Dapatkah Prabowo 'membersihkan' BUMN bermasalah dengan UU dan badan baru?
Presiden Prabowo Subianto menjadikan reformasi badan usaha milik negara (BUMN) sebagai prioritas. Mampukah badan baru bekerja sama dengan Danantara untuk mewujudkannya?
Dony Oskaria (kiri) saat dilantik menjadi kepala Badan Pengaturan BUMN (BP BUMN) di hadapan Presiden Indonesia Prabowo Subianto (kanan). (Foto: Setpres RI)
JAKARTA: Di atas kertas, badan usaha milik negara (BUMN) tempat Arif bekerja memiliki potensi yang berlimpah: Pasar yang luas di negara berpenduduk 280 juta orang, pengalaman puluhan tahun serta akses pendanaan pemerintah yang mudah.
Namun kenyataannya, Arif mengatakan perusahaannya terus merugi, terbebani utang, menghadapi gugatan hukum, dan terseret skandal korupsi yang membuat mitra swasta menjauh serta merusak reputasi perusahaan dalam beberapa tahun terakhir.
Arif meminta agar nama lengkap dan tempat kerjanya tidak disebutkan karena ia tidak berwenang memberikan keterangan kepada media.
Namun, penelusuran CNA menunjukkan bahwa perusahaan tempat Arif bekerja pernah diselidiki, dan sejumlah eksekutifnya dinyatakan bersalah dalam berbagai kasus, mulai dari proyek fiktif hingga suap dan penggelembungan anggaran sejak 2016.
Ketika Presiden Prabowo Subianto membentuk Danantara pada 24 Februari tahun ini untuk mengelola aset seluruh BUMN, Arif mengaku sempat merasa optimistis.
Danantara, yang mengelola aset senilai lebih dari Rp16 ribu triliun, bertujuan membebaskan BUMN dari intervensi politik dan membuatnya beroperasi layaknya perusahaan komersial sebenarnya.
Sebagai badan pengelola investasi kedua setelah Indonesia Investment Authority, Danantara juga bertujuan mengoptimalkan investasi luar negeri sekaligus menarik lebih banyak investasi asing.
“Ketika saya melihat Danantara — orang-orang di baliknya, pernyataannya, rencananya — tiba-tiba saya merasa punya harapan lagi,” ujar Arif, yang bekerja di divisi hukum sebuah BUMN.
Namun dengan diubahnya Kementerian BUMN menjadi Badan Pengaturan BUMN (BP BUMN) usai disahkannya revisi undang-undang BUMN pada Oktober lalu, belum jelas bagaimana proses transisi akan dijalankan dan apakah langkah itu akan memperlancar reformasi yang dinilai pengamat sudah lama tertunda.
Pada Rabu (8/10), Presiden Prabowo menunjuk Dony Oskaria sebagai kepala BP BUMN. Sebelumnya, Dony adalah kepala operasional Danantara sekaligus mantan wakil menteri BUMN.
“BP BUMN dengan Kementerian BUMN itu hampir sama intinya. Kita ingin mempercepat transformasi BUMN, jadi diharapkan nanti kolaborasi antara BP BUMN dan Danantara mempercepat konsolidasi,” ujar Dony dikutip dari Detik.
Seperti halnya ketika masih menjadi kementerian, BP BUMN akan tetap memegang “saham emas” milik negara, yaitu saham Seri A sebesar 1 persen di setiap perusahaan negara.
Sementara itu, 99 persen sisa saham akan dialihkan ke Danantara yang akan berperan sebagai operator.
Mengutip laporan berbagai media nasional, “saham emas” tersebut memberi pemerintah hak veto khusus, termasuk kewenangan menyetujui perubahan anggaran dasar perusahaan, merger, akuisisi, likuidasi, maupun keputusan yang berdampak pada kepentingan nasional.
BP BUMN akan secara formal mengelola saham Seri A atas nama negara, sedangkan seluruh pendapatan operasional dan kebijakan dividen akan dikonsolidasikan di bawah Danantara.
Para pakar berbeda pendapat soal keputusan pemerintah membentuk BP BUMN, alih-alih memberikan kendali penuh atas BUMN kepada Danantara. Para pengkritik menilai langkah itu justru bisa menambah birokrasi, memperlambat pengambilan keputusan, dan menghambat reformasi.
“Ini justru membuat semuanya lebih rumit. Rantai birokrasinya jadi lebih panjang,” ujar Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira.
Namun, sebagian pihak menyambut perubahan tersebut. Mereka menilai undang-undang baru itu memberi pemisahan kewenangan yang lebih jelas antara Danantara dan BP BUMN, sesuatu yang sebelumnya masih kabur di bawah Kementerian BUMN.
Sebelum undang-undang BUMN direvisi, para ahli mengatakan belum jelas kepada siapa BUMN harus melapor dan siapa yang memegang kendali akhir.
“Secara kelembagaan, BUMN kini berdiri di atas landasan yang lebih kuat karena perannya sudah terdefinisi dengan jelas,” kata ekonom Universitas Pembangunan Nasional Jakarta, Achmad Nur Hidayat.
MEMBENAHI BADAN USAHA MILIK NEGARA
Sejak menjabat tahun lalu, Presiden Prabowo Subianto menjadikan reformasi terhadap BUMN sebagai salah satu prioritas utamanya.
Dalam berbagai pidatonya, Prabowo menyoroti kerugian yang dialami BUMN, memperingatkan bahwa salah urus dan korupsi tidak akan lagi ditoleransi, serta menegaskan aparat penegak hukum kini memantau secara ketat.
“Saya perintahkan bersihkan itu BUMN," kata Prabowo di acara penutupan Musyawarah Nasional (Munas) Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di Jakarta, 29 September lalu.
"Kadang-kadang nekat-nekat mereka itu diberi kepercayaan negara, dia kira itu perusahaan nenek moyang. Perusahaan rugi dia tambah bonus untuk dirinya sendiri, brengsek bener itu.”
Prabowo mengatakan, jika BUMN bisa mencapai rasio keuntungan bersih sebesar 5 persen saja, nilainya sudah lebih dari cukup untuk menutup defisit fiskal negara yang mencapai Rp660 triliun.
CNBC Indonesia melaporkan pada Agustus bahwa Danantara diperkirakan akan menerima dividen sekitar Rp114 triliun dari laba tahun 2024. Portal berita bisnis itu juga mencatat 97 persen dividen BUMN berasal dari hanya delapan perusahaan.
Pada November 2024, kantor berita Antara melaporkan bahwa Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Mandiri, dan Pertamina termasuk di antara 10 BUMN penyumbang dividen terbesar bagi pemerintah.
Dari lebih dari 1.000 BUMN, sebagian nyaris tidak memperoleh laba, sementara lebih dari separuhnya merugi dengan total sekitar Rp50 triliun setiap tahun, ujar COO Danantara Dony Oskaria kepada CNBC Indonesia pada Agustus lalu.
Danantara mendapat mandat untuk membenahi kondisi itu, dengan menargetkan pengurangan jumlah BUMN menjadi antara 200 hingga 400 dalam tiga tahun ke depan melalui merger, privatisasi, dan pembubaran.
Namun para pakar memperingatkan bahwa Danantara masih bisa menghadapi berbagai hambatan ke depan.
Di bawah undang-undang baru, BP BUMN memegang kewenangan luas untuk menyetujui anggaran serta rencana kerja Danantara.
"Ini membuat posisi BP BUMN menjadi sangat dominan terhadap ekosistem BUMN, apalagi melampaui kewenangan Kementerian BUMN. Perkembangan ini sekaligus mereduksi kegunaan Danantara," kata Direktur Next Indonesia Center, Herry Gunawan, dikutip Tempo pada 6 Oktober.
Para pengamat khawatir kewenangan besar tersebut dapat memicu tarik-ulur birokrasi antara Danantara dan BP BUMN.
Beberapa analis menilai tumpang tindih kewenangan bisa dimanfaatkan oleh eksekutif yang menolak restrukturisasi untuk menciptakan benturan.
“Kelak akan ada pihak yang berpihak pada Danantara dan pihak lain pada BP BUMN,” ujar Bhima dari CELIOS.
CNA telah menghubungi Danantara dan BP BUMN untuk dimintai tanggapan.
ANTARA INVESTASI DAN KEPENTINGAN POLITIK
Dalam revisi undang-undang, BP BUMN juga berwenang untuk mengoptimalkan BUMN dan memastikan agar kinerjanya tetap selaras dengan prioritas pembangunan nasional.
Namun, kalimat tersebut dinilai oleh para pengamat terlalu umum dan bisa ditafsirkan bermacam-macam, sehingga membuka peluang bagi lembaga itu untuk campur tangan secara bebas.
“Atas nama ‘optimalisasi BUMN’, BP BUMN bisa saja memanggil direksi atau mengeluarkan instruksi langsung kepada perusahaan negara, melewati Danantara sama sekali,” ujar Herry dari Next Indonesia Center.
Para pakar memperingatkan bahwa kewenangan seluas itu bisa disalahgunakan untuk memaksa BUMN menjalankan proyek-proyek yang terlihat bagus di atas kertas atau mendukung agenda politik jangka pendek pemerintah, tetapi tidak layak secara finansial.
“Di sinilah bahayanya,” kata ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad.
“Ketika BUMN dipaksa membiayai atau menjalankan proyek yang tidak masuk akal secara komersial, mereka menanggung kerugian sementara keuntungan politiknya dinikmati pihak lain. Pada akhirnya, ini menggerus neraca keuangan, merusak kepercayaan pemberi pinjaman, dan membebani pembayar pajak.”
Salah satu contohnya adalah Whoosh, kereta cepat pertama di Asia Tenggara—proyek unggulan yang digagas mantan presiden Joko Widodo dan dibiayai mayoritas melalui pinjaman senilai US$5,4 miliar dari China Development Bank, yang menutup sekitar 75 persen dari total pembangunannya.
Kereta cepat itu sempat dielu-elukan sebagai simbol kebanggaan nasional saat diresmikan pada 2023. Namun, lemahnya permintaan penumpang membuat proyek itu menanggung kerugian sebesar Rp4,2 triliun pada tahun lalu dan Rp1,24 triliun pada paruh pertama 2025.
Konsorsium BUMN bernama PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia, yang memegang 60 persen saham dalam perusahaan patungan Indonesia–China pengelola Whoosh, menanggung sebagian besar beban keuangan tersebut.
Meski merugi, Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan Agus Harimurti Yudhoyono bulan lalu menyatakan bahwa pemerintahan Prabowo tetap akan memperluas jaringan kereta cepat hingga menghubungkan Jakarta dan Surabaya sejauh sekitar 670 km. Jalur yang ada saat ini membentang 142 km, menghubungkan Jakarta dan Bandung.
Sementara itu, sejumlah media nasional melaporkan bahwa dorongan pembangunan infrastruktur era Jokowi telah meninggalkan beban utang besar pada beberapa perusahaan konstruksi negara.
Empat BUMN konstruksi terbesar, termasuk Waskita Karya dan Wijaya Karya, menghadapi kesulitan membayar kembali pinjaman untuk membangun jalan tol, bandara, dan proyek perumahan rakyat.
Total utang gabungan BUMN konstruksi itu sempat mencapai Rp215 triliun pada 2021 sebelum turun menjadi Rp184 triliun pada kuartal pertama 2025, berkat restrukturisasi utang dan suntikan dana pemerintah.
Angka-angka ini, menurut para ekonom, menggambarkan mahalnya biaya pembangunan yang didorong motif politik.
“Selama bertahun-tahun, BUMN dijadikan alat kebijakan fiskal — diminta membangun, berutang, dan membelanjakan dana, meski hasilnya tak sebanding,” ujar Tauhid dari INDEF.
“Model seperti itu tidak berkelanjutan. Ketika politik mengarahkan investasi, perusahaan menanggung utang, bukan pertumbuhan.”
LARANGAN RANGKAP JABATAN DISAMBUT POSITIF
Meski begitu, para pakar menyambut baik aturan baru yang melarang rangkap jabatan dan mewajibkan posisi komisaris BUMN diisi kalangan profesional, bukan jabatan politik.
“Melarang komisaris merangkap jabatan menteri atau wakil menteri adalah langkah mendasar untuk mengurangi konflik kepentingan,” kata Achmad dari Universitas Pembangunan Nasional Jakarta.
Laporan Asian Development Bank tahun 2022 mencatat bahwa “banyak manajer senior, termasuk anggota dewan, selama ini diangkat karena pertimbangan politik dan tidak memenuhi kualifikasi jabatan.” Hal itu menyebabkan “pengelolaan yang buruk dan lemahnya tata kelola BUMN,” serta dalam sejumlah kasus, “terjadi salah urus operasional yang signifikan.”
Data Indonesia Corruption Watch menunjukkan bahwa antara 2016 dan 2023 terdapat 212 kasus korupsi yang melibatkan BUMN, dengan total 349 pejabat dijatuhi hukuman.
Namun, praktik penunjukan bermotifkan politik tetap berlanjut di era Prabowo. Pemerintahannya mengangkat 33 wakil menteri sebagai komisaris BUMN—praktik yang, menurut Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi, akan segera diakhiri demi menyesuaikan dengan undang-undang baru.
Di bawah Prabowo, kursi komisaris juga diberikan kepada politisi, figur publik, dan relawan kampanye.
Di antaranya, aktor sekaligus mantan manajer kampanye Fauzi Baadilla yang diangkat sebagai komisaris Pos Indonesia pada Juli 2024, serta komponis Yovie Widianto yang menjadi komisaris Pupuk Indonesia pada Juni 2025.
Achmad mengatakan tantangan terbesar saat ini adalah memastikan reformasi tersebut benar-benar diterapkan, bukan sekadar diumumkan.
“Kita membutuhkan mekanisme yang terbuka terhadap pengawasan publik — komite nominasi independen berbasis kompetensi sektoral, masa tunggu yang jelas bagi pihak dengan potensi konflik kepentingan, serta indikator kinerja yang terukur dan dipublikasikan secara terbuka bagi para komisaris,” ujarnya.
“Tanpa proses yang transparan, profesionalisme akan terus kalah oleh kedekatan.”
Achmad menilai undang-undang baru ini merupakan langkah ke arah yang benar, tetapi masih menyisakan ruang untuk perbaikan.
Menurutnya, kewenangan BP BUMN perlu didefinisikan secara tegas — cukup untuk memastikan BUMN tetap mengutamakan pelayanan publik ketimbang laba, namun tidak terlalu luas hingga bisa dimanfaatkan untuk kepentingan politik jangka pendek.
Ia menambahkan, laporan rutin yang terbuka untuk publik dari seluruh BUMN akan sangat penting untuk memperkuat transparansi, agar masyarakat dapat memantau penggunaan dana negara dan kinerja masing-masing perusahaan.
“Karena undang-undang ini sudah berlaku, cara terbaik ke depan adalah memperkuat mekanisme checks and balances,” kata Achmad.
“Jika pengawasan itu berfungsi sebagaimana mestinya, beban berlebih terhadap anggaran negara bisa dihindari.”
Ikuti saluran WhatsApp CNA Indonesia untuk dapatkan berita menarik lainnya. Pastikan fungsi notifikasi telah dinyalakan dengan menekan tombol lonceng.