'Biarkan saya mati di sini': Jerit warga Rempang tolak relokasi untuk proyek investasi China
REMPANG, Indonesia: Beberapa pekan terakhir ini, Zaitun, warga suku asli Melayu di pulau Rempang, tidak tenang hidupnya.
Perempuan 81 tahun ini tidak bisa tidur nyenyak dan tidak enak makan, lantaran dibayangi kekhawatiran harus segera hengkang dari rumah tercintanya di desa Pasir Panjang di Rempang, sebelah tenggara Batam, kurang dari satu jam perjalanan kapal feri dari Singapura.
Pada akhir Agustus lalu, pemerintah Indonesia memutuskan bahwa sekitar 7.500 warga pulau Rempang harus segera meninggalkan rumah mereka untuk pembangunan zona ekonomi baru yang telah menarik investasi Rp 381 triliun hingga tahun 2080.
Pulau Rempang juga akan menjadi lokasi berdirinya pabrik pengolahan pasir kuarsa milik Xinyi Glass, perusahaan raksasa asal China dan produsen kaca dan panel surya terbesar di dunia.
Membayangkan harus meninggalkan desanya membuat Zaitun takut. Dia lahir di pulau itu dan telah menghabiskan seumur hidupnya di sana.
"Saya sedih. Hati saya teriris," kata nenek lima cucu ini kepada CNA. "Saya ingin menangis, tapi air mata saya sudah kering."
Zaitun bukan satu-satunya warga Pulau Rempang yang menolak rencana pemerintah.
Sebagian besar warga pulau menolaknya, melancarkan aksi protes yang berujung bentrok pada 7 dan 11 September lalu. Para demonstran melempari polisi dan tentara dengan batu dan bom molotov, yang dibalas dengan tembakan gas air mata.
Pemerintah mengklaim bahwa warga desa, yang terdiri dari suku Orang Darat dan sebagian besar nelayan asli Melayu, akan mendapatkan kompensasi jika bersedia meninggalkan pulau.
Masing-masing dari 900 keluarga di Rempang yang terdampak dijanjikan sebidang lahan seluas 500 meter persegi dengan bangunan rumah senilai Rp120 juta di atasnya.
Tapi lahan dan rumah tersebut belum siap. Untuk sementara, warga Rempang diminta pindah ke sebuah rumah susun di Batam - sekitar sejam berkendara dari Rempang - yang akan menyulitkan mereka mencari ikan di laut.
Pemerintah menuai kritikan soal cara mereka menggusur warga Rempang yang kebanyakan orang suku asli, dengan alasan pembangunan ekonomi.
Pengamat mengatakan bahwa pemerintah telah melanggar hak asasi manusia dan hanya bertindak untuk kepentingan pengusaha dan oligarki. Penggusuran warga Rempang menambah satu lagi kontroversi pemerintahan Presiden Joko Widodo.
APA ITU PROYEK REMPANG?
Pemerintah berencana membangun eco-city (kota ramah lingkungan) di Rempang.
Ini akan menjadi proyek gabungan antara Otoritas Kawasan Perdagangan Bebas Batam (BP Batam) yang menaungi Rempang, dengan perusahaan swasta Indonesia PT Makmur Elok Graha (MEG).
MEG dimiliki oleh konglomerat bisnis Tomy Winata, yang di antaranya juga memiliki Sudirman Central Business District (SCBD) di Jakarta tempat Bursa Efek Indonesia berada.
Proyek eco-city Rempang ini akan meliputi wilayah seluas 17.000 hektare, mencakup kawasan industri dan tempat wisata, termasuk di antaranya pabrik Xinyi Glass yang telah berkomitmen mengucurkan investasi seilai Rp175 triliun untuk pembangunan fasilitas pengolahan pasir kuarsa.
Menteri Investasi Indonesia Bahlil Lahadalia mengatakan proyek ini akan membuka sekitar 35.000 lapangan pekerjaan.
Sebenarnya proyek ini telah direncanakan sejak 2004, tapi baru pada Agustus lalu warga desa di Rempang mengetahui bahwa mereka harus meninggalkan tanah leluhur.
Informasi tersebut mereka terima dari para petugas yang tidak jelas identitasnya, sementara warga lainnya tahu dari mulut ke mulut, kata Saerah, 63, warga desa Rempang.
"Penjelasan mereka tidak pernah jelas. Satu hari mereka bilang A, besoknya bilang B. Jadi kami bingung: Perkataan siapa yang bisa dipegang?" kata dia kepada CNA.
"Mereka bilang ingin membangun proyek kaca dari China untuk menyejahterakan masyarakat, terutama kami warga Rempang. Tapi kalau mereka ingin kami sejahtera, kenapa kami disiksa dengan memaksa kami pergi?"
MENGAPA HARUS REMPANG?
Rempang kaya akan pasir kuarsa, bahan baku pembuatan panel tenaga surya.
Saerah mengatakan bahwa nenek moyang mereka sudah tinggal di pulau itu selama ratusan tahun, dan kebanyakan dari mereka telah memiliki rumah sendiri serta lahan untuk menanam sayur mayur yang dimakan sehari-hari.
Warga Rempang awalnya diminta meninggalkan pulau tersebut pada 28 September, karena pembangunan direncanakan dimulai pada tahun depan.
Namun karena banyaknya penentangan, pemerintah akhirnya memutuskan untuk terlebih dulu meyakinkan masyarakat Rempang agar bersedia direlokasi, ujar Walikota Batam yang juga kepala BP Batam, Muhammad Rudi, kepada CNA.
Sampai saat ini belum ada tenggat baru yang diumumkan setelah rencana penggusuran 28 September gagal. Selain itu, masyarakat juga dijanjikan direlokasi ke wilayah lain di Rempang, bukan di luar pulau tersebut.
Rudi telah mengunjungi Rempang pada 21 September dan bertemu dengan beberapa warga pulau tersebut. Itu adalah kunjungan pertamanya ke Rempang sejak kabar penggusuran mencuat.
CNA menyaksikan sendiri bagaimana Rudi mencoba membujuk warga desa agar mau direkolasi saat dia mengunjungi Rempang.
Rudi ditemani oleh para petugas dari kepolisian, militer dan kepala kantor kejaksaan Batam, yang juga meyakinkan warga setempat untuk mau pindah. Tapi upaya mereka sia-sia.
Saerah mengatakan bahwa mereka tidak menentang perkembangan ekonomi, selama mereka tidak perlu pindah.
"Kami tidak mau pindah karena ini adalah cara hidup kami orang Melayu. Jika kami pindah, maka identitas kami akan hilang," kata dia.
"Mengapa pemerintah ingin menghapuskan cara hidup tradisional kami demi kepentingan orang asing?"
Saerah mengaku punya banyak pertanyaan, dan jawaban-jawaban dari pemerintah tidak memuaskan dan tidak konsisten.
"Proyek ini ternyata sudah direncanakan sejak 2004. Lalu mengapa kami baru diberitahu sekarang?" kata Saerah.
"Dan kenapa mereka tidak mempersiapkan lahan tempat kami akan pindah? Mereka bisa mempersiapkan perumahan baru bagi kami tahun lalu atau dua tahun lalu sebelum meminta kami pindah."
Kesepakatan antara Indonesia dan Xinyi baru tercapai pada akhir Juli lalu ketika Presiden Jokowi bertemu Presiden Xi Jinping di China.
Nota kesepahaman atau MoU terkait kesepakatan tersebut ditandatangani pada 28 Juli.
Ini adalah alasan mengapa warga Pulau Rempang tiba-tiba harus segera pindah, kata Rudi.
Dia menambahkan, investor dan pemerintah telah menyepakati lokasi dan jadwal pelaksanaan proyek tersebut.
"Jadi, kami menyetujuinya karena mereka yang punya uang. Dan karena investasi ini cukup besar, kami sebagai penerimanya harus mempersiapkan semua," kata Rudi.
Rudi menambahkan, proyek itu harus dilakukan di Rempang karena letak geografisnya.
Rempang sendiri berlokasi dekat pusat ekonomi regional Singapura dan Malaysia. Menurut Rudi, Rempang dipilih oleh investor karena mereka ingin membangun pelabuhan sendiri di pulau tersebut.
"Karena berdasarkan informasi dari Xinyi, hampir 30 persen produk mereka akan diekspor keluar negeri. Jadi mereka butuh pelabuhan sendiri."
Dia berimbuh, Batam juga merupakan zona perdagangan bebas yang menjamin kemudahan menjalankan usaha.
BANYAK PROYEK YANG KONTROVERSIAL
Sebulan setelah kesepakatan dengan Xinyi, proyek eco-city Rempang dimasukkan ke dalam Proyek Strategis Nasional atau PSN.
PSN mencakup proyek-proyek yang dianggap penting bagi kemajuan negara, dan dengan status tersebut pemerintah memiliki wewenang untuk menggunakan lahan warga demi mulusnya proyek.
Para investor pada PSN juga mendapatkan berbagai keuntungan, di antaranya insentif pajak, kemudahan perizinan dan bantuan pendanaan dari anggaran negara.
Ada lebih dari 200 proyek PSN, kebanyakan di bidang pembangunan infrastruktur seperti jalan, pelabuhan, bandara dan bendungan.
Salah satu proyek yang paling terkenal adalah kereta cepat Jakarta-Bandung yang disokong China dan baru saja diresmikan, serta MRT Jakarta.
Tapi proyek-proyek tersebut harus dibayar mahal, kata ekonom Bhima Yudhistira dari lembaga Center of Economic and Law Studies di Jakarta.
"Pemerintah terlalu mudah menetapkan sebuah Proyek Strategis Nasional tanpa kajian yang mendalam, hanya karena ada potensi investasi," tambahnya.
"Berbagai Proyek Strategis Nasional juga banyak menimbulkan konflik agraria antara warga setempat dengan pemerintah." Bhima mengatakan bahwa selain Rempang, ada beberapa proyek kontroversial lainnya yang menimbulkan ketidakpuasan masyarakat.
Beberapa proyek itu melibatkan investasi dari China, seperti pertambangan nikel di Sulawesi, tetapi ada beberapa juga yang tidak.
Bhima mencontohkan, misalnya pertambangan batuan andesit di Wadas, Jawa Tengah, yang telah menjadi kontroversi sejak 2019.
Batuan andesit itu akan digunakan untuk pembangunan bendungan sekitar 12km dari lokasi, tapi warga setempat menentangnya, menganggap keberadaan pertambangan akan merusak lingkungan.
Proyek lainnya yang disebut Bhima adalah Sirkuit Mandalika di pulau Lombok, yang pembangunannya membuat warga terpaksa digusur.
Usman Hamid, direktur Indonesia untuk lembaga Amnesty International, mengatakan PSN adalah akar dari banyaknya masalah pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia.
"Proyek-proyek ini merefleksikan ambisi pembangunan ekonomi yang tidak ramah terhadap hak asasi manusia, lingkungan dan energi terbarukan.
"Karena itulah, kami mendesak negara untuk berhenti mengimplementasikan Proyek Strategis Nasional yang dilakukan tanpa adanya studi kelayakan terhadap lingkungan hidup yang bersih dan sehat serta dampaknya terhadap hak asasi manusia," kata dia.
Menurut Roni Septian, kepala kebijakan dan advokasi di organisasi Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), berbagai konflik muncul karena proyek-proyek tersebut tidak melayani kepentingan rakyat, melainkan pengusaha.
Antara 2020 dan 2023, KPA merekam setidaknya ada 73 konflik agraria yang melibatkan berbagai Proyek Strategis Nasional.
Selama sembilan tahun masa kepemimpinan Jokowi - presiden yang getol mendorong proyek-proyek infrastruktur besar - KPA mencatatkan ada 2.701 kasus konflik agraria, dibandingkan 1.770 kasus pada pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Suraya Afiff, ahli antropologi dari Universitas Indonesia, mengatakan bahwa Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melarang penggusuran masyarakat pribumi.
"Jadi, berdasarkan PBB, hal itu bisa dikategorikan sebagai pelanggaran serius," kata dia.
"Pemindahan paksa seperti itu bisa dikategorikan sebagai genosida, berdasarkan peraturan internasional."
JANGAN GUNAKAN CARA OTORITER
Roni dari KPA mengatakan bahwa untuk mencegah terjadinya konflik seperti Rempang di masa mendatang, pemerintah harus melakukan reformasi agraria.
"Mereka harus mencegah usaha-usaha di sektor agraria agar tidak dimonopoli pihak swasta," kata dia.
Sementara itu, Usman dari Amnesty International mengatakan kasus Rempang menunjukkan bahwa negara terus mengulangi kesalahan yang sama seperti pada berbagai proyek PSN sebelumnya. Kesalahan-kesalahan tersebut, kata dia, telah mematikan mata pencaharian masyarakat dan merusak lingkungan, seperti misalnya proyek Wadas di Jawa Tengah.
Indonesia akan memilih presiden dan anggota parlemen baru pada Februari tahun depan.
Usman mengatakan, pemerintahan Indonesia berikutnya harus memastikan para investor dalam proyek-proyek serupa harus berpihak pada hak asasi manusia, lingkungan dan energi terbarukan. Selain itu, pemerintah juga memiliki tiga kewajiban yang harus dipenuhi dalam PSN.
"Dalam setiap proyek, pemerintah punya kewajiban untuk memberitahu masyarakat (yang terdampak), berkonsultasi dengan mereka, dan mendapatkan persetujuan atas dasar informasi di awal tanpa adanya paksaan sebelum memulai proyek. Jangan menggunakan cara-cara otoriter," kata dia kepada CNA.
Tapi bagi Zaitun, Rempang adalah rumahnya, dan dia tidak akan pernah meninggalkannya.
"Saya tidak ingin pindah karena saya sudah tua, dan di sinilah tempat nenek moyang saya hidup dan mati. Biarkanlah saya mati di sini," kata dia.