Pahlawan anabul: Demi kucing liar, Ananda menyusuri stasiun dan mendaki gunung
Ananda Arief menelusuri setiap stasiun di Jabodetabek untuk memberikan makanan bagi kucing liar. Dia juga nekat naik gunung demi memberi pakan kucing.
Artikel ini adalah bagian dari seri 'Hero adalah Kita'.
JAKARTA: Matahari baru saja terbit ketika Ananda Arief memacu mobilnya dari Cipayung, Jakarta Timur, ke Stasiun Kereta Manggarai di Jakarta Selatan pada Oktober lalu.Â
Di bagasi mobilnya, tertumpuk berkarung-karung makanan kucing, dari yang basah hingga kering, dan puluhan wadah makanan. Sesampainya di stasiun, muatan itu diturunkan sebagian, dimasukkan ke dalam tiga tas yang dibawanya dengan setengah kewalahan.
"Saya bawa tiga tas, dua dipegang, satu di ransel. Setelah beberapa hari, kayaknya berat juga. Akhirnya selanjutnya pakai troli," kata pria 26 tahun ini saat berbincang dengan CNA bulan lalu.
Manggarai dipilihnya karena merupakan stasiun transit yang terhubung dengan jalur kereta Jabodetabek. Nanda - panggilan akrabnya - kemudian naik ke atas kereta dan turun di setiap stasiun yang dilintasinya.
Di setiap stasiunnya - dari Cikarang hingga ke Rangkas Bitung - dia meletakkan makan kucing di atas wadah plastik yang telah dibawanya dari rumah.
"Di semua stasiun pasti ada kucing liarnya. Setelah saya taruh makanan, lalu saya panggil kucing-kucingnya, biasanya mereka berdatangan. Kalau belum datang, saya tunggu sampai satu jam," kata Nanda.
"Banyak yang mendukung, security stasiun malah bantu mencarikan kucing-kucing liarnya," lanjut dia.
Dalam satu kali perjalanan kereta, makanan yang dibawanya bisa untuk 10 stasiun. Jika perbekalan habis, dia kembali  ke Manggarai untuk mengisi perbekalan lagi, lalu kembali menunggang KRL dengan rute berbeda. Nanda baru pulang ketika malam menjelang.Â
Selama dua minggu pada Oktober itu, Nanda telah meletakkan makanan kucing beserta wadahnya di 84 stasiun KRL Jabodetabek.
Lelah sudah pasti. Dia sempat ambruk di hari ketiga. "Di hari ketiga saya sempat sakit typus karena kelelahan. Istirahat dulu tiga hari, setelah itu jalan lagi" kata dia.
Selain stasiun KRL, Nanda juga meletakkan wadah makanan kucing di pet feeding area stasiun MRT. Bedanya, wadah yang diletakkan di MRT adalah dispenser otomatis rancangannya sendiri.
Dibuat menggunakan pipa paralon, dispenser itu bekerja mengandalkan gravitasi, membuat makanan kucing turun otomatis jika tumpukan di bawah sudah habis termakan.Â
Awalnya Nanda tidak menjual dispenser tersebut. Namun karena banyaknya permintaan, dia akhirnya menjualnya, namun hanya dengan harga modal tanpa mengambil keuntungan.
"Harganya Rp198 ribu, tidak ambil keuntungan, itu sepenuhnya biaya produksi dan material," kata dia.
Tidak sekadar meletakkan lalu ditinggalkan, Nanda juga kerap mengunjungi kembali wadah-wadah itu untuk mengisinya ulang dengan makanan. Tapi dia kerap mendapati wadah-wadah itu sudah terisi makanan.
"Mungkin karena video konten saya viral, maka para cat lover secara spontan berinisiatif mengisi wadahnya. Saat saya mengecek ke lokasi, sudah diisi," kata pemilik toko pakan hewan peliharaan Sweet Official Shop ini.
BENTUK TERIMA KASIH KEPADA KUCING
Nanda mengunggah seluruh kegiatan "street feeding" tersebut di Instagram dan TikTok pribadinya dan telah menuai ratusan ribu likes.Â
Apresiasi berdatangan dari para cat lover lainnya setelah videonya viral, tidak sedikit juga yang ingin menawarkan bantuan dan ikut bergabung.
"Saya ingin agar semua orang bisa termotivasi," kata Nanda soal postingannya di medsos tersebut.Â
Diperkirakan ada lebih dari 754 ribu ekor kucing liar di Jakarta, berdasarkan data Dinas Ketahanan Pangan, Kelautan, dan Pertanian (Dinas KPKP) Provinsi Jakarta seperti dikutip dari Kompas.
Tidak sedikit orang yang menganggap kucing liar ini sebagai hama. Namun menurut Nanda, kucing liar adalah anabul (anak berbulu) yang patut diperhatikan juga kesejahteraannya.
Semua orang seharusnya memiliki empati kepada hewan liar, kata dia. Dengan melakukan kegiatan ini, Nanda berharap bisa memberikan sedikit makanan yang layak kepada hewan-hewan tersebut.Â
"Manusia seharusnya punya rasa tidak tega. Hewan itu tidak bisa bicara (kalau lapar), mereka mengais-ngais makanan di tempat sampah. Jika dibiarkan, nantinya membuat penyakit yang bisa menularkan ke manusia juga," kata pria yang memelihara 15 kucing di rumahnya ini.
Dia mengaku telah merogoh kocek pribadi hingga sekitar Rp10 juta untuk kegiatan ini. "Tapi uang yang dikeluarkan tidak sebanding dengan kepuasan yang aku dapat," ujar Nanda.
Selain itu, kata dia, street feeding yang dilakukannya adalah "bentuk terima kasih" kepada kucing. Pasalnya, dia bisa mencari nafkah melalui penjualan pakan, aksesoris dan kandang untuk kucing.
"Aku bisa menghidupi diri 7 tahun karena kucing dan anjing. Bisa beli apa-apa, kuliah, punya karyawan dan menghidupi banyak orang karena mereka," kata Nanda.
"Di dalam rezeki aku, ada rezeki mereka juga," lanjut sarjana hukum lulusan Universitas Trisaksi ini.
Bisnis pakan kucing ditekuninya setelah dia dua kali gagal menjalani tes masuk TNI pada 2017 dan 2018. Di sela-sela menunggu tes berikutnya, dia berbisnis pakan serta aksesoris hewan peliharaan secara online.
Bisnis yang awalnya hanya mengisi waktu luang, malah justru sangat menghasilkan. Akhirnya Nanda memilih menekuni bisnis ini secara penuh waktu dengan membuka toko. Dia juga kini telah membuka pabrik pembuatan kandang kucing di Sukabumi.
MEMBERI MAKAN ANABUL DI GUNUNG
Kegiatan street feeding Nanda tidak hanya dilakukan di stasiun KRL dan MRT, tetapi juga ke beberapa tempat rekomendasi para follower-nya yang diyakini banyak kucing liar.
Salah satu tempat yang paling banyak kucingnya, kata dia, adalah Wisma Atlet Kemayoran. "Ada sekitar 100 kucing liar di Wisma atlet. Tempat ini memang sudah terkenal jadi tempat pembuangan kucing," kata dia.
Dia juga tergerak mendaki Gunung Gede-Pangrango, setelah melihat video viral soal kucing bernama Opet yang kerap ditemui pendaki di gunung tersebut.
"Saya mikir, ini kucing makannya apa ya di gunung. Akhirnya malam itu juga saya siapkan bekal, besoknya jalan," kata Nanda.
Pendakian ke Gunung Gede pada 8 November itu menurut Nanda cukup nekat. Pasalnya dia tidak punya pengalaman naik gunung sebelumnya. Peralatan juga seadanya hasil menyewa, itu pun, kata dia, tertinggal di pos pemeriksaan.
"Saya kira naik gunung itu kaya naik bukit, ternyata terjal, capek banget," kata dia.
Mulai pendakian dari pukul 9 pagi, Nanda tiba di Alun-alun Surya Kencana pada pukul 14.00 dan mulai mencari Opet. Kucing putih-oranye itu tidak juga ketemu, namun Nanda mendapati ada satu kucing liar lain di tempat itu yang akhirnya diberi makan.
"Jam 4 baru turun. Sudah mulai gelap, turun kabur, ketemu babi hutan lagi," kata Nanda soal pengalamannya yang juga diunggah di medsos itu.
Pada 15 November, dia juga ke Gunung Salak untuk memberi makan kucing liar di sana. Tapi Nanda hanya mendaki hingga pos 1 dan memutuskan pulang setelah tidak menemukan kucing yang dicari.
PEMERINTAH BISA MENIRU TURKI
Overpopulasi kucing liar bisa menyebabkan berbagai masalah, dari ketidakseimbangan ekosistem hingga munculnya penyakit dari hewan.Â
Pemerintah kota di Indonesia, salah satunya Jakarta, berusaha mengendalikan populasi kucing liar dengan cara sterilisasi. Dinas KPKP Jakarta sendiri sempat mengadakan program sterilisasi gratis bagi kucing-kucing liar yang dibawa warga.
Nanda setuju dengan program sterilisasi untuk menekan pertumbuhan kucing liar. Namun selain itu, kata dia, pemerintah bisa meniru kebijakan pemerintah Turki terkait kesejahteraan hewan liar.
"Turki memfasilitasi, mengalokasikan dana untuk hewan liar. Kucing-kucing di sana disejahterakan. Saya pengin, Indonesia, khususnya di Jakarta bisa kaya Turki," kata Nanda.
Kepada pemerintahan kota yang baru nanti, Nanda berharap agar hewan-hewan liar bisa mendapatkan akses layanan kesehatan dan makanan yang layak.
"Semoga pemerintah memberikan cinta yang tulus bagi hewan, membuat peraturan yang mengikat agar tidak terjadi lagi penyiksaan dan eksploitasi hewan untuk hiburan," kata Nanda.
Sampai saat ini Nanda masih melakukan street feeding dan aktif membagikan aktivitas tersebut di medsos untuk memotivasi. Ditanya sampai kapan akan melakukannya, tegas dia mengatakan: "Selamanya".Â
'Hero adalah Kita'Â adalah seri tulisan yang mengangkat kisah inspiratif dari pahlawan sehari-hari di Indonesia. CNA Indonesia menyoroti individu-individu yang berdedikasi tulus demi kebaikan masyarakat dan lingkungan di sekitar mereka.
Seri ini adalah bentuk apresiasi kami kepada mereka yang sering kali tidak terlihat namun berdampak besar bagi banyak orang. Ayo sama-sama kenali dan hargai para pahlawan di sekitar kita, karena Hero adalah Kita!
Kenal sosok pahlawan di sekitarmu yang telah membantu masyarakat? Beri tahu kami lewat email di cnaindonesia [at] mediacorp.com.sg.
Baca kisah-kisah Hero adalah Kita lainnya:
Ikuti saluran WhatsApp CNA Indonesia untuk dapatkan berita menarik lainnya. ​​​​​