam.

"Kami lakukan tumpang sari, mencampur pohon keras dengan sayuran dengan jarak 2,5x2,5 meter," kata Rosita yang juga memiliki berbagai usaha seperti rumah makan dan toko ban.

"99 persen ini berhasil, karena setiap kali kita memupuk sayuran, pohon ikut terpupuk; saat menyiram sayuran, pohon ikut tersiram. Kalaupun mati bisa disulam kembali dengan pohon yang sama."

Rosita Istiawan di tengah hutan organik miliknya di kawasan Megamendung, Bogor, Jawa Barat. (Foto: CNA/Wisnu Agung Prasetyo)

Rosita dan keluarga memperluas lahan mereka sedikit demi sedikit dengan membeli tanah dari masyarakat. Pegawai untuk merawat hutan itu juga dia angkat dari warga sekitar.

Mereka juga terus berburu bibit berbagai pohon kayu keras dari dalam dan luar negeri, mulai dari jati, eboni, damar, sengon, sonokeling hingga petai.

"Saya pernah menanam pohon, saya kira petai, tapi ternyata sengon. Akhirnya saya selalu belajar sehingga hafal jenis pohon dan kegunaannya," kata Rosita.

Butuh waktu bertahun-tahun untuk mengubah kondisi tanah di lahannya, namun prinsipnya satu: tidak menggunakan bahan kimia alias organik.

"Cita-cita saya membuat hutan tidak pakai bahan kimia. Sayur organik itu sebenarnya murah—secara tradisional, tanpa rumah kaca yang justru merusak," kata dia.

"Sekarang pH tanah sudah normal, bibit dilempar, pasti jadi, karena humusnya sudah banyak."

08:14 Min

Rosita pendiri hutan organik di Megamendung, Bogor, Jawa Barat

Rosita Istiawan memberikan edukasi penanaman bibit pohon kepada pelajar di hutan organik miliknya di kawasan Megamendung, Bogor, Jawa Barat. (Foto: CNA/Wisnu Agung Prasetyo)

Di awal-awal pembangunan hutannya, Rosita kebanjiran komentar nyinyir. "Orang bilang Bu Rosita 'rada kurang sehat' karena beli tanah di jurang dan ditanami pohon keras. Selepas ditanami pohon, hasilnya juga nggak dijual," kata Rosita.

Setelah dua tahun ditanami pohon jati dan pohon kayu keras lainnya, mata air keluar dari dalam tanah. 

"Sekarang mata air di mana-mana, mengairi dua desa. Walaupun panas sampai 15 hari atau berbulan-bulan, tetap tidak kekurangan air, karena semakin panas, debit air makin besar," kata dia.

Dari lahan yang tandus nan gersang, hutan Rosita kini terbentang seluas 30 hektare di desa Megamendung dan Gunung Geulis.

Rosita mengatakan, hutan organik yang ia kelola kini menaungi sekitar 44 ribu pohon dan menjadi habitat bagi 120 spesies satwa.

“Sekarang sudah tidak ada tempat untuk menanam lagi,” katanya. “Yang ada tinggal masa perawatan. Kami rawat apa yang sudah tumbuh, karena semuanya sudah rapat.”

Hutan organik milik di kawasan Megamendung, Bogor, Jawa Barat, mencapai luas hingga 30 hektare. (Foto: CNA/Wisnu Agung Prasetyo)

MENGUBAH MANUSIA, MENGHADAPI ANCAMAN

Rosita mengakui bahwa salah satu tantangan terbesar baginya adalah mengubah pola pikir masyarakat soal lingkungan.

Di kawasan Megamendung dan Puncak, Bogor, yang merupakan lokasi favorit liburan warga Jabodetabek, tanah dijual untuk dibuat vila atau penginapan.

Menurut data WALHI Jawa Barat pada tahun ini, sekitar 65 persen kawasan Puncak telah mengalami kerusakan ekologis akibat alih fungsi lahan.

Penggundulan hutan akibat pembangunan telah mengurangi wilayah resapan air, memicu berbagai bencana seperti tanah longsor hingga banjir.

Aliran air yang tidak terserap di Bogor pada akhirnya akan mengalir ke sungai-sungai dan menyebabkan banjir kiriman di Jakarta.

"Orang berduit membangun resor, tapi tidak menyelamatkan pohon ... Hama terbesarnya adalah manusia yang tidak peduli," kata Rosita.

Rosita Istiawan di tengah hutan organik miliknya di kawasan Megamendung, Bogor, Jawa Barat. (Foto: CNA/Wisnu Agung Prasetyo)

Ketika hutan organik Rosita sudah tumbuh besar, banyak yang datang ingin membeli kayunya. Rosita dengan tegas menolak. "Mereka (yang mau beli) pasti putus harapan, karena tidak bakal saya jual," kata Rosita.

Di antara pohon yang kerap ditawar untuk dibeli adalah pohon mani'i atau Maesopsis eminii asal Afrika. Menurut Rosita, pohon ini diincar karena kayunya bagus untuk membuat mebel seperti meja atau lemari, daunnya bisa menjadi pakan kambing, dan pembibitannya sangat mudah.

Dia menyayangkan warga terlalu gampang menjual pohon ini, padahal mani'i sangat berguna karena kemampuannya yang baik dalam menyerap air dan memperbaiki struktur tanah.

"Mereka tidak sabaran, batang baru sebesar paha sudah dijual ke tukang kayu Rp200.000. Pohon ini diincar karena kekuatan kayunya bagus dan nilai ekonominya lebih tinggi dari sengon," kata Rosita.

Rosita Istiawan memegang pohon mahoni yang ditanamnya sedari bibit di tengah hutan organik miliknya di kawasan Megamendung, Bogor, Jawa Barat. (Foto: CNA/Wisnu Agung Prasetyo)

Di awal upayanya membangun hutan organik, bibit-bibit pohon juga kerap dicuri. "Saya beli (bibit) jati 2.000 pohon, tiba-tiba berkurang," kata dia.

"Tapi saya bersyukur kalau dicuri untuk ditanam."

Karena membeli tanah langsung dari masyarakat dan menjadikannya hutan, Rosita kerap mendapatkan intimidasi dari calo tanah yang kehilangan komisi dari penjualan. Tidak jarang, ancaman dilakukan dengan senjata tajam, memaksa Rosita untuk berhenti membeli tanah warga.

"Saya pernah ditodong calo tanah. Saya tidak takut dengan golok, saya tidak takut dengan apapun. Karena kalau membuat hutan, harus menjadi macannya hutan, harus berani," tegas Rosita.

@channelnewsasia

"Saya tidak takut dengan golok, karena saya membuat hutan. Kalau membuat hutan, harus jadi macannya hutan," kata Rosita. Kini hutan yang didirikannya di Bogor sudah seluas 30 hektare. (Video: Wisnu Agung Prasetyo)

♬ original sound - CNA

Seiring waktu, upayanya semakin mendapat pengakuan dari pemerintah. Atas dedikasinya, pada 2023 Rosita menjadi salah satu nominasi penerima penghargaan Kalpataru.

Kini hutan organik Rosita telah menjadi sarana edukasi bagi pelajar dan masyarakat sekitar. Di tempat ini, masyarakat bisa mendapatkan pengetahuan soal tanaman, pemulihan lahan hutan atau cara membuat pupuk organik. 

Hutan organik yang dibangun Rosita Istiawan di kawasan Megamendung, Bogor, Jawa Barat, kini menjadi tempat edukasi masyarakat untuk pemulihan hutan dan pembuatan pupuk organik. (Foto: CNA/Wisnu Agung Prasetyo)

Masyarakat juga bisa mendapatkan bibit pohon di sini, sekaligus mencari udara segar dengan menyusuri hutan. Ke depannya, Rosita ingin mendigitalisasi informasi seluruh pohon di hutannya, apa jenisnya dan kapan pohon itu dia tanam.

Dia menegaskan bahwa sepeninggalnya nanti, hutan itu adalah milik masyarakat, bukan warisan untuk keluarganya, sehingga harus dijaga betul.

“Anak-anak saya sudah sepakat, hutan ini bukan untuk diwariskan,” ujar Rosita. “Semua akan dikembalikan kepada alam lewat Yayasan Hutan Organik. Siapa pun, di mana pun di Indonesia, tolong jaga hutan ini.”

Ikuti saluran WhatsApp CNA Indonesia untuk dapatkan berita menarik lainnya. Pastikan fungsi notifikasi telah dinyalakan dengan menekan tombol lonceng.

Source: CNA/da

Juga layak dibaca

Iklan
Iklan