Mengupas alasan Jemaah Islamiyah membubarkan diri menurut pakar terorisme, demi melindungi aset?
Melalui video, para petinggi JI menyatakan membubarkan organisasi tersebut. Dalam beberapa tahun terakhir, aparat memang melihat adanya perubahan paradigma dan pendekatan oleh JI.
JAKARTA: Para petinggi Jemaah Islamiyah (JI)menyatakan membubarkan organisasi teror tersebut dalam sebuah rekaman video, 3 Juli lalu. Mereka mengaku ingin kembali ke pangkuan negara kesatuan Republik Indonesia dan siap mematuhi hukum yang berlaku, termasuk mengubah kurikulum pendidikan yang mengandung radikalisme.
Aparat juga mencermati adanya perubahan sikap JI dalam beberapa tahun terakhir, ditandai dengan tidak adanya serangan teror.
Awalnya JI didirikan sebagai kelompok bersenjata dengan misi mendirikan kekhalifahan Islam di Asia Tenggara. Para anggotanya kerap terlibat dalam konflik sektarian dan gerakan pemberontakan di kawasan dalam mewujudkan misi mereka tersebut.
Namun semuanya berubah pada 2009 ketika Para Wijayanto memegang tampuk pimpinan. Dia menyadari bahwa masyarakat tidak bersimpati pada JI yang terlibat dalam konflik dan melakukan serangan teror.
Untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat umum, Para Wijayanto kemudian mendirikan beberapa badan amal, mengirimkan relawan ke daerah yang ditimpa bencana dan memberikan perawatan kesehatan gratis bagi warga miskin.
Tapi di waktu bersamaan, JI masih menyebarkan paham radikal melalui sekolah-sekolah yang terafiliasi dengan mereka.
Kepala BNPT Muhammad Rycko Amelza Dahniel, mengakui adanya perubahan sikap JI belakangan ini.
"Jaringan teror ini dan tokoh-tokoh intelektualnya sangat memahami bahwa Indonesia tidak dapat dihancurkan melalui serangan terbuka, seperti pengeboman di beberapa kota dan wilayah. Mereka tidak akan mendapatkan dukungan masyarakat Indonesia," kata jenderal polisi bintang tiga ini dalam rapat dengar pendapat dengan DPR, 27 Juni lalu.
"Ada perubahan paradigma, perubahan pendekatan, dari serangan keras ke (taktik) lunak ... dengan cara meradikalisasi para pemuda."
Setelah Para Wijayanto ditahan, aparat menyita aset JI senilai miliaran rupiah, termasuk yang terkait dengan lembaga amal JI seperti Hilal Ahmar Society Indonesia, Baitul Maal Abdurrahman bin Auf dan Syam Organizer.
Aparat juga telah mengidentifikasi setidaknya 60 pesantren yang terkait jaringan teror, tersebar di seluruh Indonesia.
Para pengamat menduga bahwa salah satu alasan para petinggi JI membubarkan organisasi adalah untuk melindungi aset-aset mereka.
"Pembubaran ini akan membuat mereka tetap bisa menjalankan penggalangan dana untuk amal dan mengoperasikan sekolah-sekolah. Tapi mereka harus melakukannya dengan tidak menggunakan nama JI," kata Adhe dari PAKAR.
Harian Kompas menuliskan bahwa pengumuman pembubaran itu dilakukan usai pertemuan 119 guru dan staf dari sekolah-sekolah yang terafiliasi JI di sebuah hotel di pinggiran Jakarta.
Kepolisian Negara Republik Indonesia dan BNPT menolak berkomentar apakah mereka berperan dalam pertemuan tersebut yang kemudian berujung pada pembubaran JI.
Tapi para pengamat menduga Polri dan BNPT pasti memainkan peranan dalam pertemuan itu. Pasalnya, dua tokoh JI yang muncul dalam video pembubaran masih menjalani masa tahanan, yaitu Para Wijayanto dan Abu Rusdan.
Para yang divonis hukuman tujuh tahun penjara baru akan dibebaskan pada 2026, sementara Abu Rusdan divonis baru akan bebas pada 2027 setelah menjalani enam tahun penjara.
APAKAH PENYEBARAN AJARAN RADIKAL JI AKAN BERHENTI?
Ke-16 penandatangan deklarasi pembubaran JI di antaranya adalah para guru dan staf dari beberapa sekolah terafiliasi JI. Mereka berjanji sekolah-sekolah tersebut akan bebas dari paham ekstrem dan membentuk tim kajian kurikulum yang bekerja sama dengan pemerintah.
Para pakar mengatakan, sekolah-sekolah itu tidak akan lagi jadi lahan subur perekrutan anggota JI atau gerbang pengiriman militan ke daerah konflik seperti Suriah dan Yaman, setidaknya untuk saat ini.
"Namun, apakah sekolah itu akan berhenti mempromosikan pembentukan negara Islam di Indonesia, terutama mengingat bahwa pengajaran radikalisme seringkali terjadi secara informal di luar kelas? Itu yang masih harus dipantau," kata Adhe, pengamat terorisme dari PAKAR.
Salah satunya yang disinyalir berafiliasi dengan JI adalah pesantren Darusy Syahadah, sekolah seluas 10 hektare di daerah perbukitan di Boyolali, Jawa Tengah, sekitar dua jam berkendara dari Yogyakarta.
Pendiri dan direktur Darusy Syahadah, Mustaqim, adalah salah satu penandatangan deklarasi 30 Juni soal pembubaran JI.
Sekolah itu telah masuk radar kepolisian selama hampir 20 tahun sejak alumninya, Saliq Firdaus, menjadi salah satu pengebom bunuh diri dalam Bom Bali II pada 2005.
Juru bicara Darusy Syahadah, Zaenal Abidin, membantah bahwa pesantren mereka telah meradikalisasi para santrinya.
"Kami tidak mengajarkan apa pun yang tidak diajarkan oleh pesantren lain. Siapa pun boleh datang dan melihatnya sendiri," kata Zaenal kepada CNA, menegaskan bahwa para alumni yang terlibat terorisme tidak teradikalisasi saat bersekolah di Darusy Syahadah.
Direktur deradikalisasi BNPT Achmad Nurwahid mengatakan bahwa pihak mereka akan terus mengawasi sekolah-sekolah yang memiliki hubungan dengan jaringan terorisme. Namun ia mengakui bahwa tidak mudah untuk memastikan sekolah-sekolah itu berhenti menyebarkan paham radikal.
"Anda tidak bisa mengubah ideologi seseorang dalam semalam. Tapi paling tidak, (deklarasi) ini berarti sekolah-sekolah (yang berafiliasi dengan JI) bersedia untuk membuka diri," katanya kepada CNA.
Achmad menambahkan bahwa pemerintah menawarkan beasiswa, bantuan keuangan dan program-program lainnya kepada sekolah-sekolah tersebut. Harapannya, hal ini dapat membangun kepercayaan dan kemitraan antara sekolah-sekolah itu dengan pemerintah.
"Setelah kepercayaan terbangun, kita bisa mulai mengadakan diskusi, mengundang para mantan teroris untuk berbicara di seminar dan sebagainya," katanya. "Ini adalah proses yang panjang. Tapi kami membuat kemajuan."
Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel CNA.id dengan klik tautan ini.