Prabowo dan Megawati bertemu, pengamat: Demi mengamankan kepentingan masing-masing
Pertemuan pertama ini berlangsung selama 1,5 jam di kediaman Megawati di Teuku Umar, Jakarta.

Presiden terpilih Indonesia Prabowo Subianto (kiri) dan Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Megawati Soekarnoputri. (Foto: CNA/Danang Wisanggeni).
JAKARTA: Pertemuan pertama Presiden Prabowo Subianto dengan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri menyiratkan banyak pertanyaan di benak khalayak. Salah satunya apakah PDIP akhirnya juga akan merapat ke pemerintahan.
Para pengamat politik memang melihat adanya sinyal tersebut, namun menurut mereka masih terlalu dini untuk menyimpulkannya. Saat ini yang jelas, Prabowo dan Megawati sama-sama memiliki kepentingan yang mesti diamankan.
"Pertemuan kemarin bisa dibaca, secara langsung atau tidak, untuk mengamankan kepentingan masing-masing, baik di sisi Mega atau Prabowo," kata Agung Baskoro, pengamat politik dari lembaga Trias Politika Strategis kepada CNA Indonesia, Rabu (9/4).
Pihak Partai Gerindra mengatakan bahwa pertemuan yang berlangsung pada Selasa (8/4) selama 1,5 jam di kediaman Megawati di Jalan Teuku Umar, Jakarta, itu membahas masalah kebangsaan.
"Terlepas pertemuan itu membahas persoalan kebangsaan, tapi mestilah dalam politik ada yang dipertemukan, yang dipertukarkan, sehingga titik tengahnya tercapai," kata Agung.
Menurut Agung, Prabowo memiliki kepentingan untuk menjalin konsolidasi nasional, termasuk dengan PDIP. Pasalnya, pemerintahan Prabowo saat ini tengah dihujani kritikan karena berbagai kebijakannya. Sementara dari luar negeri, pemerintah tengah menghadapi ancaman perang dagang dengan Amerika Serikat.
"Sehingga Prabowo butuh persatuan, konsolidasi agar dapat lebih kontributif dan konkret dalam menjawab persoalan masyarakat," ujar Agung.
Hal yang sama disampaikan oleh Ray Rangkuti, Direktur Lingkar Madani (LIMA), yang mengatakan bahwa Prabowo menyadari perlunya kerja sama semua pihak dalam kondisi bangsa saat ini.
"Tentu salah satu yang terpenting itu adalah kerja sama dengan partai-partai di parlemen," ujar Ray kepada CNA Indonesia.
"Prabowo menyadari bahwa kekuatan PDIP sangat besar, soliditasnya makin kuat dan pengaruhnya semakin membesar."

Ambang Priyonggo, Asisten Profesor Komunikasi Politik di Departemen Jurnalisme Digital Universitas Multimedia Nusantara, mengatakan Prabowo yang menyambangi Megawati ke Teuku Umar - bukan sebaliknya, Megawati ke Istana - menyiratkan makna simbolik bahwa PDIP masih dinilai sebagai kekuatan politik yang perlu diperhitungkan.
Namun Ambang mengatakan pertemuan kemarin adalah murni strategi politik, tidak lantas menggambarkan siapa yang lebih superior di antara keduanya.
"Memang secara impresi politik ke publik, Megawati dan PDIP serasa diuntungkan (didatangi Prabowo), namun sekali lagi konteksnya ini lebih ke arah bagaimana Prabowo menyeimbangkan atau merangkul semua kekuatan sehingga meminimalkan potensi-potensi gangguan dalam menjalankan kekuasannya," jelas Ambang.
Sementara kepentingan di sisi Megawati dalam pertemuan tersebut adalah demi lancarnya proses Kongres PDIP yang akan segera berlangsung.
Belum diketahui kapan akan dilaksanakan, namun kongres akan menghasilkan kepengurusan baru PDIP untuk periode berikutnya.
Kepengurusan ini, kata Agung dari Trias Politika, nantinya harus disahkan oleh Kementerian Hukum dan HAM. Kemenkumham berhak menolak hasil kongres partai, terutama jika terjadi konflik internal perebutan kekuasaan.
Tanpa pengesahan Kemenkumham, maka secara hukum partai tidak memiliki legalitas dan tidak bisa beroperasi sebagai partai politik resmi, termasuk mengikuti pemilu.
"Agar sah dan kokoh di hadapan negara, semua hal baik administratif maupun faktual butuh legalitas dari Kemenkumham. Sehingga supaya tidak ada arahan yang 'aneh-aneh', pertemuan kemarin bisa dibaca secara simbolik untuk mengamankan kepentingan," ujar Agung.
Made Supriatma, peneliti tamu di ISEAS-Yusof Ishak Institute, Singapura, mengatakan bahwa kongres ini jugalah yang membuat PDIP tidak berani terlalu bersikap keras terhadap Prabowo.
"PDIP tidak menginginkan intervensi pemerintah (militer dan polisi) dalam kongres. PDIP tahu bahwa pihak berwenang dapat mengeksploitasi faksionalisme di dalam partai. Hal inilah yang sangat dikhawatirkan oleh PDIP," kata Made kepada CNA.
Pertemuan kedua antara Megawati dan Prabowo diperkirakan akan berlangsung dalam Kongres PDIP mendatang. Pasalnya, ujar Agung, tradisi kongres partai-partai besar adalah memberikan ruang dan waktu bagi presiden untuk menyampaikan pidatonya.
SINYAL PDI MERAPAT KE KOALISI PRABOWO?
Agung dari Trias Politika mengatakan ada sinyal, meski kecil, terbukanya pintu koalisi antara PDIP dan pemerintahan Prabowo.
Pembicaraan soal koalisi, lanjut Agung, kemungkinan akan dibahas setelah beberapa kali pertemuan antara Prabowo dan Megawati.
"Tidak semua disepakati dalam pertemuan pertama, termasuk soal koalisi ... yang jelas saat ini PDIP masih menjadi mitra kritis dan strategis," kata dia.
Made Supriatma mengatakan bahwa Megawati sendiri masih enggan bergabung dengan koalisi Prabowo, terutama karena masih ada orang-orang mantan Presiden Joko Widodo di pemerintahan.
"Perkara Jokowi adalah sesuatu yang sangat mengganggu PDIP. Kriminalisasi terhadap Sekretaris Jenderal PDIP, Hasto Kristanto, dikabarkan merupakan rekayasa dari pihak Jokowi," kata Made.
Hasto dinyatakan tersangka dan ditahan oleh KPK pada Februari lalu atas kasus dugaan suap terhadap mantan Komisioner KPU Wahyu Setiawan agar Harun Masiku menjadi anggota DPR lewat PAW.
Jokowi telah membantah tuduhan bahwa dia melakukan ancaman dan intimidasi terhadap Hasto jika dipecat sebagai kader PDIP.
Made mengatakan saat ini kubu PDIP sendiri terbelah menjadi dua, yaitu kubu yang lebih pragmatis dipimpin oleh Puan Maharani, putri Megawati yang menjabat ketua DPR, dan kubu yang lebih ideologis pimpinan Prananda Prabowo, putra Megawati.
Kubu Prananda menghendaki PDIP menjadi oposisi karena menganggap pemerintahan Prabowo hanyalah perpanjangan tangan dari Jokowi, kata Made.
"Megawati berdiri di tengah-tengah kedua faksi tersebut. Namun, ia cenderung condong ke arah Prananda yang mendampinginya dalam mengelola PDIP sehari-hari," kata Made.
Namun demi mengamankan jalannya kongres PDIP, kata Made, PDIP tidak berani terang-terangan menjadi oposisi penuh.
Sampai saat ini PDIP belum menentukan sikapnya, apakah akan bergabung dengan pemerintahan atau oposisi. Jika pun pada akhirnya PDIP memilih jalur oposisi, Ray Rangkuti dari LIMA mengatakan bahwa partai itu "akan jadi oposisi yang moderat, bukan oposisi yang keras".
Ikuti saluran WhatsApp CNA Indonesia untuk dapatkan berita menarik lainnya. Pastikan fungsi notifikasi telah dinyalakan dengan menekan tombol lonceng.