Bela korban kekerasan seksual, advokat HAM Meila Nurul Fajriah malah jadi tersangka UU ITE
Lebih dari 2.300 warganet sudah membagikan templat Instagram story untuk mendukung advokat HAM Meila Nurul Fajriah yang disebut terkena kriminalisasi UU ITE. Bagaimana kisahnya?
Sosok Meila Nurul Fajriah mengemuka di media sosial belakangan ini. Warganet ramai membagikan templat Instagram story yang bertuliskan "STOP Kriminalisasi Perempuan Pembela HAM," dengan menampilkan sosok Meila. Siapa sebenarnya sosok Meila dan mengapa ia disebut dikriminalisasi?
Templat Instagram story yang sudah dibagikan oleh lebih dari 2.300 orang itu memperlihatkan foto Meila dengan narasi bertuliskan, "Meila, perempuan pembela HAM, dituduh mencemarkan nama baik seorang pelaku kekerasan seksual."
Lalu, narasi pada templat itu kemudian menjelaskan latar belakang kasus yang dihadapi Meila. "Pada 8 Juli, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), tempat Meila bekerja, menerima surat dari Kapolda DIY."
"1M, terduga kekerasan seksual (KS), melaporkan Meila sebagai tersangka. Meila Nurul Fajriah dilaporkan menggunakan pasal pencemaran nama baik dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE)," bunyi templat tersebut melanjutkan.
"Perempuan pembela HAM berhak menyuarakan keadilan dengan aman. Penyintas kekerasan seksual berhak atas pemulihan dan keamanan dari ancaman reviktimisasi," tutup narasi dalam templat story tersebut.
Menurut laporan Kumparan, Meila merupakan advokat di Yayasan Lembaga Hukum Indonesia (YLBHI) yang telah bergabung dengan LBH Yogyakarta sejak 2016 silam. Meila fokus untuk memberikan perlindungan terhadap hak-hak perempuan.
"Mba Meila adalah salah satu pengabdi bantuan hukum LBH Yogyakarta yang kemudian fokus penanganan dan mendekatkan LBH Jogja dengan isu-isu perlindungan hak-hak perempuan," kata Direktur LBH Yogyakarta, Julian Duwi Prasetia, dalam konferensi pers bertajuk 'Kriminalisasi Pendamping Korban Kekerasan Seksual', Kamis (25/7).
Julian menyebut bahwa Meila berfokus memberikan perlindungan kepada korban dugaan kekerasan seksual di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogya pada 2020 silam. Namun, sebelum kasus pelecehan seksual mengemuka, Meila sudah sering memberikan advokasi untuk kasus serupa.
"Advokasi kami terhadap isu perlindungan perempuan banyak ditangani Saudara Meila. Sebelum kasus ini masuk, Meila sudah konsisten melakukan pendampingan," ujar Julian.
PENDAMPINGAN KASUS KEKERASAN SEKSUAL DI UII
Kasus kekerasan seksual terhadap 30 mahasiswi UII diduga dilakukan oleh IM, seorang alumni yang sempat menyandang predikat mahasiswa berprestasi. Pihak kampus kini telah melakukan investigasi dan mencabut gelar mahasiswa berprestasi tersebut.
Saat dugaan kekerasan seksual itu mencuat pada tahun 2020, Meila menjadi pengacara sekaligus pendamping korban dari LBH Yogyakarta. Meila dianggap mencemarkan nama baik IM saat menggelar jumpa pers kasus itu pada 2020 karena menyebutkan nama lengkap IM.
Kuasa hukum IM, Abdul Hamid, menjelaskan bahwa Meila dilaporkan ke polisi karena berulang kali menyebut nama kliennya sebagai predator seksual dan pelaku kekerasan seksual tanpa ada klarifikasiatau dasar hukum yang jelas.
"Tidak pernah ada satu pun pihak [LBH Yogyakarta] yang minta klarifikasi atau keterangan atas tuduhan itu. Sampai detik ini Meila secara sepihak memfitnah saya," ucap IM kepada BBC News Indonesia, Kamis (25/07).
Terkait tindakan Meila mengungkapkan nama panjang IM, Julian menjelaskan bahwa, "Apa yang dilakukan Meila bukanlah tindakan pribadi, tapi keputusan lembaga. Meila hanya membacakan pernyataan pers. Artinya, penetapan tersangka itu bukan serangan terhadap Meila pribadi, tapi ke lembaga dan pembela hak asasi manusia dan hak perempuan," menurut laporan Kompas.
Sementara itu, Koordinator Kontas, Dimas Bagus Arya, menilai bahwa advokat memiliki hak imunitas yang melekat pada profesi mereka ketika menjalani tugasnya.
Selain itu, merujuk pada Pasal 29 UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) disebutkan bahwa pendamping hukum korban kekerasan seksual yang meliputi petugas LPSK; petugas UPTD PPA; tenaga kesehatan; psikolog; pekerja sosial; tenaga kesejahteraan sosial; psikiater; pendamping hukum meliputi advokat dan paralegal; petugas lembaga penyedia layanan berbasis masyarakat; dan pendamping lain yang sedang melakukan penanganan terhadap korban tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdaya atas pendampingan atau pelayanannya, kecuali jika pendamping atau pelayanannya diberikan tidak dengan itikad baik.
BENTUK KRIMINALISASI?
Terduga kekerasan seksual, IM, kemudian melaporkan Meila ke polisi atas dugaan pencemaran nama baik menggunakan UU ITE. Meila telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda DI Yogyakarta sejak 24 Juni 2024.
Penetapan status tersangka terhadap Meila, menurut sejumlah aktivis HAM dan pegiat hukum, merupakan bentuk kriminalisasi terhadap para pekerja bantuan hukum atau HAM.
Merespon hal tersebut, sebanyak 122 organisasi yang tergabung dalam Koalisi Lembaga Masyarakat Sipil mendesak kepolisian menghentikan proses hukum terhadap Meila.
Gabungan organisasi yang termasuk di antaranya Kontras, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) APIK, Amnesty International Indonesia, Kalyanamitra, dan Jaringan Perempuan Yogyakarta, itu menilai tindakan kepolisian itu sebagai langkah mundur dalam komitmen negara menghapus tindak kekerasan seksual di Indonesia.
"Kriminalisasi ini merupakan serangan serius terhadap perempuan pembela hak asasi manusia (HAM) dan pendamping korban kekerasan seksual. Tindakan ini mencederai hak impunitas yang dimiliki advokat pemberi bantuan hukum dan pendamping korban sesuai undang-undang yang berlaku," ujar Direktur Eksekutif Kalyanamitra Ika Agustina, yang membacakan pernyataan mewakili koalisi, dikutip dari Kompas.
Sependapat, Ketua YLBHI Muhamad Isnur berharap kepolisian menimbang ulang penyidikan kasus ini "Meila adalah advokat, bagian dari upaya penyintas dan korban memenuhi keadilan. Ini ancaman nyata terhadap keadilan dan penegakan hukum itu sendiri," tuturnya.
Sementara itu, Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda DIY Komisaris Besar Idham Mahdi mengonfirmasi status tersangka Meila, dan kasus ini sudah memenuhi mekanisme penyidikan.
Namun, Idham membantah tudingan kriminalisasi terhadap Meila. "Tidak ada (kriminalisasi). Itu berdasarkan laporan, kok. Ada laporannya," ucapnya.
Menurut Idham, tuduhan dugaan kekerasan seksual tersebut tidak pernah dilaporkan secara resmi ke kepolisian. Kepolisian sudah berupaya melakukan klarifikasi kepada LBH Yogyakarta terkait dengan dugaan kekerasan seksual tersebut.
Sehubungan dengan ini, Julian menegaskan bahwa pihaknya tidak akan memberikan data korban kepada kepolisian agar kerahasiaan klien dan korban tetap terlindungi.
"Selama belum ada persetujuan korban, kami tak bisa memberikan data itu," pungkasnya.
Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel CNA.id dengan klik tautan ini.