Skip to main content
Hamburger Menu
Close
Edisi:
Navigasi ke edisi CNA lainnya di sini.

Iklan

Indonesia

Menyabung Nyawa: Mengapa PMI ilegal nekat mengarungi lautan demi ke Malaysia?

CNA berbicara kepada para PMI ilegal yang mempertaruhkan nyawa mengarungi lautan serta merasakan langsung kerasnya gelombang di jalur pelayaran ke Malaysia. 

Menyabung Nyawa: Mengapa PMI ilegal nekat mengarungi lautan demi ke Malaysia?

Setiap tahunnya, ribuan migran tanpa dokumen mempertaruhkan nyawa untuk memasuki Malaysia secara ilegal melalui jalur laut yang berbahaya. (CNA/Rafa Estrada)

BATAM/KUALA LUMPUR: Ketika itu puncak musim penghujan di tahun 2021. Nurdan berusaha mati-matian mencapai daratan berlumpur di hutan pesisir selatan Johor, Malaysia. Di pundaknya, dia membopong seorang pria yang tak sadarkan diri.  

Sebelumnya, perahu kayu yang ditumpanginya karam setelah dihantam ombak ganas. Bersama dengan sekitar 60 warga negara Indonesia (WNI) lainnya, dia hendak masuk Malaysia secara ilegal melalui jalur laut.

Salah satu mesin perahu itu mati sebelum akhirnya menabrak batu karang, di jarak sekitar 50 meter dari bibir pantai. Jika ingin tetap hidup, mau tidak mau mereka harus berenang ke tepian.

Bercerita kepada CNA, Nurdan mengaku saat itu dia sangat syok dan lelah luar biasa setelah berenang untuk menyelamatkan diri. Dia tidak tahu ada di mana dan harus bagaimana.

"Tapi yang ada di pikiran saya cuma: 'Jangan sampai tertangkap'," kata pria 37 tahun ini.

Otak Nurdan berputar untuk mencari cara keluar dari pantai dan sembunyi. Dia khawatir aparat segera menemukan kapal karam itu, lalu menyisir pantai mencari korban selamat.

Jika tertangkap, pekerja migran Indonesia (PMI) tanpa dokumen seperti Nurdan bisa dipenjara hingga lima tahun dan dihukum lima kali cambukan.

Setelah beberapa jam bersembunyi, Nurdan melihat beberapa mobil mendekati pantai. Dia ketakutan luar biasa, khawatir itu adalah mobil aparat.

Tapi ternyata di dalam mobil itu adalah penghubung mereka di Malaysia, hendak menjemput dan mengantar para WNI tersebut ke tempat aman di Johor Bahru.

Nurdan, pria yang diselamatkannya dan puluhan orang lainnya keluar dari persembunyian. Tapi menurut Nurdan, tidak semua yang bersamanya di kapal ada di tempat itu.

"Salah satu teman saya tidak ada, juga perempuan yang memberikan saya secangkir kopi sebelum kami berlayar," kata dia. Sampai saat ini, nasib mereka tidak diketahui.

Nurdan di tempat penampungan pekerja migran Indonesia yang dideportasi di Batam, Kepulauan Riau, Indonesia. (Foto: CNA/Wisnu Agung Prasetyo)

Selama bertahun-tahun, ratusan orang tewas dalam perjalanan laut dari Riau dan Provinsi Kepulauan Riau menuju Johor atau Melaka di Malaysia.

Tidak sedikit juga yang berhasil dicegat dalam patroli penjaga pantai Indonesia dan Malaysia, untuk kemudian diadili karena pelanggaran imigrasi.

Namun risiko tenggelam atau dipenjara tampaknya tidak membuat ribuan pekerja migran tanpa dokumen ini jera untuk kembali bekerja secara ilegal di Malaysia setiap tahunnya.

Pada Agustus lalu, CNA mencoba melintasi jalur laut yang diarungi para imigran ilegal ini. Menggunakan perahu yang sama dengan para imigran, CNA ingin merasakan seperti apa perjalanan laut tersebut, namun menjaga agar tetap berada di perairan Indonesia.

Angin bertiup kencang di hari itu. Ombaknya cukup kuat ketika perahu kami angkat sauh di sebuah pelabuhan nelayan di tenggara kota Batam.

Nakhoda kapal kami, Bidin, menunjuk pulau-pulau kosong tempat kapal para pekerja migran biasanya berangkat dan mendarat.

"Beberapa bulan lalu, saya lihat ada enam pekerja migran di sana, sembunyi di semak-semak dan di balik pohon," kata Bidin, sembari menunjuk sebuah pulau kosong yang berjarak sekitar lima menit berlayar dari pelabuhan.

Beberapa menit kemudian, Bidin menunjuk pulau lainnya. "Beberapa tahun lalu, TNI AL mencegat perahu pekerja migran sekitar pulau itu," kata dia.

Sebuah pulau tanpa nama di dekat Batam, Kepulauan Riau, yang menurut penduduk setempat pernah digunakan sebagai tempat keberangkatan bagi para PMI ilegal untuk masuk ke Malaysia. (Foto: CNA/Wisnu Agung Prasetyo)

Butuh sekitar 40 menit bagi kapal kami untuk berlayar ke Selat Singapura. Saat itu, arus menjadi semakin kuat dan gelombang semakin besar setelah kapal kontainer raksasa melintas.

Dari titik tersebut, kota industri Pengerang di Johor dengan cerobong api dari kilang minyak dan pabrik petrokimianya terlihat jelas. Butuh sekitar 45 menit berlayar untuk menuju tempat itu.

Selain jalur laut, para pekerja migran tanpa dokumen ini juga memasuki Malaysia melalui darat. Mereka memanfaatkan celah-celah perbatasan di Thailand untuk memasuki Semenanjung Malaysia, atau di Kalimantan Utara dan Barat untuk memasuki Malaysia Timur.

Menurut data Bank Dunia, diperkirakan ada 1,2 hingga 3,5 juta pekerja migran tanpa dokumen di Malaysia antara 2018 dan 2020, kebanyakan berasal dari Indonesia, Bangladesh dan Myanmar.

Jumlah migran berdokumen resmi di periode yang sama adalah sekitar 1,4 hingga 2 juta orang.

Kebanyakan pekerja migran di Malaysia adalah pekerja kasar di sektor konstruksi, pertanian dan manufaktur, dan pekerjaan-pekerjaan yang dianggap kotor, berbahaya dan rendahan, dikenal sebagai pekerjaan 3D (dirty, dangerous, demeaning).

Ada harga mahal yang harus dibayar para pekerja migran tanpa dokumen di Malaysia.

Setiap harinya, mereka hidup diteror ketakutan jika tempat kerja digerebek aparat, dipenjara karena pelanggaran imigrasi dan dideportasi kembali ke negara asal.

Beberapa pekerja migran tanpa dokumen juga mengaku diperlakukan dengan buruk, tidak adil dan dibayar dengan sangat rendah oleh majikan mereka. Jika protes, mereka diancam akan dilaporkan ke polisi oleh para majikan.

Walau kondisinya demikian, namun tetap saja ribuan orang memilih mempertaruhkan nyawa dan kebebasan mereka demi bekerja dengan bayaran tiga hingga lima kali lebih besar dibanding di tanah air. Mereka tetap kembali ke Malaysia, bahkan setelah sempat dipenjara dan dideportasi berkali-kali. 

"Banyak yang sudah dideportasi (ke Indonesia) kembali masuk (Malaysia) secara ilegal. Setelah di Malaysia, mereka ditangkap dan dideportasi," kata Imam Riyadi, Kepala Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Kepulauan Riau, kepada CNA.

"Ini adalah siklus yang tak pernah berakhir."

DEMI KEHIDUPAN YANG LEBIH BAIK

Selain kesamaan bahasa dan budaya, Imam dari BP2MI mengatakan ada banyak alasan mengapa WNI ingin menjadi pekerja ilegal di Malaysia.

"Banyak orang yang tidak ingin melalui jalur resmi (untuk bekerja di Malaysia) karena prosesnya terlalu lama atau mereka merasa tidak memenuhi syarat," kata Imam.

Menurut situs BP2MI, mereka harus membawa setidaknya 11 dokumen berbeda jika ingin menjadi pekerja migran, termasuk surat keterangan berkelakuan baik dari kepolisian setempat.

Selain itu, mereka juga harus menjalani pemeriksaan psikologis dan medis, serta kursus bahasa dan keahlian yang sesuai dengan negara tujuan dan pekerjaan mereka nantinya.

Seorang pria mendaftar untuk menjadi pekerja migran di kantor Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) di Batam, Kepulauan Riau. (Foto: CNA/Wisnu Agung Prasetyo)

Menurut para pekerja dan kelompok pembela HAM, proses tersebut memakan waktu antara dua hingga empat bulan.

“Melalui jalur resmi pemerintah dan pusat pelatihan yang tepat, memenuhi semua persyaratan dokumen-dokumen, menurut (beberapa pekerja) membutuhkan waktu yang lama,” ujar Irwan Setiawan, salah satu pendiri kelompok anti-perdagangan manusia yang berbasis di Batam, Embun Pelangi, kepada CNA.

“Pemerintah perlu menyederhanakan prosesnya agar orang-orang ini berhenti melakukan perjalanan berbahaya dan menjadi korban sindikat penyelundupan manusia.”

MAIN KUCING-KUCINGAN

Mereka yang memilih masuk malaysia secara ilegal melalui laut harus membayar apa yang disebut "uang pantai", selain ongkos perahu.

Orang-orang yang diwawancara CNA mengaku melihat perpindahan uang dari tangan sindikat penyelundup orang ke pemilik lahan tempat perahu akan berangkat di Indonesia atau di Malaysia tempat perahu tambat.

Menurut laporan media, perahu-perahu ini berangkat dari pantai-pantai kosong di wilayah Nongsa, Batam, atau dari pulau-pulau kecil antara Batam dan Bintan.

Sementara di Malaysia, mereka seringkali tertangkap di Pontian, Teluk Ramunia, dan Tanjung Balau di JOhor.

Warga setempat mendapatkan bagian bayaran untuk tutup mulut atau mengabarkan jika ada polisi atau penjaga pantai.

“Kadang-kadang warga juga memeras uang para pekerja. Mereka menggeledah saku kami dan memeriksa barang-barang untuk mencari uang. Kalau kami melawan, mereka mengancam akan memanggil polisi,” kata Syamsul Hadi, 28, PMI yang pernah bekerja di perkebunan kelapa sawit di Selangor, Malaysia, pada 2013.

Pekerja migran Indonesia yang baru saja dideportasi dari Malaysia, Syamsul Hadi, di Batam, Kepulauan Riau, Indonesia. (Foto: CNA/Wisnu Agung Prasetyo)

Syamsul mengatakan bahwa ia membayar penduduk lokal Indonesia dan Malaysia dengan total RM300 (sekitar Rp1 juta), di luar biaya Rp7 juta yang ia keluarkan untuk naik perahu.

Namun berapa pun uang yang dikeluarkan, tidak ada yang bisa menjamin keselamatan di lautan. Kecelakaan perahu pembawa pekerja migran kerap terjadi antara Malaysia dan Indonesia, terutama jika perjalanan dilakukan di malam hari.

Pelayaran malam memang bisa menghindari deteksi, namun suasana gelap menyulitkan nakhoda dan awak kapal memantau gelombang atau batu karang.

Salah satu kecelakaan terparah terjadi pada 2021 ketika sebuah perahu terbalik di Tanjung Balau saat terjadi badai. Insiden tersebut menewaskan 19 warga Indonesia.

Nelayan berdiri di atas bebatuan di pantai Tanjung Balau, Johor, Malaysia. Pada 2021, daerah ini menjadi lokasi salah satu kecelakaan paling mematikan yang melibatkan perahu pengangkut pekerja migran dari Indonesia. (Foto: CNA/Zamzahuri.

BANYAKNYA PERMINTAAN PEKERJA

Kendati perjalanannya berbahaya, lingkungan kerja buruk, dan ancaman ditangkap polisi, namun tetap saja ada jutaan pekerja migran ilegal masuk ke Malaysia. Hal ini juga terjadi akibat banyaknya pemilik usaha di Malaysia yang lebih memilih mempekerjakan pekerja ilegal.

Padahal, mereka juga terancam penjara jika terbukti mempekerjakan pekerja ilegal. Berdasarkan hukum di Malaysia, mereka bisa terancam hingga 12 bulan penjara dan denda antara RM10.000 hingga 50.000 (Rp35 juta-178 juta) untuk setiap pekerja ilegal yang dipekerjakan.

Pada Agustus lalu, direktur jenderal departemen imigrasi Malaysia Ruslin Jusoh mengatakan tahun ini sudah 900 pemilik usaha yang ditangkap akibat mempekerjakan pekerja migran ilegal.

Menurut Federasi Pemilik Usaha Malaysia (MEF), beberapa dari mereka mengambil risiko karena putus asa. Pasalnya, regulasi terkait tenaga kerja migran selalu berubah-ubah di Malaysia, membuat para majikan sulit memenuhinya.

Selain itu, mereka sangat membutuhkan pekerja agar usaha tetap jalan.

Menurut Dr Syed Hussain Syed Husman, presiden MEF, butuh berbulan-bulan untuk mengurus dan mendapatkan izinnya, bahkan ada yang lebih dari 18 bulan.

Pemilik usaha pembuangan sampah, Raghav (bukan nama sebenarnya) mengatakan terpaksa mempekerjakan pekerja migran tanpa dokumen karena tidak banyak warga lokal yang sanggup bekerja di tempatnya.

"Kebanyakan warga lokal yang mencoba bekerja di sini hanya tahan tidak lebih dari seminggu," kata dia kepada CNA.

"Memang berisiko (mempekerjakan pekerja ilegal), tapi itu harus saya lakukan," kata dia lagi. 

PENGAWASAN DAN PEMERIKSAAN DIPERKETAT

Setelah tiga tahun bekerja sebagi PMI tanpa dokumen di Malaysia, Nurdan akhirnya tertangkap. 

Perkebunan tempat dia bekerja di Selangor digerebek aparat, Nurdan diseret ke fasilitas detensi imigrasi dan menghabiskan empat bulan di tempat itu.

Syamsul juga demikian. Dia ditangkap di Melaka dan dijatuhi hukuman penjara sembilan bulan, lebih berat karena dia sebelumnya sudah pernah dideportasi tapi kembali lagi.

Nurdan dan Syamsul dideportasi ke Batam pada Agustus lalu dan ditempatkan di wisma penampungan BP2MI. Paspor dan dokumen mereka dikirim ke alamat rumah yang tertera di KTP agar tidak bisa kabur ke Malaysia lagi. 

Dua pekerja migran Indonesia yang baru saja dideportasi di tempat penampungan yang dikelola pemerintah di Batam, Kepulauan Riau, Indonesia. (Foto: CNA/Wisnu Agung Prasetyo)

Menurut Imam, kepala BP2MI Kepulauan Riau, wisma tersebut kedatangan ribuan orang yang dideportasi dari Malaysia setiap tahunnya. Beberapa di antara mereka sudah berkali-kali dideportasi, seperti Syamsul.

"Ada satu perempuan yang sudah keluar-masuk Malaysia secara ilegal sebanyak enam kali," kata dia.

BP2MI, kata dia, juga bekerja sama dengan kepolisian untuk menyelidiki sindikat penyelundup manusia yang memberangkatkan para PMI tanpa dokumen ini.

Dari pengakuan para PMI yang dideportasi, polisi dalam beberapa tahun terakhir berhasil menangkap para pelaku penyelundupan di Batam. Hal serupa juga dilakukan oleh aparat di Malaysia.

Namun Irwan dari Embun Pelangi mengatakan penangkapan para penyelundup ini tidak mengatasi akar permasalahannya: yaitu sulitnya persyaratan bekerja bagi PMI dan juga majikan dalam mempekerjakan mereka.

“Beberapa orang menjadi pekerja tanpa dokumen karena proses menjadi pekerja migran legal terlalu rumit dan panjang,” katanya.

“(Mempekerjakan pekerja tidak berdokumen) juga lebih mudah bagi majikan. (Pekerja tidak berdokumen) bisa datang dan langsung bekerja di perkebunan tanpa perlu membayar biaya pemerintah. Mereka hanya perlu membayar para penyelundup.”

Irwan Setiawan, salah satu pendiri kelompok anti-perdagangan manusia Embun Pelangi, di kantornya di Batam, Kepulauan Riau, Indonesia. (Foto: CNA/Wisnu Agung Prasetyo)

Syamsul sendiri mengaku sudah kapok kembali ke Malaysia setelah dua kali ditangkap dan dideportasi.

"Kalau saya pergi dan ditangkap lagi, hukumannya akan jauh lebih berat,” kata dia. “Untuk sekarang, saya mau cari pekerjaan di Indonesia.”

Nurdan pun demikian. Pengalamannya menyabung nyawa di lautan membuatnya pikir dua kali untuk masuk lagi ke Malaysia secara ilegal.

"Saya tahu akan sulit (bekerja di Malaysia) karena saya sudah masuk daftar hitam. Tapi kalau ada cara untuk bekerja di Malaysia secara legal, saya mau," kata Nurdan yang mengaku akan pulang ke desanya untuk bertani.

“Saya enggak akan mengambil jalur laut lagi. Terlalu berbahaya.”

📢 Kuis CNA Memahami Asia, eksklusif di saluran WhatsApp CNA Indonesia, sudah dimulai. Ayo uji wawasanmu dan raih hadiah menariknya! 

Cek info selengkapnya di sini: 
https://www.cna.id/kuis-info

Source: CNA/da

Juga layak dibaca

Iklan

Iklan