'Anak ini kurang gizi': Papua jadi lokasi lumbung pangan, tapi mengapa masih ada stunting?
Pemerintahan Presiden Joko Widodo telah membangun lumbung pangan di seluruh Indonesia - termasuk di Papua - untuk mendorong swasembada.
KEEROM, Papua: Berto yang berusia empat tahun terlihat menonjol saat dia bermain dengan dua sepupunya yang sebaya.
Berbeda dengan saudaranya yang terlihat riang dan ceria, Berto dengan kaus birunya yang kebesaran berdiri mematung saat CNA mengunjungi rumahnya di desa Workwana, kabupaten Keerom, Papua, akhir Agustus lalu.
Namun, bukanlah perilaku balita itu yang paling mencolok, melainkan perawakannya.
Tinggi Berto hanya sekitar 90cm, lebih pendek dibanding rata-rata anak Indonesia seusianya, yaitu 100cm. Tubuhnya kurus, membuat Berto terlihat rapuh dan mungil untuk anak usia empat tahun.
"Sejak umurnya tiga tahun, saya tahu dia menderita stunting," kata Yustina Warirowan, 54, nenek Berto.
"Puskesmas bilang anak ini kekurangan gizi."
Ibunya meninggal karena komplikasi terkait HIV ketika bocah itu berusia dua tahun, dan ayahnya tinggal di kota lain. Sejak saat itu, Yustina dan suaminya yang merawat Berto.
Pelaksana tugas kepala dinas kesehatan kabupaten Keerom, dr. Bernadette Ekasoeci, yang hadir saat CNA berkunjung menjelaskan bahwa stunting adalah gangguan pertumbuhan dan perkembangan yang terutama disebabkan kekurangan gizi.
Meski ada banyak penyebab kurangnya gizi, namun Bernadette mengatakan kurangnya ketersediaan makanan bernutrisi jadi penyebabnya, dan Papua sedang menghadapi masalah ketahanan pangan.
Menurut Kementerian Kesehatan Indonesia, Papua memiliki jumlah kasus stunting ketiga terbesar di Indonesia setelah Nusa Tenggara Timur dan Sulawesi Barat.
Pada April hingga Juni lalu, Bernadette dan timnya mencatat terdapat 2.932 balita, 409 di antaranya menderita stunting.
Timnya melakukan kunjungan rutin memantau kondisi kesehatan masyarakat dan menyalurkan bantuan makanan. Berdasarkan Peta Kerawanan dan Ketahanan Pangan Indonesia 2023, Keerom dianggap masih cukup tahan menghadapi kerawanan pangan jika dibandingkan wilayah Papua lainnya.
Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO), menjelaskan bahwa ketahanan pangan adalah situasi ketika semua orang memiliki akses ekonomi dan fisik terhadap makanan yang cukup, aman dan bergizi kapan saja untuk pemenuhan kebutuhan hidup yang aktif dan sehat.
Menurut data FAO, meski sebagian besar wilayah Indonesia sangat tahan terhadap kerawanan pangan, namun tidak demikian halnya dengan Papua, wilayah paling timur Indonesia.
Papua adalah satu-satunya daerah di Indonesia yang "sangat rentan" kerawanan pangan, dan masuk dalam daftar prioritas utama pemerintah untuk masalah ketahanan pangan. Para ahli yang diwawancarai CNA mengatakan ada beberapa cara untuk mengatasi masalah ini, termasuk menggunakan kearifan lokal untuk meningkatkan produktivitas pangan.
MENGAPA PAPUA MENGALAMI KERAWANAN PANGAN
Lunanka Daimboa, pelaksana tugas kepala dinas pertanian dan pangan provinsi Papua, mengatakan ada tiga syarat agar sebuah wilayah disebut tahan terhadap kerawanan pangan.
Ketiga syarat tersebut adalah adanya ketersediaan pangan, akses ke jaringan distribusi pangan dan pemanfaatan pangan.
"Jika salah satu kriteria tidak terpenuhi, maka akan memengaruhi semuanya, dan sebuah daerah akan rentan kerawanan pangan," kata Lunanka.
"Terkait ketahanan pangan di Papua, kita tahu bahwa makanan kebanyakan diproduksi dan diimpor dari luar (Papua)."
Badan Pangan Nasional mengklasifikasikan 21 komoditas yang termasuk bahan makanan pokok, di antaranya beras, ayam, telur, daging sapi, ikan, jagung, paprika merah, bawang putih, cabai rawit, gula, dan kedelai.
Lunanka mengatakan bahwa akses terhadap jaringan distribusi pangan juga sulit di Papua, mengingat letak geografisnya yang berada di ujung timur Indonesia.
Pembangunan ekonomi kebanyakan terjadi di pulau Jawa, 3.500km jauhnya dari Papua.
Vita Purnamasari, dosen biokimia pangan dari Universitas Cenderawasih di Papua, mengatakan wilayah Papua sangat luas, dari pesisir hingga hutan hujan dataran rendah, dataran tinggi, dan daerah pegunungan yang terjal. Kondisi ini menyulitkan terciptanya jaringan distribusi pangan yang dapat diandalkan.
Papua dibagi menjadi enam provinsi: Papua, Papua Barat, Papua Barat Daya, Papua Tengah, Papua Pegunungan, dan Papua Selatan.
Setidaknya terdapat 250 suku asli Papua di Indonesia, yang sebagian besar tinggal di daerah pedalaman.
"Mengapa ada orang Papua yang masih kelaparan? Karena secara geografis Papua itu luas. Ada yang tinggal pegunungan, yang harus berjalan kaki berjam-jam untuk mencapai tujuan, dan beberapa ada yang harus menyeberangi sungai, bukan sungai yang cuma selebar dua atau tiga meter, tapi yang alirannya deras," kata Vita.
"Jika mereka kekurangan makanan dan memberitahu pemerintah, maka pemerintah juga akan kesulitan mengirimkan bantuan pangan dengan cepat."
Dia juga menambahkan bahwa pola cuaca di Papua juga tidak menentu, menyulitkan untuk bertani atau bepergian.
Infrastruktur, seperti jalan untuk menghubungkan satu daerah dengan daerah lain, juga terbatas di Papua. Hal ini membuat biaya pengangkutan bahan pangan menjadi tinggi.
"Tantangannya adalah biaya transportasi. Beberapa daerah merupakan sentra produksi pangan provinsi, namun pangan yang dihasilkan tidak dapat didistribusikan ke daerah-daerah yang mengalami defisit pangan," ujar Lunanka.
Baca:
LUMBUNG PANGAN JOKOWI
Presiden Joko Widodo yang akan segera lengser telah membangun lumbung pangan di seluruh Indonesia - termasuk di Papua - untuk mendorong swasembada pangan.
Lumbung pangan adalah perkebunan yang biasanya dikelola petani lokal dan didanai pemerintah. Lumbung pangan Papua terletak di Keerom, yang penggarapannya dimulai pada 2023.
Seyogyanya lumbung pangan memang untuk ketersediaan pangan di seluruh Indonesia. Namun lumbung pangan jagung di Keerom dibuat untuk mempermudah akses warga Papua dalam mendapat makanan serta menambah pendapatan para petani.
Lumbung pangan Keerom dibangun di lahan bekas perkebunan kelapa sawit yang sudah tidak produktif dengan luas 500 hektare.
Lahan itu kemudian dialihfungsikan menjadi perkebunan jagung karena memiliki potensi pertanian dan ekonomi.
Ketika diumumkan pada Maret tahun lalu, target lumbung pangan Keerom adalah empat hingga lima ton produksi jagung per hektare pada musim panen pertama. Tiga bulan kemudian, Jokowi mengklaim lumbung pangan itu telah memproduksi tujuh ton jagung per hektare.
Namun, hasil panennya kini terlihat menurun.
Ketika CNA menyambanginya pada akhir Agustus, hanya sebagian kecil lahan yang ditanami jagung. Sisanya ditumbuhi tanaman liar, gulma dan rerumputan.
Petani Finsen Abar, 50, kepada CNA mengaku baru merasakan satu kali panen sejak dia beralih dari petani sawit ke petani jagung tahun lalu. Padahal seharusnya komoditas ini bisa dipanen rata-rata tiga bulan sekali.
Di antara penghambat terbesarnya adalah hama dan kurangnya akses insektisida serta pupuk nitrogen.
"Tikus dan burung memakani jagung-jagungnya. Saya tidak punya pupuk yang cukup. Pemerintah hanya memberikannya sekali," kata Finsen.
Dia pernah mengadukannya ke pemerintah setempat soal hambatan ini, namun belum ada solusi yang diberikan.
Alhasil, Finsen terpaksa harus menanam dan menjual pisang demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Pisang termasuk buah lokal yang tanamannya mudah ditanam.
Tidak hanya Finsen, menantunya yang juga petani, turut merasakan gagal panen karena ladang jagungnya terendam banjir.
"Tanahnya tidak bagus karena sekarang menjadi rawa. Kami telah meminta pemerintah membuat saluran air, tapi belum ada respons," kata Yubelina Abar, 31, menantu Finsen.
"Sebenarnya kami senang ada lumbung pangan ini, tapi kami menghadapi kendala."
SOLUSI LOKAL
Lunanka dari dinas pertanian dan pangan provinsi Papua mengakui adanya kekurangan dari lumbung pangan pemerintah.
Dia sadar bahwa petani perlu mendapatkan bantuan, tapi butuh waktu bagi pemerintah setempat untuk mendapatkan anggaran bagi lumbung pangan.
Jika proyek ini berhasil, kata Lunanka, jagung yang dihasilkan tidak hanya untuk pemenuhan pangan masyarakat, tetapi juga untuk berbagai industri lain.
Misalnya, jagung bisa diolah menjadi pakan ayam. Pabrik pakan ayam nantinya bisa dibangun untuk membantu rakyat Papua menciptakan rantai makanan jangka panjang yang berkelanjutan.
Meski kondisinya seperti ini, namun Vita Purnamasari - dosen biokimia makanan di Universitas Cenderawasih - optimistis ada solusinya.
Berdasarkan penelitiannya dalam beberapa tahun terakhir, Vita mengatakan bahwa wawasan lokal adalah cara yang paling memungkinkan untuk mengatasi kerawanan pangan.
Menemukan kearifan lokal Papua terkait pengawetan makanan menjadi salah satu opsi mencegah kelaparan menimpa penduduk di daerah terpencil.
Menurut Vita, makanan lokal seperti sagu dan pisang yang banyak tumbuh di Papua, seharusnya lebih gencar dibudidayakan dan dijadikan makanan pokok, bukan mi instan atau nasi.
"Terkadang bantuan pangan yang diberikan kepada masyarakat adalah mi instan, ini juga menjadi kekhawatiran kami.
"Tugas kami sekarang adalah menjadikan makanan lokal sebagai bagian dari bantuan pangan. Sagu instan pernah diperkenalkan, tapi karena biaya produksinya tinggi, mungkin itu bukan pilihan terbaik," kata dia,
Vita mengatakan, membangun lebih banyak infrastruktur untuk menghubungkan antar wilayah juga sebuah solusi. Tapi hal ini membutuhkan anggaran yang besar dan waktu yang lama.
"Setiap masyarakat adat memiliki wawasan lokal tersendiri (yang bisa dimanfaatkan). Ini adalah kunci dari pencegahan kerawanan pangan," tegas Vita.
Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel CNA.id dengan klik tautan ini.