Mikroplastik dalam air hujan Jakarta, cerminan perilaku warganya yang suka bakar sampah?
Penelitian BRIN yang dilakukan sejak 2018 ini menunjukkan bahwa polusi mikroplastik kini tak hanya mencemari tanah dan laut, tetapi juga langit Jakarta. Apa yang menyebabkannya?
Warga Jakarta mempercepat laju sepeda motor saat terjebak hujan. (Foto: iStock/Adennysyahputra)
JAKARTA: Penelitian Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengungkap fakta mencengangkan: air hujan di Jakarta mengandung mikroplastik, partikel plastik berukuran sangat kecil. Mirkoplastik tersebut berpotensi mencemari udara, air, dan makanan, sekaligus menjadi peringatan bagi perilaku warga kota.
"Langit Jakarta sebenarnya sedang memantulkan perilaku manusia di bawahnya. Plastik yang kita buang sembarangan, asap yang kita biarkan mengepul, sampah yang kita bakar karena malas memilah, semuanya kembali pada kita dalam bentuk yang lebih halus, lebih senyap, tapi jauh lebih berbahaya," ujar peneliti BRIN Muhammad Reza Cordova, dikutip dari situs resmi lembaganya, Sabtu (18/10).
BRIN menemukan partikel mikroplastik di setiap sampel air hujan di Jakarta. "Mikroplastik ini berasal dari serat sintetis pakaian, debu kendaraan dan ban, sisa pembakaran sampah plastik, serta degradasi plastik di ruang terbuka," jelas Reza, dikutip dari Detik.
Penelitian yang dipublikasikan di Science Direct pada Januari 2022 itu menunjukkan laju deposisi mikroplastik di Jakarta mencapai 3 hingga 40 partikel per meter persegi per hari, dengan rata-rata 15 partikel.
Reza menambahkan bahwa fenomena ini merupakan bagian dari siklus plastik yang kini sudah mencapai atmosfer. "Siklus plastik tidak berhenti di laut. Ia naik ke langit, berkeliling bersama angin, lalu turun lagi ke bumi lewat hujan," ungkapnya.
SEJAK 2018
Reza menjelaskan bahwa penelitian mengenai mikroplastik di air hujan sebenarnya telah dilakukan sejak 2018. Namun, hasilnya baru menarik perhatian publik setelah dipublikasikan secara terbuka.
"Penelitian mengenai mikroplastik dalam air hujan telah dilakukan sejak tahun 2018. Sejak awal kami sudah berkoordinasi dengan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta, yang merespons cepat dan mendorong penelitian lanjutan, baik di perairan Jakarta maupun di air hujan," ujar Reza, Minggu (19/10), dikutip dari Kompas.
Menurutnya, riset ini sangat penting karena Indonesia belum memiliki standar nasional terkait ambang batas aman mikroplastik di udara maupun air hujan.
"Saat ini, regulasi nasional mengenai batas aman mikroplastik di udara dan air hujan belum tersedia, sehingga kolaborasi ini diharapkan menjadi pijakan awal menuju kebijakan nasional berbasis bukti ilmiah," lanjutnya.
Guru Besar IPB University dari Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK), Etty Riani, menilai temuan tersebut secara ilmiah sangat masuk akal.
"Partikel ini bisa berasal dari berbagai sumber di darat seperti gesekan ban mobil, pelapukan sampah plastik yang kering dan terbawa angin, hingga serat pakaian berbahan sintetis," jelas Etty melalui keterangan tertulis, Senin (20/10).
Ia menjelaskan bahwa partikel mikroplastik dan nanoplastik sangat ringan, sehingga mudah terangkat ke udara lalu turun kembali ke bumi bersama air hujan.
"Mikroplastik yang melayang di atmosfer akan menyatu dengan tetesan air hujan. Karena ukurannya sangat kecil, partikel itu tidak terlihat, sehingga seolah-olah air hujan bersih," ujarnya, dikutip dari Media Indonesia.
Menurut Etty, sumber mikroplastik di udara Jakarta sangat beragam, mulai dari degradasi sampah plastik hingga gesekan ban kendaraan dan pakaian sintetis. "Tingginya penggunaan plastik dalam kehidupan sehari-hari juga menjadi akar masalah. Dari bangun tidur hingga tidur lagi, manusia tidak lepas dari plastik," tambahnya.
Ia mengingatkan bahwa plastik bukan hanya masalah lingkungan, tetapi juga kesehatan. "Di dalamnya ada bahan aditif berbahaya yang bisa memicu gangguan hormonal dan meningkatkan risiko kanker," ujar Etty.
LANGKAH PEMERINTAH
Menanggapi temuan BRIN, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta segera mengambil langkah lanjutan. Kepala DLH Jakarta, Asep Kuswanto, menegaskan bahwa pemerintah daerah memperkuat pengendalian sampah plastik dari hulu hingga hilir, termasuk pemantauan kualitas udara dan air hujan secara berkala.
"Menjaga langit Jakarta bebas dari mikroplastik adalah tanggung jawab bersama, dan perubahan perilaku masyarakat menjadi kunci utama untuk menanggulangi persoalan plastik ini," ujar Asep, dikutip dari Kumparan.
Pemprov DKI telah menerapkan sejumlah kebijakan seperti Peraturan Gubernur Nomor 142 Tahun 2019 tentang penggunaan kantong belanja ramah lingkungan, perluasan Jakstrada Persampahan dengan target pengurangan sampah 30 persen dari sumbernya, serta pengembangan bank sampah dan fasilitas TPS 3R.
Selain itu, DLH bersama BRIN kini memperluas pemantauan mikroplastik di udara dan air hujan melalui platform Jakarta Environmental Data Integration (JEDI).
"Data yang terhimpun dari sistem ini akan menjadi dasar pengambilan kebijakan yang lebih berbasis bukti (evidence-based policy)," jelas Asep.
Menurut National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA), mikroplastik adalah potongan plastik berukuran kurang dari 5 milimeter yang bisa terbagi menjadi dua jenis: mikroplastik primer (langsung diproduksi kecil, misalnya pada kosmetik dan pembersih wajah) dan mikroplastik sekunder (hasil pecahan dari plastik berukuran besar akibat paparan sinar matahari atau gesekan).
Karena sangat ringan, partikel ini mudah berpindah melalui udara dan air, lalu masuk ke ekosistem, ditelan oleh hewan, dan akhirnya berpotensi masuk ke tubuh manusia. Mikroplastik juga dapat menyerap zat kimia berbahaya yang bisa menimbulkan efek jangka panjang terhadap kesehatan.
Baik para peneliti maupun pejabat pemerintah menegaskan bahwa solusi awal terletak pada perubahan perilaku masyarakat. Etty menekankan pentingnya pola hidup sederhana dan kembali ke alam.
"Kurangi penggunaan plastik, hindari produk perawatan tubuh yang mengandung mikroplastik, dan biasakan memilah sampah sejak dari rumah," ujarnya.
Langkah-langkah kecil seperti itu dianggap krusial untuk menekan laju pencemaran plastik di udara maupun air hujan Jakarta — sebelum langit Jakarta benar-benar "tertutup" partikel plastik yang tak terlihat.