Ruang aman untuk perempuan kian terancam, regulasi di sektor medis akan dikaji ulang
Regulasi yang menjamin keamanan perempuan saat mengakses layanan medis penting untuk memulihkan kepercayaan dan rasa aman terhadap sistem kesehatan dalam negeri.

Ilustrasi pasien perempuan berkonsultasi kehamilan dengan dokter kandungan laki-laki menggunakan peralatan ultrasonografi (USG). (Foto: iStock/Fenton Roman)
JAKARTA: Maraknya kasus kekerasan dan pelecehan seksual terhadap perempuan di berbagai sektor, mulai dari layanan kesehatan hingga pendidikan, mendorong pemerintah untuk mencari solusi lintas kementerian guna menjamin ruang aman bagi perempuan di Indonesia.
Belum reda kemarahan publik atas kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh dokter Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung, Priguna Anugerah Pratama, dunia medis Indonesia kembali diguncang dengan kasus serupa.
Pada Senin (14/4), viral rekaman CCTV di media sosial yang memperlihatkan dokter kandungan bernama Muhammad Syafril Firdaus yang diduga melakukan pelecehan seksual terhadap pasiennya di salah Klinik Karya Harsa di Kabupaten Garut, Jawa Barat.
Dalam video tersebut, terlihat Syafril menggunakan alat USG untuk memeriksa perut sembari meraba-raba bagian payudara korban. Tindakan itu merupakan pelecehan, dan di luar prosedur medis yang semestinya.
Syafril pun ditangkap pada Selasa (15/4) malam, dan kini menjalani pemeriksaan di Polres Garut, menurut laporan Kompas.
Selain itu, ada pula kasus pelecehan seksual yang menimpa 13 mahasiswi yang diduga dilakukan Guru Besar Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada (UGM). Peristiwa ini terjadi dalam rentang waktu 2023 sampai dengan 2024.
Bentuk pelecehan seksual yang dilakukan terhadap korban berupa sentuhan fisik yang tidak diinginkan, menurut laporan Antara.
REGULASI LINTAS KEMENTERIAN
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Arifah Fauzi, mengungkapkan bahwa pihaknya tengah menjajaki kerja sama dengan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) untuk merumuskan regulasi yang dapat memastikan keamanan perempuan dalam mengakses layanan medis.
"Seperti pesan Pak Presiden, satu persoalan tidak bisa diselesaikan dari satu sisi saja. Kami sedang berupaya mencari solusi dari sisi regulasi, terutama bersama Kementerian Kesehatan," ujar Arifah dalam pernyataannya kepada media usai acara halalbihalal di kediamannya di kawasan Widya Chandra, Selasa (15/4).
Arifah menyebutkan bahwa saat ini kepercayaan masyarakat terhadap sistem pelayanan publik, khususnya yang melibatkan interaksi langsung dengan perempuan, tengah tergerus.
"Kami ingin masyarakat percaya bahwa negara hadir memberikan layanan yang maksimal dan menjamin keamanan," imbuhnya.

Arifah mengakui bahwa pihaknya telah melakukan koordinasi dengan aparat penegak hukum dalam kasus-kasus tersebut, termasuk mendorong pemberian sanksi maksimal kepada para pelaku agar menimbulkan efek jera.
"Kemarin kami mengutus Ibu Wamen PPPA Veronica Tan untuk koordinasi. Harapannya, sanksi yang diberikan benar-benar berat dan menimbulkan efek jera," ungkapnya.
Veronica Tan menyebut kasus kekerasan seksual di lingkungan medis merupakan "perbuatan yang tidak hanya amoral, tetapi juga direncanakan dengan niat jahat. Karena itu, kami mendorong penegakan hukum yang tegas dan maksimal," ujar Veronica pada audiensi di Mapolda Jawa Barat, Senin (14/4).
"Kalau hukuman maksimalnya itu kebiri, dikebiri saja gitu," imbuhnya, dilansir Jawa Pos.
Sesuai Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Perppu No. 1 Tahun 2016, hukuman kebiri dilakukan dengan pemberian zat kimia melalui penyuntikan atau metode lain untuk menekan hasrat seksual.
Hukuman kebiri dirancang untuk memperkuat perlindungan terhadap perempuan dan anak dari kekerasan seksual.
Selain itu, pelaku kekerasan seksual juga diwajibkan memakai alat pendeteksi elektronik, seperti gelang elektronik, selama kurang lebih 2 tahun dan menjalani program rehabilitasi.
Menteri Arifah menyebut KemenPPPA sedang menjalin komunikasi dengan Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi (Kemendiktisaintek) terkait pencegahan kekerasan seksual di lingkungan kampus. Salah satu bentuk kerja sama tersebut akan diwujudkan melalui deklarasi bersama antar perguruan tinggi.
"Nanti akan ada komitmen bersama dari beberapa kampus dalam bentuk deklarasi untuk pencegahan kekerasan terhadap perempuan,” jelas Arifah.
Terkait kasus pelecehan seksual terhadap 13 mahasiswi, pihak UGM telah menjatuhkan sanksi administratif berupa pemberhentian pelaku dari jabatan dosen dan jabatan Ketua Cancer Chemoprevention Research Center (CCRC) Fakultas Farmasi, serta telah melayangkan surat kepada Kemendiktisaintek untuk proses penjatuhan sanksi disiplin sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN).
Menteri PPPA turut mengapresiasi sikap tegas UGM yang dinilainya bisa menjadi contoh bagi kampus lain dalam menangani kasus kekerasan secara transparan dan terbuka.
"Ini bisa menjadi perhatian kampus-kampus lainnya, apabila terjadi kasus serupa jangan ditutupi karena membawa nama baik kampus, melainkan harus transparan dan terbuka, kemudian dilakukan penyelesaian, demi kebaikan kita semua," kata Arifah Fauzi.
Ia turut menyampaikan rencananya untuk mendatangi UGM di Yogyakarta, pada Kamis (17/4), dalam rangka meninjau secara langsung progres penanganan kasus pelecehan seksual di lingkungan Fakultas Farmasi UGM.
Apabila terjadi kasus serupa jangan ditutupi, melainkan harus transparan dan terbuka.
Di tengah meningkatnya sorotan publik terhadap kasus ini, Kementerian Kesehatan menindaklanjuti status praktik dokter yang diduga terlibat.
"Untuk saat ini, Kemenkes sudah koordinasi dengan Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) untuk meminta menonaktifkan sementara Surat Tanda Registrasi (STR)-nya sambil menunggu investigasi lebih lanjut," ujar Aji Muhawarman, Kepala Biro Komunikasi dan Informasi Publik Kemenkes kepada CNA Indonesia pada Selasa (15/4).
"Apabila dari hasil investigasi ditemukan pelanggaran etik dan disiplin profesi, KKI akan memberikan sanksi tegas berupa pencabutan sementara STR tenaga medis yang bersangkutan," ujarnya.
Kementerian Kesehatan juga akan merekomendasikan kepada dinas kesehatan setempat untuk mencabut Surat Izin Praktik (SIP) pelaku.
Sementara itu, Arifah mengungkapkan bahwa KemenPPPA akan segera berkoordinasi dengan Menkes Budi Gunadi Sadikin, menyusul rencana evaluasi sistem magang dokter, yang sempat disampaikan Menkes melalui media.
"Dalam kasus ini, ada kaitan erat antara Kementerian Kesehatan dengan KemenPPPA. Kami akan segera berkoordinasi," ujarnya.

LOKASI RUMAH AMAN DIRAHASIAKAN
Terkait pendampingan terhadap korban, Arifah menegaskan bahwa pihaknya terus berupaya memberikan perlindungan maksimal, termasuk dari segi pemulihan psikologis dan bantuan pembiayaan.
Ia menolak menyebutkan lokasi rumah aman tempat para korban ditampung demi menjaga kerahasiaan dan keamanan.
"Yang pasti kami melakukan pendampingan dan penyehatan secara psikologis. Jika ada pembiayaan yang harus ditanggung korban, kami akan bantu semaksimal mungkin," pungkasnya.
Ikuti saluran WhatsApp CNA Indonesia untuk dapatkan berita menarik lainnya. Pastikan fungsi notifikasi telah dinyalakan dengan menekan tombol lonceng.