17 tahun Development Singapura menyalakan lentera: Membebaskan ribuan PMI dari belenggu ketidaktahuan
Harun Lie dan Josanti Kaidoen mendirikan Development pada 2007 untuk meningkatkan keterampilan kerja para PMI di Singapura. Dari total sekitar 3.000 peserta program, sudah banyak yang kembali ke Indonesia dan sukses membuka usaha sendiri.

Josanti Kaidoen dan Harun Lie tersenyum saat memantau kelas Development Singapura, sebuah lembaga yang didirikan mereka untuk memberi para PMI kesempatan untuk belajar keterampilan baru. (Tangkapan layar: CNA/Lan Yu)
Artikel ini adalah bagian dari seri 'Hero adalah Kita'.
SINGAPURA: Di sebuah sudut Singapura, di tengah gemerlap gedung-gedung pencakar langit dan hiruk-pikuk kawasan pusat bisnis, berdiri sebuah gerakan senyap namun sangat menggugah hati.
Bukan sekolah elite, bukan pula lembaga pelatihan mahal—melainkan ruang-ruang kecil tempat puluhan pekerja migran Indonesia (PMI) berkumpul di waktu kosong mereka di hari Minggu, belajar dengan semangat membara, mengejar sesuatu yang dulu terasa mustahil yaitu pendidikan, kepercayaan diri, dan masa depan yang lebih layak.
“Core value kami itu adalah menjadi berkat,” ujar Harun Lie kepada CNA Indonesia belum lama ini.
“Apapun yang memang kita punya, kemampuan atau apapun, itu bukan hanya untuk kita sendiri. Hidup kita akan jauh lebih bermakna kalau kita bisa membawa dampak bagi orang lain,” lanjut sosok yang sudah tinggal selama 25 tahun di Negeri Singa ini.
Kalimat itu bukanlah slogan kosong. Harun, pria berusia 52 tahun yang sehari-hari bekerja sebagai pendeta di Bethany Church Singapore, meminta bantuan seorang anggota gereja bernama Josanti Cornelius Huwae Kaidoen.
Maka, pada tahun 2007 lahirlah Development, sebuah gerakan pendidikan dan pemberdayaan nirlaba yang telah bertahan selama hampir dua dekade dengan jumlah murid sebanyak 3.000 orang sejauh ini.
Meski kedua pendirinya datang dari lingkungan gereja, namun Harun menegaskan bahwa semua kegiatan Development bersifat sekuler yang bisa diikuti oleh semua kalangan dari berbagai agama.
Berkisah kepada CNA Indonesia, mereka mengatakan bahwa gerakan ini lahir dari kegelisahan—sebuah keprihatinan mendalam atas ketidakadilan yang dialami oleh ribuan pekerja rumah tangga migran Indonesia di negeri orang.
DARI ARTIKEL HINGGA CURHATAN YANG MENGUSIK HATI NURANI
Semuanya bermula dari sebuah artikel koran yang dibaca Harun bertahun-tahun silam.
“Waktu saya baca artikelnya itu, ternyata banyak ibu-ibu di daerah yang karena tidak mendapatkan kesempatan sekolah (terpaksa) harus bekerja di luar negeri, ke Singapura, ke Malaysia, ke Taiwan, dan negara lain. Dan itu jadi masalah di daerah mereka,” Harun memulai ceritanya.
“Tingkat kejahatan tinggi karena anak-anak mereka ditinggalkan (di kampung halaman), tidak ada yang yang namanya figur ibu di keluarganya,” lanjutnya.

Harun juga menceritakan kisah lain yang mengusik hatinya, yaitu kondisi asisten rumah tangga (ART) asal Indonesia yang bekerja di rumah tetangganya.
"Pembantunya itu menangis terus selama dua minggu," tutur Harun. Setelah ditanya, ternyata perempuan itu baru saja melahirkan anak pertamanya, tetapi terpaksa meninggalkan bayinya yang masih berusia empat bulan untuk bekerja di Singapura.
Dua pengalaman pribadi itu yang kemudian mendorong sosok berusia 52 tahun ini untuk menyalakan api kepedulian.
“Saya pikir, kita ini tinggal di Singapura, dan ada begitu banyak mbak-mbak PMI kita dari Indonesia di sini. Apa yang bisa kita lakukan untuk mereka?” sambungnya.
Di saat bersamaan, Harun kemudian mendengar cerita dari Josanti, wanita berusia 58 tahun yang akrab dipanggil Josi, mengenai curhatan para PMI.
Ketika ia masih mengajar sebagai guru di Sekolah Indonesia Singapura (SIS), ia menerima penugasan dari Harun untuk menjadi figur orang tua bagi PMI tersebut.
“Mereka bilang, mereka datang ke sini bukan karena cita-cita, tapi karena keadaan,” kenang Josi ketika ditemui CNA Indonesia. Ia sudah berhenti mengajar dan kini bekerja sebagai seorang asisten di sebuah klinik.
Setelah bertukar pikiran dengan Harun, dengan latar belakang sebagai pendidik, ia mulai merenung dan berdialog dengan dirinya sendiri: “Kenapa saya tidak mencoba mengajak mereka meningkatkan kualitas hidup lewat pendidikan?”
Para PMI begitu antusias merespons inisiatifnya.
"Mereka memanggil saya Mami dan bilang, 'Mami, saya mau belajar lagi!'" ujarnya tersenyum.

Lambat laun, program berkembang. Bersama Harun—rekan seperjuangannya—Josi membentuk Development, sebuah lembaga pelatihan yang menjadi ruang belajar bagi para pekerja migran Indonesia yang kebanyakan berprofesi sebagai ART.
"Kami sadar, ini harus dilakukan secara kelembagaan, bukan individu," tegas Josi.
“Banyak dari mereka sudah lama tidak pulang ke Indonesia. Kami pikir, bagaimana caranya supaya mereka bisa di-upgrade? Supaya mereka tidak pulang dengan tangan kosong,” tambah Harun.
Mereka berdua melangkah maju dengan keyakinan pendidikan adalah jalan perubahan.
DARI PENDIDIKAN KEJAR PAKET HINGGA KOLABORASI DENGAN TAIPAN CIPUTRA
Langkah awal Development dimulai dengan mencari ruangan kelas, mengangkat relawan yang bersedia mengajar, serta menyiapkan kurikulum untuk program kejar paket A, B dan C bekerja sama dengan sebuah institusi di Batam.
Misi mereka adalah menghapus keterbatasan akses pendidikan yang selama ini membelenggu para PMI.
“Waktu itu kami coba dapat lisensi untuk kejar paket B dan C, SMP dan SMA,” tutur Harun.
“Saya cukup kaget karena salah satu murid kami ternyata buta huruf. Mungkin dulu dia hanya nembak ijazahnya,” imbuhnya.
Namun di balik tantangan itu, tersimpan semangat luar biasa dari para peserta.
Meski hanya punya waktu luang di hari Minggu, Harun mengatakan, antusiasme mereka tak pernah surut, selalu datang dengan semangat yang menyala.

Perjalanan Development tidak selalu mulus. Harun menyadari bahwa ijazah SMP dan SMA yang dimiliki para PMI itu tidak akan memiliki daya jual ketika mereka pulang ke Indonesia, bersaing dengan begitu banyaknya lulusan universitas.
“Mereka di tanah air yang sudah lulusan universitas saja masih banyak yang belum dapat kerja.”
Sri Redjeki Widjaja, koordinator harian Development, menambahkan kepada CNA Indonesia bahwa pendekatan pendidikan tiga tahun lewat program paket terbukti sulit. Banyak PMI yang terhuyung-huyung untuk menyelesaikan pendidikan 3 tahun paket B dan C.
“Mereka kerja, terus belajar. Banyak yang nggak kuat. Tidak sedikit yang drop out,” ucap perempuan yang akrab dipanggil Ekky itu.
Pada tahun 2010, Harun berinovasi dengan merintis program Diploma 3 (D3) bekerja sama dengan sebuah perguruan tinggi swasta atau private college di Negeri Merlion.
Harapan baru pun terbuka lebar mengingat ada 50 PMI yang menyatakan keinginannya untuk berkuliah.
“Kita sempat kerja sama dengan institusi itu, mereka menawarkan menyediakan ruang dan pengajar, dan luar biasanya—gratis, jurusannya bisnis,” jelas Harun.
Adapun biaya perkuliahan ketika itu menembus S$12.000/tahun (sekitar Rp150 juta).
Mengingat sulitnya mendirikan institusi pendidikan formal baru di Singapura, Harun dan Josi menerima tawaran tersebut.

Dua angkatan berhasil menyelesaikan program tersebut. Salah satu alumninya bahkan kini bekerja sebagai manajer hotel di Cilacap, sementara yang lain menjadi asisten manajer di Batam.
“Waktu wawancara, dia langsung diterima karena dia lulusan Singapura,” ungkap Harun dengan bangga.
Namun sistem berubah. Sejumlah private college di Singapura terlibat kasus perkuliahan fiktif, memungut biaya kuliah tanpa adanya proses belajar-mengajar.
Akibat kasus ini, banyak lembaga pendidikan di Singapura yang harus kembali mengajukan permohonan izin operasi. Hal ini berimbas pada terhentinya program diploma yang sudah dijalankan karena mendapatkan perizinan sangat sulit.
Dalam masa-masa sulit itu, Harun dikenalkan dengan sosok Antonius Tanan—tangan kanan almarhum taipan properti Ciputra yang memiliki misi mencetak dua juta entrepreneur di Indonesia.
“Pak Antonius Tanan itu awalnya mau bikin kelas di Hongkong dan sudah bertemu dengan KJRI Hong Kong, tapi dia hanya mendapat izin kelas sekali sebulan, selain itu tutor nggak ada, murid nggak ada, tempat nggak ada,” kisah Harun.
“Terus dia dengar tentang kelas kami di Singapura. Waktu tahu kita sudah punya murid, kurikulum, tempat, dia langsung bilang ‘boleh nggak kita kerja sama?’” lanjutnya.
Kerja sama itu akhirnya membuka gerbang baru berupa pelatihan keterampilan dan entrepreneurship yang jauh lebih aplikatif, fleksibel, dan berdampak langsung ke kehidupan.

Misalnya diajarkan kepada PMI itu manajemen keuangan dengan merencanakan berapa lama mereka ingin bekerja di Singapura dan bagaimana menyimpan uang agar punya modal membuka usaha ketika pulang ke tanah air.
“Jadi kita fokus ke skill. Kalau ijazah nggak punya, skill pun nggak punya, bagaimana bisa survive di Indonesia ketika mereka pulang?” kata Ekky.
Development kemudian mulai mengajarkan keterampilan seperti entrepreneurship, Bahasa Inggris, make-up, penggunaan media sosial, digital marketing, komputer, hingga kreativitas dan inovasi.
Lembaga ini mengembangkan program modular tiga bulan sekali, dengan kelas berisi sekitar 30 orang.
Dari satu pelatihan, para peserta biasanya akan tertarik ikut kelas lain.
“Setelah tiga bulan, mereka pasti mau ambil course yang lain. Lalu nanti mereka mulai kuliah jarak jauh, ikut Universitas Terbuka, bahkan ada alumni yang sekarang sudah jadi guru Bahasa Inggris di salah satu SMA di Indonesia,” tambah Harun.

KESUKSESAN PARA ALUMNI DEVELOPMENT
Kisah-kisah kesuksesan alumni Development ada di mana-mana, mulai dari yang berhasil mengambil S2 dan lanjut bekerja di negara lain dengan profesi dan penghasilan yang lebih baik.
Tidak sedikit juga dari mereka yang sukses menjalankan berbagai usaha di kampung halaman.
Salah satunya Nurul Fatimah yang menjalankan usaha sewa sepeda motor yang sukses di Nusa Dua, Bali, hingga bisa membeli rumah dan mobil yang layak.
Nurul bekerja di Singapura selama sembilan tahun sebelum akhirnya memutuskan pulang ke tanah air pada tahun 2020.
Ia kemudian menggunakan bekal ilmu entrepreneurship yang dipelajarinya dari Development dari 2014 hingga 2015 untuk memulai usaha dari nol.
Setelah melalui jatuh bangun dalam berbisnis, ia akhirnya sukses memulai penyewaan motor dalam dua tahun terakhir.
Dari hanya dua sepada motor pada awal mulanya, Nurul kini sudah memiliki 34 unit untuk disewakan.
Alumni Development lainnya yang sangat membanggakan adalah Sulit Sukesi, yang kini menjabat kepala desa di Desa Wasiat, Purworejo, Jawa Tengah.
Setelah bekerja selama 15 tahun di Singapura, Sulit pulang kampung pada Mei 2018.
Berselang setahun kemudian, perempuan yang mengenyam ilmu manajemen bisnis dan entrepreneurship di Development itu terpilih sebagai kepala desa.
“Dulu waktu saya tanya, ‘kok namanya Sulit?’ Dia jawab, ya mungkin karena waktu lahirnya susah,” ucap Harun sambil tersenyum.

RELAWAN DAN JARINGAN KEBAIKAN
Gerakan ini tidak berdiri sendiri. Development semakin mengepakkan sayapnya setelah mendapat pendanaan dari sebuah organisasi nirlaba asal Amerika Serikat.
Bantuan tenaga relawan juga datang dari berbagai latar belakang.
“Mereka ada usahawan, ada orang profesional, dan juga ada murid-murid yang membantu,” kata Harun.
Universitas Ciputra ikut menyumbangkan tenaga dan keahlian.
Pelatihan diberikan secara online lewat Zoom, sementara kegiatan tatap muka dilakukan di ruang-ruang sederhana.
“Mereka bukan sekadar belajar keterampilan, tapi belajar bermimpi kembali,” kata Ekky.
“Kita ingin saat kembali ke Indonesia, mereka tidak hanya membawa koper, tapi juga pengetahuan, ide, dan keberanian untuk membangun hidup baru.”
Harun meyakini bahwa pendidikan dan pemberdayaan ekonomi dapat memutus mata rantai masalah sosial, misal tingkat kejahatan di Indonesia.
Diharapkan PMI ini tidak akan selamanya bekerja di luar negeri melainkan dapat pulang berkumpul kembali dengan keluarga, serta membuka usaha sendiri dan menyerap tenaga kerja.
Dari ruang-ruang kelas kecil di Singapura, Development telah menjadi pelita bagi ratusan perempuan yang selama ini dianggap “tak terlihat”.

Mereka bukan lagi hanya pekerja rumah tangga—melainkan calon guru, wirausaha, pemimpin desa, dan inspirasi bagi generasi berikutnya.
“Saya bersyukur. Apa yang kita rencanakan dari awal, akhirnya sudah ada hasilnya,” pungkas Josi sambil tersenyum, mengakhiri pembicaran dengan CNA Indonesia.
'Hero adalah Kita' adalah seri tulisan yang mengangkat kisah inspiratif dari pahlawan sehari-hari di Indonesia. CNA Indonesia menyoroti individu-individu yang berdedikasi tulus demi kebaikan masyarakat dan lingkungan di sekitar mereka.
Seri ini adalah bentuk apresiasi kami kepada mereka yang sering kali tidak terlihat namun berdampak besar bagi banyak orang. Ayo sama-sama kenali dan hargai para pahlawan di sekitar kita, karena Hero adalah Kita!
Kenal sosok pahlawan di sekitarmu yang telah membantu masyarakat? Beri tahu kami lewat email di cnaindonesia [at] mediacorp.com.sg.
Ikuti saluran WhatsApp CNA Indonesia untuk dapatkan berita menarik lainnya. Pastikan fungsi notifikasi telah dinyalakan dengan menekan tombol lonceng.