Skip to main content
Hamburger Menu
Close
Edisi:
Navigasi ke edisi CNA lainnya di sini.

Iklan

Indonesia

Prabowo dalam tekanan besar untuk batalkan PPN 12%? Ini caranya

Kenaikan PPN, menurut ekonom, sebaiknya dilakukan saat daya beli masyarakat telah pulih.

Prabowo dalam tekanan besar untuk batalkan PPN 12%? Ini caranya
Presiden Prabowo Subianto (Facebook/Prabowo Subianto)

JAKARTA: Rencana kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen yang akan diberlakukan mulai 1 Januari 2025 terus menuai protes dari berbagai elemen masyarakat.

Kebijakan ini sendiri telah diatur dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), yang memberikan wewenang kepada pemerintah untuk menyesuaikan tarif PPN dalam rentang 5 persen hingga 15 persen.

Presiden Prabowo Subianto yang mewarisi kenaikan itu dari pendahulunya Joko Widodo dilaporkan menghadapi tekanan besar untuk merespons isu ini.

Kenaikan pajak ini dikhawatirkan dapat memperberat beban ekonomi masyarakat terutama kelas menengah dan kelas bawah.

Salah satu opsi yang dapat diambil Prabowo adalah mengajukan pembatalan kenaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI.

Pemerintah memiliki peluang untuk melakukan penyesuaian pada Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) jika kebijakan fiskal berubah.

PENERBITAN PERPPU

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Esther Sri Astuti, dikutip Liputan 6, Kamis (26/12), menyarankan Kepala Negara mempertimbangkan penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk membatalkan kenaikan tarif PPN.

Ia menjelaskan, langkah ini tidak hanya sah secara hukum tetapi juga realistis mengingat kondisi ekonomi yang belum stabil.

“Ini soal kemauan politik. Penerbitan Perppu memungkinkan pemerintah menunda kebijakan tersebut karena daya beli masyarakat belum pulih. Jika dipaksakan, kenaikan PPN justru bisa memperlambat pemulihan ekonomi,” urainya

Menurut Esther, kenaikan tarif PPN sebaiknya dilakukan saat daya beli masyarakat telah kembali stabil dan ekonomi nasional menunjukkan pemulihan signifikan.

Selain itu, ia menyoroti pengalaman Malaysia, yang pernah menaikkan tarif PPN, tetapi kebijakan tersebut berdampak buruk pada perekonomian, termasuk penurunan volume ekspor.

Akhirnya, Malaysia terpaksa menurunkan kembali tarif PPN untuk mendukung pertumbuhan ekonomi.

Direktur Hukum Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Mhd Zakiul Fikri, menilai bahwa penerbitan Perppu untuk merespons situasi mendesak bukanlah hal baru dalam politik regulasi Indonesia.

“Dalam 10 tahun terakhir, sebanyak delapan Perppu telah diterbitkan dengan alasan mendesak yang beragam,” ungkap Zakiul kepada detikFinance.

Sebagai contoh, Perppu No. 1 Tahun 2017 yang diterbitkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) bertujuan mengakomodasi program pengampunan pajak, yang lebih banyak dinikmati oleh kalangan kaya, termasuk pengemplang pajak.

“Jika Jokowi berani menerbitkan Perppu untuk kebutuhan orang kaya, sekarang saatnya Prabowo menerbitkan Perppu untuk masyarakat luas. Kebijakan ini harus mengakomodasi kebutuhan kalangan menengah dan miskin yang paling terdampak oleh kenaikan PPN,” tutup Zakiul.

Ikuti saluran WhatsApp CNA Indonesia untuk dapatkan berita menarik lainnya. ​​​​​

Source: Others/ew

Juga layak dibaca

Iklan

Iklan