Mengapa 'Presidential Club' yang digagas Prabowo menuai perdebatan?
Presiden Joko Widodo dan mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyambut baik usulan tersebut. Tapi keretakan hubungan antara mereka dengan Megawati Soekarnoputri bisa jadi penghambat.
JAKARTA: Sebuah klub elite yang anggotanya presiden yang sedang menjabat dan para mantan presiden adalah cara pemimpin Indonesia berikutnya, Prabowo Subianto, mengkonsolidasikan kekuasaannya, ujar para pengamat. Namun menjembatani konflik antara para mantan presiden akan jadi tantangan dalam pembentukan klub ini.
Belakangan ini, media di Indonesia ramai memberitakan soal "Presidential Club" yang pertama kali diwacanakan oleh juru bicara Prabowo pada akhir April lalu.
"Pak Prabowo secara berulang menyebutkan beliau ingin sekali duduk bareng, diskusi panjang dengan para mantan presiden nantinya, sehingga ada seperti istilah saya itu presidential club," kata Dahnil Anzar Simanjuntak dalam sebuah wawancara dengan Kompas TV.
Dahnil menjelaskan, klub itu nantinya akan menjadi sebuah forum berbagi pandangan dan gagasan soal masalah-masalah strategis kebangsaan. Prabowo, kata Dahnil, ingin mendapat masukan dalam memimpin negeri ini dari para pendahulunya.
Dahnil pada awal bulan ini mengatakan Presidential Club nantinya bukanlah lembaga formal dan tidak ada rencana menjadikannya sebuah institusi, berbeda dengan Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres). Wantimpres adalah badan pemerintah yang memberikan nasihat dan pertimbangan kepada presiden dan keberadaannya diatur dalam Pasal 16 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia.
Ketika Prabowo diambil sumpahnya sebagai Presiden pada 20 Oktober mendatang, Indonesia akan memiliki tiga mantan presiden yang masih hidup: Joko Widodo (Jokowi), Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) and Megawati Soekarnoputri.
Jokowi dan partai SBY mendukung ide pembentukan klub tersebut. Jokowi bahkan berkelakar bahwa penerusnya nantinya bisa bertemu dengan para mantan presiden setiap dua hari sekali.
Partai SBY, Demokrat, juga menyambut gembira gagasan tersebut. Dilaporkan Kompas.com, petinggi Partai Demokrat sekaligus orang kepercayaan SBY, Andi Mallarangeng, mengatakan bahwa presiden keenam Indonesia itu telah mendukung ide tersebut.
Menurut Andi, Amerika Serikat juga memiliki klub serupa.
Presiden AS yang sedang menjabat, serta para mantan presiden yang masih hidup, kerap terlihat bersama di acara pemakaman kenegaraan dan berbagai perhelatan lainnya. Ketika menjabat presiden, Joe Biden, Barack Obama, dan George W Bush semuanya pernah terlihat berdiri bersama para pendahulu mereka.
Misalnya pada awal 2005 dalam acara pengumpulan dana untuk korban tsunami dan gempa Aceh, George W Bush terlihat berdiri bersama dua mantan presiden lainnya, yaitu ayahnya George HW Bush dan Bill Clinton. Pada 2010, Obama terlihat diapit oleh Clinton dan George W Bush, dalam penggalangan dana bantuan untuk korban gempa bumi di Haiti.
Namun menurut pengamat, Prabowo akan menghadapi tantangan dari Megawati dalam membentuk Presidential Club.
SETERU PARA MANTAN PRESIDEN
Hubungan Megawati dengan SBY bersitegang dalam dua dekade terakhir. Retaknya hubungan keduanya dimulai ketika SBY menjadi calon presiden dan mengalahkan Megawati pada pemilu 2004.
SBY sebelumnya adalah menteri koordinator bidang politik dan keamanan di kepresidenan Megawati. Banyak yang meyakini, Megawati menganggap SBY telah mengkhianatinya.
Megawati juga bersitegang dengan Jokowi lantaran Jokowi memutuskan berbeda pilihan calon presiden dengan partainya, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
Alih-alih mendukung Ganjar Pranowo sebagai capres yang diusung PDIP, Jokowi malah menyatakan dukungan bagi Prabowo yang maju sebagai capres didampingi oleh Gibran Rakabuming Raka, putra Jokowi, sebagai calon wakil presiden.
PDIP baru-baru ini mengonfirmasi bahwa Jokowi dan Gibran sudah bukan lagi anggota partai.
Yoes Kenawas, pakar politik dari Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta, berpendapat akan sangat sulit bagi Prabowo untuk mengajak Megawati, SBY, dan Jokowi duduk di satu meja.
"Pertama, Prabowo harus mendamaikan Jokowi dan Megawati. Pencalonan Gibran merupakan tantangan langsung terhadap otoritas Megawati sebagai ketua umum PDIP," kata Yoes kepada CNA.
"Sejauh ini, tidak ada tanda-tanda mencairnya ketegangan antara Megawati dan Jokowi. Di dalam lingkaran PDIP, narasi yang terus berkembang adalah penolakan terhadap Jokowi (ditambah dengan Gibran dan menantu Jokowi, walikota Medan Bobby Nasution)," ujar Ambang Priyonggo, asisten profesor komunikasi politik di jurusan digital jurnalistik Universitas Multimedia Nusantara.
Hambatan lainnya bagi Prabowo, menurut Yoes, adalah menjembatani permusuhan lawas antara Megawati dan SBY.
Ambang mengatakan, kunci keberhasilan pembentukan Presidential Club tergantung dari sikap Megawati. Menurut Ambang, akan sulit bagi Prabowo untuk membentuk klub semacam itu.
CARA KONSOLIDASI KEKUASAAN?
Jika Presidential Club terbentuk, pengamat mengatakan, klub ini akan membantu Prabowo untuk mengkonsolidasikan kekuasaannya sebagai presiden, terutama di tahun pertama dan kedua yang biasanya paling menantang.
Meski Prabowo mendapatkan dukungan dari partai-partai yang cukup untuk membentuk hampir suara supermayoritas di parlemen, namun PDIP belum bergabung dengan koalisinya. PDIP adalah partai dengan perolehan suara tertinggi dalam pemilu legislatif Februari lalu.
"Seperti yang kita tahu, PDIP sepertinya akan menjadi oposisi dan kemungkinan akan menganggu agenda-agenda kepresidenan Prabowo, menciptakan kemandekan (di parlemen)," kata Ambang.
Selain itu, Megawati dan SBY masih memiliki pengaruh dan kekuatan politik melalui kepemimpinan di partai mereka masing-masing.
Jika Prabowo bisa memainkan peranan sebagai "juru damai", maka ini akan semakin mengkonsolidasikan kekuatannya, kata Adhi Priamarizki, peneliti pada program Indonesia di S Rajaratnam School of International Studies (RSIS), Universitas Teknologi Nanyang, Singapura.
Menurut Adhi, untuk awalnya Prabowo bisa meminta nasihat secara empat mata dengan para pendahulunya.Â
Ada kekhawatiran Presidential Club dapat memicu terbentuknya kartel politik yang akan merusak proses demokrasi di Indonesia.
Untuk mengumpulkan seluruh mantan presiden Indonesia yang masih hidup dalam satu forum, kata Yoes, Prabowo harus melakukan kesepakatan-kesepakatan politik.Â
"Klub ini tidak hanya menjadi badan penasihat tapi juga sebagai forum untuk memastikan kebijakan Prabowo-Gibran dilaksanakan tanpa penentangan keras di parlemen," kata Yoes.
"Dukungan dari Presidential Club ini akan membantu Prabowo-Gibran mengamankan legitimasi secara simbolis dan parlementer karena bagaimana pun juga, anggota klub ini adalah para politisi paling berpengaruh saat ini di Indonesia. Mereka semua adalah kingmaker."
Â
Adhi setuju bahwa Presidential Club dapat memainkan peran penting dalam pemerintahan berikutnya, meskipun bentukannya nanti bersifat informal.
"Senioritas dan sentralitas para mantan presiden tersebut membuat mereka dapat memengaruhi pengambilan keputusan di kubu mereka sendiri," kata Adhi.
Soal apakah klub ini juga akan membantu Jokowi dalam mempertahankan pengaruhnya setelah tidak jadi presiden, Adhi berpendapat lain.
"Jokowi perlu keterlibatan yang lebih formal untuk mempertahankan pengaruh di pemerintahan berikutnya. Untuk saat ini, dia bisa bergantung pada putranya Gibran untuk secara langsung mempertahankan agendanya. Lebih jauh, kehadiran tokoh politik lainnya di Presidential Club menunjukkan bahwa dia (Jokowi) bukan satu-satunya poros kekuatan di situ," kata Adhi.
Tidak semua pengamat meyakini Indonesia siap memiliki Presidential Club.
Menurut Yoes, masih terlalu dini untuk membandingkannya dengan Presidential Club di Amerika Serikat. Dia mengatakan, para mantan presiden AS yang berasal dari Partai Demokrat dan Republik - terkecuali Donald Trump - berhasil bertemu tanpa adanya keberpihakan.
"Di Indonesia, politik selalu personal," kata dia.