Skip to main content
Hamburger Menu
Close
Edisi:
Navigasi ke edisi CNA lainnya di sini.

Iklan

Indonesia

Pulau surgawi Lombok, emasnya yang beracun, dan derita anak-anaknya

Penambang emas informal di Indonesia bergantung pada merkuri untuk memisahkan bijih emas. Tapi apa dampaknya? Program Undercover Asia CNA mencari tahu bagaimana keluarga-keluarga di Indonesia keracunan merkuri akibat perdagangan ilegal dan korupsi.

Pulau surgawi Lombok, emasnya yang beracun, dan derita anak-anaknya
Faturahman adalah salah satu dari sekian banyak penambang emas informal di Indonesia yang menggunakan merkuri dalam pengolahan emas.

LOMBOK, Indonesia: Bak pulau surgawi bagi para penyelam. Terkenal akan pantainya dengan pasir yang berkilauan. Menarik jutaan wisatawan - termasuk dari Singapura - dalam beberapa tahun terakhir.

Tidak hanya itu, pulau Lombok juga memiliki harta karun terpendam, dan sebuah rahasia kelam.

Di pegunungan vulkaniknya tersimpan emas. Itulah alasan mengapa Lombok menjadi salah satu wilayah dengan jumlah penambang emas terbanyak di Indonesia, negara penghasil emas terbesar di Asia Tenggara. Mereka bekerja untuk industri bernilai miliaran dolar yang tidak diregulasi dengan baik, dan bahan bakarnya adalah unsur kimia mematikan: merkuri.

Para penambang bergantung pada logam beracun ini - dan rantai perdagangan ilegalnya - untuk memisahkan bijih emas. Mereka telah teracuni secara perlahan-lahan. Paparan merkuri dapat menyebabkan kerusakan permanen, bahkan kematian.

Racun itu kemudian menyebar luas ke keluarga mereka, tetangga, masyarakat di Lombok dan sekitarnya.

Petaka ini dimulai ketika para penambang pulang ke rumah dari lereng gunung untuk memproses bebatuan yang mereka gali.

Emas tersimpan di pegunungan Lombok yang dilatari birunya lautan.

Bebatuan itu kemudian dimasukkan ke dalam ball mill, sebuah mesin penggiling berupa baja silinder dengan posisi horizontal yang memecah material di dalamnya menggunakan bola pemberat. Mereka juga menambahkan air untuk mengurai bebatuan menjadi endapan. Lalu merkuri dituangkan ke dalamnya untuk mengikat emas.

Merkuri kemudian dibakar habis, hingga menyisakan emas murni - dan menguarkan asap yang beracun. Air limbah merkuri yang penuh racun kemudian dibuang ke lingkungan sekitar.

Penambang emas Faturahman sadar akan bahaya merkuri bagi manusia. "Tapi saya tidak bisa berbuat apa-apa," kata dia. "Saya tidak tahu bagaimana memproses bebatuan tanpa merkuri."

Tindakannya harus dibayar dengan mahal. Di hari kelahiran putranya, Faturahman menyadari bayinya itu "tidak ingin menyusu" dan muntah-muntah. "Saya segera telepon dokter untuk minta bantuan," kenang dia.

"Dokter melakukan pemeriksaan untuk mencari tahu penyebabnya. Masalahnya ada di usus. Ususnya tidak berfungsi dengan baik."

Putra Faturahman, Nazil.

Karena cacat pada usus, bocah itu tidak bisa buang air besar. Akhirnya, kotoran harus dikeluarkan dari perutnya setiap hari melalui sebuah tabung.

"Dokter mengajari saya cara melakukannya," kata Faturahman. "Hanya saya dan istri yang bisa."

Faturahman dan istrinya bukanlah satu-satunya pasangan yang khawatir akan kesehatan anaknya. Ketika program Undercover Asia mengunjungi dokter Teguh, dia tengah memeriksa empat anak yang kondisinya mengkhawatirkan karena diduga mengalami nasib yang sama.

Salah satu dari anak itu tidak berhenti mengeluarkan liur, kondisi yang dimulai setelah dia mengalami kejang.

Anak lainnya yang juga pernah kejang menderita tuli. Ibu bocah itu mengaku telah terpapar merkuri bahkan sebelum putrinya itu lahir. Suaminya adalah penambang emas.

Dr. Teguh memeriksa Yurika, yang tuli dan mulai mengalami kejang-kejang saat berusia satu tahun.

"Ada pasien-pasien yang memiliki gejala seperti keracunan," kata Teguh. "Saya sangat prihatin, karena saya juga punya anak kecil."

Kliniknya berada di Sekotong, distrik Lombok Barat yang terdiri dari tiga desa. Kebanyakan warganya bergantung pada penambangan emas.

Berbagai lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bekerja di dalam dan sekitar wilayah itu menghitung ada hampir 50 anak yang lahir dengan masalah saraf dan cacat fisik sejak 2018.

TIDAK TERPANTAU

Keracunan merkuri awalnya dikaitkan dengan pembangkit listrik dan manufaktur. Unsur kimia ini biasanya digunakan pada bola lampu, termometer, kosmetik dan yang lainnya. Tapi mulai abad ke-21, kebanyakan industri telah mengadopsi bahan penganti dan metode produksi yang bebas dari merkuri.

Pada abad ke-20 merkuri digunakan pada obat-obatan, bola lampu, dan termometer.

Lalu di Lombok, bahaya itu kembali muncul. Yuyun Ismawati, ahli kesehatan lingkungan, mengatakan penambangan emas informal bermula di Lombok sekitar 15 tahun lalu setelah sebuah perusahaan pertambangan menemukan "cadangan besar" emas di pulau tersebut. Warga lokal lalu menganggapnya sebagai sebuah peluang.

Sejak saat itu, diperkirakan 22.000 orang di Lombok bergantung hidup pada pertambangan emas skala kecil - yang dilakukan bukan di tanah milik mereka. Hingga saat ini, kata Yuyun, aktivitas pertambangan skala kecil tersebut dinyatakan ilegal.

Biasanya penambang emas di Lombok enggan menceritakan pekerjaan mereka, tapi Faturahman setuju berbagi kisah. Lahir di pulau tersebut, Faturahman awalnya bekerja sebagai nelayan, "tapi sulit mendapatkan penghasilan yang cukup". Akhirnya dia beralih menjadi penambang.

Dengan hanya setengah gram emas, Faturahman bisa mendapat uang Rp300.000, dua kali lipat lebih besar ketimbang penghasilan hariannya sebagai nelayan.

Di seluruh dunia, sekitar 20 persen produksi emas datang dari penambang informal seperti dirinya. Tapi penggunaan merkuri telah menimbulkan masalah. Berbagai penyakit di kalangan masyarakat penambang Lombok juga kebanyakan tidak terdeteksi oleh petugas medis.

Upaya LSM untuk mengumpulkan sampel dari warga Lombok juga belum menyeluruh. Itulah mengapa Adriana Ekawati, peneliti medis dari Universitas Mataram, membentuk tim untuk melakukan pengukuran biomarker terhadap masyarakat setempat.

"Kami terdorong pada kenyataan bahwa ini adalah masalah kami juga," kata dia. "Kami ingin tahu seberapa besar masalah ini."

Daftar pertama yang diperiksanya adalah keluarga Faturahman. Pada temuan awal dari uji kognitif sudah diketahui ada masalah kesehatan pada diri Faturahman. 

"Koordinasi gerakan antara tubuh kanan dan kiri tidak seimbang," kata Adriana. "Kemampuannya dalam koordinasi motorik halus juga lebih lambat dibanding rata-rata."

Adriana juga mengambil sampel rambut Faturahman. Hasilnya, sampel menunjukkan adanya konsentrasi merkuri 12,7 kali lebih tinggi dibanding batas aman dari satu bagian per sejuta. Hasil pengujian untuk bayi Faturahman, Nazil, empat kali lebih tinggi dari batas aman.

Merkuri memberikan dampak yang perlahan dan berbahaya pada Faturahman.

Dari 10 orang yang dites di Sekotong, tidak ada satu pun yang bersih. Salah satu penambang emas memiliki sampel dengan kandungan merkuri 26,7 kali lipat di atas batas aman. Seorang bekas penambang memiliki kandungan merkuri 9,8 kali lebih tinggi. Dan anaknya 5,3 kali lebih tinggi. 

"Kita sudah seharusnya sangat khawatir," kata pendiri Medicuss Foundation, Jossep Frederick William.

Menurut Jossep, gejala klinis pertama paparan merkuri seperti terganggunya koordinasi tubuh, terjadi setelah lima tahun. Tahap kedua biasanya lebih parah: Pasien menderita gagal organ atau kelainan saraf. Anak-anak biasanya yang terdampak paling parah. 

"Tingkat keparahannya tergantung dari seberapa banyak kandungan merkuri dalam tubuh dan ketahanan seseorang terhadap merkuri, yang tingkatannya sangat berbeda-beda," kata Jossep.

Penyelidikan di rumah Faturahman dilakukan dengan pengukuran merkuri di udara menggunakan alat analisa merkuri portabel. Hasil pengukuran di atas 1.000 dianggap tidak aman, sementara 8.000 sampai 10.000 adalah level yang mengharuskan evakuasi.

Pengukuran kandungan merkuri di rumah Faturahman.

Konsentrasi merkuri di sekitar ball mill miliknya tercatat 8.657 nanogram per meter kubik.

Bukan hanya itu saja. Pembakaran yang mengubah merkuri menjadi uap akan terakumulasi di udara sampai suatu hari akan jatuh menjadi hujan yang beracun di tempat lain. "Uapnya bergerak ke mana pun angin membawanya, kita tidak bisa menghindar," kata Jossep.

Air limbah terkontaminasi merkuri dari mesin penggiling juga akan mengalir ke sumur-sumur air minum, persawahan, sungai dan lautan tempat warga mencari ikan. 

"Riset yang dilakukan ... seperti oleh Universitas Mataram menunjukkan bahwa pada sayur dan buah-buahan dan produk pangan lainnya (di Lombok), ada kandungan merkuri," kata Jossep.

Merkuri tidak terurai di alam. Semakin banyak digunakan, maka akan semakin tertimbun dalam rantai makanan. 

TERLARANG, TAPI PERDAGANGAN MERKURI KIAN MARAK

Para penambang informal di banyak negara juga menggunakan merkuri untuk mengumpulkan emas, jadi masalah kesehatan seperti di Lombok bukan barang baru. Tapi Indonesia adalah sumber emisi merkuri terbesar kedua (setelah China) yang berasal dari pertambangan emas artisanal dan skala kecil. 

Faturahman membuang air limbah mengandung merkuri dari ball mill miliknya.

Diperkirakan ada 850 titik lokasi pertambangan skala kecil dan setidaknya ada 300.000 penambang emas skala kecil di Indonesia. Perkiraan seberapa banyak merkuri yang mereka gunakan bervariasi, mulai dari 300 ton hingga lebih dari 3.500 ton per tahun.

Merkuri terbuat dari bebatuan bernama cinnabar. Menambang dan pemurnian batuan cinnabar bukan pelanggaran hukum di Indonesia asalkan dilakukan dengan izin. Tapi pemerintah mengatakan mereka belum pernah mengeluarkan satu pun izin untuk itu.

Namun tetap saja, produksi domestik secara ilegal dan rantai pasokan merkuri berkembang pesat.

Salah satu lokasi pertambangan cinnabar terbesar di Indonesia ada di pulau Seram, Maluku. Upaya menutup pertambangan ini sempat diberitakan pada 2017 dan 2020. Namun citra satelit yang diambil akhir Agustus tahun lalu menunjukkan masih adanya aktivitas pertambangan, dengan terlihatnya tenda-tenda biru untuk menyembunyikan kerja penggalian dan mesin-mesinnya.

Jurnalis lokal seperti Rislan mencoba mengungkap keberadaan pertambangan ini. Apa yang baru-baru ini disaksikannya di lereng gunung telah membenarkan citra satelit tersebut. Dia juga sudah berbicara dengan orang-orang yang tengah membersihkan dan menghancurkan bebatuan untuk proses pemurnian.

Seorang pria bersiap menyaring material dari tambang cinnabar.

"Banyak tenda yang didirikan di lereng, jadi tidak mungkin aktivitas mereka tidak diketahui," kata Rislan. "Ini memunculkan pertanyaan, apakah ada pihak-pihak yang bekerja sama atau tutup mata."

Dyah Paramita, peneliti di Centre for Regulation, Policy and Governance (CRPG - Pusat Regulasi, Kebijakan dan Pemerintahan), menyebut penegakan hukum sebagai salah satu masalahnya.

"Penegakan hukum yang lemah menyebabkan beberapa faktor, misalnya keterlibatan aparat hukum atau tidak memadainya kapasitas sumber daya manusia di lapangan," kata dia.

"Berdasarkan data yang saya kumpulkan, sepertinya ada tren keterlibatan pejabat setempat."

Para penambang cinnabar di Pulau Seram.

Dyah menyinggung satu kasus di Sukabumi, Jawa Barat. Dokumen pengadilan pada kasus tersebut menyebut bahwa cinnabar dikirim dengan truk TNI. "Saya juga menerima dokumen pengadilan di Ambon, bahwa polisi terlibat dalam perdagangan merkuri."

Dalam beberapa tahun terakhir, pemurnian ilegal telah terlihat di Ambon provinsi Maluku, Bogor di Jawa Barat, dan Jombang di Jawa Timur. Aktivitas mereka juga terus berpindah untuk menghindari deteksi.

Kondisi ini membuat suplai merkuri cukup banyak untuk para penambang emas di Indonesia, padahal penggunaannya untuk pertambangan emas skala kecil telah dilarang.

Merkuri biasanya dijual melalui calo, bahkan kini telah dijajakan di platform media sosial seperti Facebook oleh para pedagang yang juga menyediakan jasa antar. Meta, perusahaan induk Facebook, tidak membalas pertanyaan Undercover Asia soal masalah ini.

MENETAPKAN RENCANA AKSI

Pemerintah Indonesia telah berkomitmen secara internasional untuk mengatasi masalah merkuri.

Faturahman menuangkan air raksa ke dalam mesin penggiling miliknya.

Pada 2017, Indonesia meratifikasi Konvensi Minamata mengenai Merkuri, sebuah perjanjian global yang dirancang untuk melindungi kesehatan manusia dan lingkungan dari bahaya merkuri. Saat ini, sudah 100 negara yang meratifikasi konvensi tersebut.

Berdasarkan Rencana Aksi Nasional Indonesia, targetnya adalah menghapuskan penggunaan merkuri pada penambangan skala kecil di akhir 2025.

Rencana ini dimulai dengan pelarangan penambangan cinnabar, dan cara yang diajukan untuk mewujudkannya adalah dengan mengeluarkan rancangan undang-undang. Rekomendasi di dalamnya memuat "pencegahan keberadaan fasilitas peleburan cinnabar" dan pencegahan "perdagangan bebas merkuri secara online". 

Penegakan hukum yang lebih tegas juga masuk dalam salah satu rekomendasi, begitu juga usulan untuk mengadopsi teknologi alternatif bagi pemprosesan emas.

Para ahli juga sudah berupaya keras membujuk para penambang agar mengubah cara mereka menambang emas, salah satunya dengan program edukasi di lapangan. "Pada akhirnya, mereka berpendapat bahwa itu adalah risiko yang harus mereka tanggung," kata Jossep.

Dr. Jossep Frederick William adalah salah satu pendiri Medicuss Foundation.

"Merkuri punya kekurangan. Tapi juga kelebihan," kata Sukriya, penambang emas. "Kalau kami tidak pakai merkuri, kami tidak bisa dapat emas.

"Penambangan emas ini penting bagi kami, karena tidak ada pekerjaan lain. Kami hanya bisa menambang di Sekotong."

Beberapa LSM pantang menyerah. Di Lombok, mereka telah memperkenalkan metode baru ekstraksi emas: Melalui mesin penggiling dengan sianida. Meski sianida juga beracun, tapi bahaya penumpukan residunya terhadap lingkungan lebih kecil ketimbang merkuri.

Penggunaan merkuri oleh para penambang 20 banding satu dari emas yang ditemukan. Sementara dengan sianida bisa lebih banyak emas yang diekstraksi. "Itu yang membuat mereka tertarik menggunakan proses sianida," kata Hamdani, kepala koperasi Tibu Batu. 

Koperasi tersebut membangun pabrik pemprosesan dengan sianida untuk para penambang, tapi ternyata dalam eksekusinya sulit. "Mengeluarkan emas dengan merkuri prosesnya cepat, hanya butuh dua hingga tiga jam," kata Hamdani. "Tapi proses dengan sianida bisa 72 jam."

Dengan merkuri, Faturahman tidak butuh waktu lama untuk memproses berbatuan yang mengandung emas.

Itu bukan satu-satunya batu sandungan. Penambang seperti Faturahman biasanya paling banyak menggali dua karung bebatuan setiap harinya. Tapi untuk pemrosesan sianida memerlukan lebih banyak bebatuan untuk sekali jalan, idealnya 150 karung.

Bahkan jika penambang mau bersabar menunggu lamanya pemprosesan dengan sianida, ongkos penggaliannya akan terlalu mahal untuk ditanggung. Sebagai anggota koperasi, mungkin masalah pendanaan ini bisa diatasi.

Tapi hambatan terbesarnya adalah "cara kami memproses emas yang masih ilegal," kata Hamdani. "Sampai sekarang, kami belum mendapat izin dari pemerintah. Kami masih dalam proses untuk mendapatkan izin."

Bagi Jossep, solusi dan peraturan yang mungkin bisa diterapkan sudah jelas. 

"Pertama, (penambang) tidak boleh merusak lingkungan. Kedua, mereka harus menggunakan metode yang lebih bersih tanpa merkuri. Ketiga, pembentukan sistem agar emas yang mereka produksi secara resmi bisa dibeli negara," kata dia.

"Ini akan memberikan devisa yang sangat besar bagi negara."

Faturahman turun ke dalam tambangnya yang berkedalaman lebih dari 15 meter.

Potensi keuntungan bagi Indonesia dari meningkatkan keahlian para penambang informal dan memanfaatkan hasil tambang mereka bisa sangat besar. Tapi ini hanya akan terwujud jika pemerintah dapat mengatasi masalah dan dengan bantuan dari peraturan internasional yang lebih ketat.

"Salah satu kekurangan Konvensi Minamata dalam hal pertambangan skala kecil adalah perjanjian tersebut menganggap pertambangan seperti ini boleh menggunakan merkuri," kata Marcos A Orellana, Pelapor Khusus PBB untuk racun dan hak asasi manusia.

Seharusnya dibalik - merkuri harus dilarang."

Jika pasar gelap merkuri tidak ditutup, para penambang emas akan terus menggunakannya. Para generasi muda dan generasi-generasi penerus merekalah yang akan membayar dampak buruknya.

Bagi Faturahman, sakit yang diderita anaknya membuat dia dalam posisi yang tidak mengenakkan. Karena untuk membiayai operasi anaknya, artinya dia harus menambang lebih banyak emas lagi. "Karena saya tidak punya asuransi, biayanya sekitar Rp30 juta. Saya tidak punya uang sebanyak itu," kata dia.

"Meski kondisi kami seperti ini, saya akan usahakan agar anak saya sehat. Biarpun dia tidak seperti anak normal, tetapi saya tetap bersyukur atas kelahirannya. Harapan saya, anak saya cepat sehat."

Saksikan episode Undercover Asia ini di sini

Source: CNA/da(ih)

Juga layak dibaca

Iklan

Iklan