Pengamat terorisme: Jemaah Islamiyah bubar, kelompok sempalan yang lebih radikal berpotensi muncul
Jemaah Islamiyah boleh jadi telah membubarkan diri, namun para pengamat memperingatkan adanya kelompok-kelompok sempalan yang berpotensi melancarkan serangan teror.
JAKARTA/JOHOR: Selama beberapa pekan terakhir, para pakar keamanan dan akademisi di Asia Tenggara berdebat soal sebuah cuplikan video.
Dalam video berdurasi tiga menit yang diambil pada 30 Juni lalu itu, sebanyak 16 anggota senior jaringan teror Jemaah Islamiyah (JI) membubarkan organisasi mereka dan menyatakan kembali ke pangkuan negara kesatuan Republik Indonesia.
Video tersebut kemudian diunggah di akun Youtube media Islam garis keras Arrahmah pada 3 Juli.
Dalam video tersebut, para pemimpin senior JI menegaskan bahwa mereka "siap mengikuti peraturan hukum yang berlaku" dan akan mengubah kurikulum seluruh pesantren yang berafiliasi dengan JI agar tidak ada lagi materi-materi yang mengajarkan ekstremisme.
Video itu menuai sorotan, terutama karena dirilis tidak lama setelah insiden penyerangan di pos polisi Ulu Tiran, Johor, Malaysia, yang menewaskan dua aparat dan seorang pelaku penyerangan.
Awalnya, serangan itu disinyalir terkait dengan JI karena pelaku penyerangan disebut-sebut adalah anggota kelompok tersebut.
Namun, pihak berwenang Malaysia kemudian mengatakan bahwa pelaku bertindak seorang diri alias lone wolf, dan tidak berencana menimbulkan ancaman kepada publik yang lebih luas.
Menyusul serangan itu, lima anggota keluarga pelaku ditangkap dan diadili. Kepala keluarga tersebut dikenakan berbagai dakwaan, salah satunya karena menghasut aksi terorisme dengan menyebarkan ideologi kekerasan ISIS.
Selama beberapa tahun terakhir, pria 62 tahun itu dilaporkan mengajarkan paham ISIS kepada anggota keluarganya - salah satunya adalah pelaku penyerangan pos polisi.
Dalam kasus terpisah akhir Juni lalu, kepolisian Malaysia mencokok delapan orang yang diduga terkait dengan ISIS. Penyelidikan awal menyebutkan para pelaku merupakan ancaman bagi Raja Malaysia, Sultan Ibrahim Sultan Iskandar, Perdana Menteri Anwar Ibrahim, para pejabat tinggi pemerintahan dan kepolisian.
Penangkapan terbaru ini mengindikasikan masih adanya ancaman terorisme di kawasan Asia Tenggara.
Meski para pengamat mengatakan pembubaran JI dapat meredam kekhawatiran serangan terorisme di Asia Tenggara untuk saat ini, namun mereka memperingatkan munculnya kelompok sempalan (splinter) yang kemungkinan lebih radikal lagi.
Terlepas dari pembubaran JI, para pengamat kepada CNA juga mengatakan bahwa beberapa penangkapan di Malaysia menunjukkan masih berlangsungnya penyebaran ideologi radikal yang merupakan manifestasi dari jaringan terorisme yang telah berdiri sejak lama, mengakar dan meluas di Indonesia, Malaysia serta Singapura.
ANCAMAN KELOMPOK SEMPALAN
Setelah dibentuk sejak 31 tahun lalu pada 1993, JI diumumkan bubar oleh Abu Rusdan, pemimpin kelompok ini dari 2003 hingga 2004.
Dua orang penerus Abu Rusdan terlihat berdiri di belakangnya, yaitu Zarkasih, ketua JI dari 2005 hingga 2007 dan ketua terakhir JI, Para Wijayanto, memimpin dari 2009 hingga 2019.
Anggota JI yang terkenal lainnya juga terekam dalam video itu, di antaranya Arif Siswanto, yang disebut akan memimpin JI sebelum akhirnya ditangkap pada 2020; Bambang Sukirno, kepala badan amal JI, Hilal Ahmar Society Indonesia; dan Abu Dujana, ahli pembuat bom yang dihukum pada 2008 karena keterlibatannya dalam sejumlah serangan terorisme.
Kepada CNA, para pengamat membenarkan bahwa ke-16 orang yang tampil dalam video tersebut adalah para pemimpin yang dihormati di JI. Namun yang masih jadi pertanyaan, apakah keputusan mereka membubarkan JI akan dipatuhi oleh anggotanya yang diperkirakan berjumlah 6.000 orang.
Pengamat terorisme mengatakan, anggota JI yang tidak puas akan menganggap keputusan ini sebagai pengkhianatan. Bisa jadi mereka akan mencoba membangkitkan kembali JI, mendirikan organisasi teror sendiri atau bergabung dengan kelompok teroris lain seperti Jamaan Ansharut Daulah (JAD) yang pro-ISIS.
Beberapa anggota JI, kata pengamat, juga bisa meluapkan kekecewaan dengan melancarkan serangan teror.
"Ini adalah saat-saat yang kritis karena kita masih belum tahu bagaimana para anggotanya akan bereaksi," kata Adhe Bakti, pengamat terorisme dari Pusat Kajian Radikalisme dan Deradikalisasi (PAKAR) kepada CNA.
"Ancamannya masih belum berakhir. Kita semua masih harus waspada."
BAGAIMANA JEMAAH ISLAMIYAH BEROPERASI
JI terdiri dari jaringan-jaringan yang susunannya sangat longgar. Inilah salah satu alasan mengapa JI dapat bertahan lebih dari tiga dekade meski aparat telah ratusan kali menggerebek dan menangkapi anggotanya.
"Bahkan amir-nya hanya tahu kepala divisinya saja. Dia tidak tahu orang-orang di dalam divisi ini dan dia memang tidak boleh tahu," kata mantan sekretaris JI Hadi Masykur kepada CNA. Amir adalah sebutan untuk komandan JI.
Divisi-divisi di dalam tubuh JI kemudian dibagi lagi menjadi tim-tim kecil dan komunikasi di antara mereka dibatasi.
Sistem ini dibangun untuk memastikan jika ada yang tertangkap maka hanya rekan satu timnya saja yang akan diketahui identitasnya, bukan orang-orang lain di jaringan tersebut.
Sistem pengamanan lainnya adalah ketika ada yang tertangkap, maka secara otomatis dia akan dikucilkan dari organisasi sampai bisa membuktikan bahwa dia tidak bekerja sama dengan polisi dan masih berkomitmen pada visi-misi JI.
"Itu terjadi kepada saya ketika diincar polisi. Saya menolak untuk bersembunyi dan meninggalkan ibu saya," kata Hadi, 46, menceritakan peristiwa sebelum penangkapannya pada 2019. "Saya langsung dikeluarkan dari JI."
Hadi melanjutkan, peraturan itu berlaku untuk semua orang di JI tidak peduli pangkat dan senioritas mereka, termasuk para amir.
Adhe Bhakti dari PAKAR mengatakan bahwa sistem ini jadi alasan mengapa keputusan pembubaran organisasi pada 30 Juni lalu tidak akan dianggap oleh beberapa anggota JI.
"Dengan mudah mereka akan bilang 'bukannya kita sudah setuju, mereka yang ditangkap akan dianggap orang luar dan tidak bisa mewakili organisasi?'," kata Adhe.
Dalam JI, kata Hadi, hanya amir yang kata-katanya dianggap penting. Sebagai mantan sekretaris JI, Hadi yakin kelompok tersebut tidak punya pemimpin setelah Para Wijayanto ditangkap pada 2019 dan penggantinya, Arif, pada 2020.
"Arif adalah tokoh senior terakhir yang masih aktif di dalam JI ... dia adalah orang terakhir yang tahu luar-dalam JI seperti apa," kata Hadi yang dibebaskan pada September 2022 setelah menjalani hukuman penjara tiga setengah tahun karena keanggotaannya di JI. "Setelah Arif ditangkap, yang tersisa hanya anggota-anggota junior."
Kondisi ini menempatkan sekitar 6.000 anggota aktif di JI dalam posisi yang sulit, kata Dr Noor Huda Ismail, pengamat terorisme dan peneliti tamu di S. Rajaratnam School of International Studies (RSIS) di Singapura.
Di satu sisi, ketiadaan pemimpin ini membuat berbagai sel di dalam JI bebas melakukan apa yang mereka mau. Tapi di sisi lain, tidak ada sosok senior yang masih berkomitmen dengan visi-misi JI dan bisa memberikan mereka bimbingan.
"Setiap kali sel-sel tertentu akan melancarkan serangan teror, mereka berkonsultasi dengan anggota senior. Bisa dibilang mereka mencari fatwa dari para sesepuh untuk memberikan mereka ketenangan, bahwa apa yang akan mereka lakukan dibenarkan di mata agama, bukan sekadar tindak kejahatan," kata Huda kepada CNA.
Polisi menduga pelaku serangan Bom Bali pada 2002 sempat berkonsultasi dengan pendiri dan amir JI ketika itu, Abu Bakar Baasyir, sebelum melancarkan serangan. Baasyir pada 2005 dinyatakan bersalah atas keterlibatannya pada peristiwa Bom Bali 2002, namun pengadilan banding menyatakan tuduhan tersebut tidak terbukti.
Baasyir, 85, kemudian didakwa karena memberikan bantuan pada kamp pelatihan paramiliter di Sumatra pada 2010. Vonis 15 tahun penjara dipangkas atas alasan kemanusian setelah Baasyir beberapa kali sakit karena usia. Dia dibebaskan pada 2021 dan sejak itu menyatakan siap bekerja sama dengan pemerintah.
Huda dari RSIS mengatakan, deklarasi pembubaran pada 30 Juni lalu oleh 16 anggota senior JI adalah langkah positif untuk mengurangi jumlah tokoh yang dianggap dapat merestui serangan teror di masa mendatang.
"Pembubaran JI adalah kabar bagus, sebuah awalan yang baik, tapi masih terlalu cepat bagi kita untuk menutup kisah JI. Semoga saja tidak, tapi menurut saya kita tidak bisa mengesampingkan kemungkinan munculnya kelompok sempalan yang akan lebih radikal dibanding JI."
Kemunculan kelompok sempalan sudah pernah terjadi sebelumnya.
Noor Huda mengatakan bahwa JI sendiri adalah produk sempalan dari gerakan radikal Darul Islam - sebuah kelompok pemberontak di Jawa Barat antara 1948 hingga 1962 yang menentang pemerintah dan ingin mendirikan negara Islam.
Perpecahan terjadi di Darul Islam antara 1992 dan 1993 yang akhirnya mendorong Abu Bakar Baasyir mendirikan JI.
Beberapa tahun setelah digantikan oleh Abu Rusdan sebagai amir JI, Baasyir mendirikan Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) pada 2008. Baasir merekrut beberapa anggota utama JI dan menggelar kamp pelatihan militer di Sumatra.
Beberapa anggota JAT pada akhirnya berpisah dan membentuk organisasi sendiri - JAD - yang mendapatkan dukungan dari ISIS. JAD berada di balik beberapa serangan teroris di Indonesia, di antaranya adalah serangan di Jakarta pada 2016 yang menewaskan empat orang dan di Surabaya pada 2018 yang menewaskan 15 warga sipil.
Usai beredarnya video 30 Juni lalu, lembaga riset Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) di Jakarta menuliskan bahwa memang ada kemungkinan munculnya kelompok sempalan, namun tidak serta merta.
"Ini adalah pertama kalinya ... sekelompok pemimpin senior dalam jumlah banyak muncul ke publik mengumumkan perubahan strategi. Jika memang ada penentangan, butuh waktu bagi semua untuk mengkristal dan mencari pemimpin untuk membentuk kelompok pengganti," tulis IPAC pada laporan mereka 4 Juli lalu.
Sementara itu, Noor Huda mengatakan bahwa memang ada upaya dari para pemimpin senior JI untuk menjadikan organisasi itu satu suara, namun bukti-bukti menunjukkan adanya beberapa anggota yang cenderung pada kekerasan.
"Kami melihat ada anggota-anggota yang menggunakan cara kekerasan untuk mewujudkan apa pun tujuan mereka. Misalnya, JI mengirim beberapa kader mudanya ke Suriah untuk belajar dan pulang kembali, tapi beberapa di antara mereka malah terlibat dalam serangan (militer)," kata dia.
Skenario lainnya yang mungkin muncul adalah bergabungnya anggota JI yang kecewa ke jaringan teror rival mereka, seperti JAT, JAD atau Majelis Mujahidin INdonesia (MMI). Amerika Serikat pada 2017 menetapkan MMI sebagai Specially Designated Global Terrorist (SDGT) karena dianggap terkait dengan gerakan Al-Qaeda dan Al-Nusra Front.
Berpindah-pindah organisasi adalah hal biasa di antara sel-sel teror di Asia Tenggara.
Misalnya Mujahidin Indonesia Timur (MIT) yang sempat terkait dengan Al-Qaeda dan JI tapi kemudian beralih kubu ke ISIS dan JAD. Hal yang sama terjadi dengan kelompok Abu Sayyaf di Filipina Selatan yang beralih ke ISIS pada 2010. Filipina Selatan sempat menjadi medan latihan bagi militan JI di tahun 1990-an dan 2000-an.
Fenomena ini juga terjadi di tataran individu.
Ayah dari pelaku serangan kantor polisi Ulu Tiram di Johor Bahru adalah mantan anggota JI yang berubah arah mendukung ISIS. Radin Imran Mohd Yassin diduga menyebarkan ajaran ISIS kepada istri dan empat anaknya, termasuk tersangka Radin Luqman.
Luqman membunuh polisi dan melukai seorang lainnya dalam serangan tersebut. Pria 21 tahun ini juga terbunuh setelah diterjang timah panas aparat.
Pada 6 Juli, Kementerian Dalam Negeri Singapura mengatakan pembubaran JI di Indonesia adalah "perkembangan penting dan sebuah pencapaian besar" oleh pemerintah Indonesia.
Namun, Singapura memperingatkan bahwa ancaman terorisme di negara itu masih tinggi dan mereka masih menjadi sasaran empuk serangan teroris terutama dengan risiko munculnya kelompok sempalan dari pembubaran JI.
Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Indonesia, Ridlwan Habib, mengatakan bahwa pemerintah akan tetap waspada dalam mengantisipasi potensi aksi terorisme sebagai akibat dari deklarasi ini.
Dia mengatakan keamanan akan ditingkatkan dalam beberapa bulan ke depan, terutama menjelang peringatan hari kemerdekaan ke-79 RI 17 Agustus mendatang, serta pelantikan Prabowo Subianto sebagai presiden dan Gibran Rakabuming Raka sebagai wakil presiden pada Oktober mendatang.
"Tiga bulan ke depan harus tetap diwaspadai agar situasi tetap aman, kondusif, dan tidak ada gejolak,” kata Ridlwan seperti dikutip Kompas pada 16 Juli lalu.
Pemerintah, kata dia, juga mempersiapkan bantuan pendanaan dan operasional bagi para mantan anggota JI dan sekolah-sekolah serta yayasan yang sebelumnya terafiliasi dengan kelompok ini.
Namun, Lektor Kepala Bilveer Singh, yang merupakan wakil kepala fakultas ilmu politik National University of Singapore (NUS), mengatakan kepada CNA bahwa ia tidak yakin ancaman teror JI telah benar-benar sirna.
Berdasarkan informasi yang dia peroleh, acara pengumuman pembubaran JI diadakan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan kemungkinan memberi harapan palsu.
Dia memperingatkan bahwa kelompok-kelompok sempalan JI seperti JAD, JAT dan MMI siap mengambil alih status sebagai kelompok radikal paling berbahaya di kawasan.
"JI belum dibubarkan, kelompok ini mungkin berubah menjadi sesuatu yang lebih berbahaya," kata peneliti soal terorisme ini.
Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel CNA.id dengan klik tautan ini.