Resistensi antibiotik menghantui, BPOM ancam cabut izin apotek yang jual tanpa resep
79,5% apotek di Indonesia tercatat memberikan antibiotik tanpa resep.

JAKARTA: Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Republik Indonesia mengungkapkan adanya peningkatan tren resistensi antibiotik yang terus berkembang.
Hal ini menjadi perhatian serius, mengingat dampak buruknya terhadap kesehatan masyarakat.
Kepala BPOM, Taruna Ikrar, menegaskan bahwa apoteker harus mematuhi regulasi yang ada terkait pemberian antibiotik, yang hanya boleh diberikan berdasarkan resep dokter.
Jika tidak, BPOM akan mencabut izin pelayanan farmasi yang melanggar aturan tersebut.
Pernyataan ini disampaikan sebagai peringatan kedua kepada sektor farmasi di Indonesia untuk mengatasi fenomena resistensi antibiotik yang semakin mengkhawatirkan.
Menurut Taruna, salah satu penyebab utama resistensi antibiotik adalah penyalahgunaan obat di apotek dan toko lainnya yang menjual antibiotik tanpa resep dokter.
"Di Indonesia, peningkatan penggunaan antibiotik tanpa resep dokter cukup signifikan. Dari tahun 2021 hingga 2023, sekitar 79,5% apotek memberikan antibiotik tanpa resep. Artinya, hanya 20% yang memberikan antibiotik sesuai dengan indikasi medis," ungkapnya dalam konferensi pers yang diselenggarakan melalui YouTube BPOM, baru-baru ini.
Peningkatan angka ini diperkirakan akan terus berlanjut pada tahun 2024.
BPOM pun menekankan pentingnya kepatuhan terhadap regulasi pemberian antibiotik.
Ilmuwan berusia 55 tahun itu menegaskan bahwa BPOM memiliki hak untuk mencabut izin pelayanan farmasi yang tidak mematuhi aturan ini.
"Kami akan memastikan bahwa aturan yang ada dijalankan dengan ketat. Konsumsi antibiotik hanya boleh diberikan dengan resep dokter," sebutnya.
Taruna juga menambahkan bahwa tenaga medis, seperti dokter, memiliki tanggung jawab besar dalam memberikan antibiotik kepada pasien.
Kesalahan dalam pemberian antibiotik dapat berisiko fatal dan memengaruhi surat izin praktik dokter.
Selain itu, Taruna mengingatkan pentingnya kesadaran masyarakat terhadap penggunaan antibiotik yang bijak.
"Jangan berpikir bahwa antibiotik adalah obat untuk segala jenis penyakit," dia menggarisbawahi.
Penggunaan antibiotik secara tidak rasional dapat memicu resistensi, yaitu kondisi di mana infeksi bakteri tidak lagi dapat diobati dengan antibiotik yang tersedia.
Jika tren ini tidak segera ditangani, BPOM memperkirakan bahwa dalam sepuluh tahun ke depan, resistensi antibiotik juga akan terjadi pada antibiotik generasi baru.
Taruna juga menyoroti pentingnya penanganan limbah antibiotik dengan benar.
Masyarakat perlu menyadari bahwa antibiotik yang tidak habis digunakan, seperti antibiotik sirup atau kapsul, sebaiknya tidak dibuang sembarangan.
Jika antibiotik sisa dibuang sembarangan, hal ini bisa berdampak negatif terhadap lingkungan dan meningkatkan risiko resistensi antibiotik.
Ikuti Kuis CNA Memahami Asia dengan bergabung di saluran WhatsApp CNA Indonesia. Menangkan iPhone 15 serta hadiah menarik lainnya.