Skip to main content
Hamburger Menu
Close
Edisi:
Navigasi ke edisi CNA lainnya di sini.

Iklan

Indonesia

'Kemunduran bagi Meta': Pengamat kritik keputusan Meta ganti sistem Fact Checking jadi Community Notes

Perubahan ini dinilai sebagai langkah Meta menyerahkan tanggung jawab fact-checking kepada pengguna, serta upaya mendekatkan diri dengan pemerintahan presiden terpilih AS, Donald Trump.

'Kemunduran bagi Meta': Pengamat kritik keputusan Meta ganti sistem Fact Checking jadi Community Notes

Ilustrasi platform penyedia media sosial, Meta. (Foto: REUTERS/Dado Ruvic)

JAKARTA: Meta, perusahaan induk Facebook dan Instagram, kembali menjadi sorotan setelah mengumumkan perubahan besar dalam pendekatan mereka terhadap penyebaran berita palsu dan manipulasi informasi di platform media sosial. 

Sistem Fact-Checking, yang sebelumnya melibatkan mitra pihak ketiga untuk memverifikasi fakta, kini digantikan oleh fitur Community Notes, sebuah mekanisme berbasis kontribusi komunitas pengguna.

Dalam video yang diunggah di platform Facebook dan Instagram, CEO Meta Mark Zuckerberg mengklaim bahwa Community Notes akan mendorong keterlibatan pengguna dan menciptakan lingkungan diskusi yang lebih transparan.

Zuckerberg mengakui pemilu presiden Amerika Serikat menjadi latar belakang dari keputusannya agar Meta "sekali lagi memprioritaskan kebebasan berbicara."

"Kita telah mencapai titik di mana terlalu banyak kesalahan dan terlalu banyak sensor. Saatnya untuk kembali ke upaya awal kita terkait kebebasan berekspresi," ujar Zuckerberg dalam videonya. 

Teknisnya, Meta akan berhenti secara proaktif memindai ujaran kebencian dan jenis pelanggaran aturan lainnya, dan meninjau postingan tersebut hanya sebagai tanggapan atas laporan pengguna.

Meta juga akan memfokuskan sistem otomatisnya untuk menghapus "pelanggaran tingkat tinggi" dan konten ilegal seperti terorisme dan obat-obatan terlarang. 

Zuckerberg juga mengatakan akan memindahkan tim keamanan yang mengawasi kebijakan konten dan peninjauan keluar dari California, sementara tim moderasi konten Facebook akan berbasis di Texas.

Namun, langkah ini segera menuai kritik dari berbagai pihak, termasuk pengamat teknologi dan media sosial, yang menyebutnya sebagai "kemunduran besar" dalam upaya melawan disinformasi. 

Pengamat media sosial, Enda Nasution, menilai langkah Meta untuk mengganti sistem Fact-Checking dengan Community Notes dinilai kurang inovatif, terutama mengingat skala dan pengaruh Meta yang jauh lebih besar dibandingkan platform seperti X (sebelumnya Twitter). 

"Sebagai sebuah platform yang mungkin bisa 10 kali lipat lebih besar daripada X, Meta—yang di dalamnya termasuk Facebook, Instagram, WhatsApp, dan Threads—seharusnya mampu menghadirkan inovasi yang lebih baru dalam isu fact-checking dan kebenaran konten," ujar Enda kepada CNA. 

Ia menambahkan bahwa perubahan ini justru mencerminkan kemunduran Meta dalam memimpin industri teknologi. 

"Instead of leading the industry, Meta seolah-olah menyerah dan menyerahkan tanggung jawab fact-checking pada penggunanya. Padahal, mereka seharusnya bisa memanfaatkan teknologi baru seperti kecerdasan buatan (AI) untuk memastikan tingkat keakuratan konten yang lebih tinggi," jelasnya.

BIAS POLITIK

CEO Meta, Mark Zuckerberg, mencoba kacamata AR Orion di acara tahunan Meta Connect di California, A.S., 25 September 2024. (Foto: REUTERS/Manuel Orbegozo)

Peneliti diplomasi digital Universitas Paramadina, Bimantoro Kushari, bahkan memandang langkah Meta mengganti sistem Fact-Checking dengan Community Notes sebagai keputusan yang bermasalah, baik dari sisi teknis maupun politis. 

Menurutnya, ada perbedaan prinsip mendasar antara menggunakan jasa fact-checker profesional dan mengandalkan Community Notes. 

"Menggunakan jasa fact-checker berarti menyerahkan fungsi penanggulangan hoaks dan misinformasi pada pihak profesional yang terlatih. Sedangkan Community Notes justru menyerahkan fungsi ini kepada pengguna, sehingga konten dibuat dan dikoreksi oleh sesama pengguna," jelas Bimantoro kepada CNA.

Ia menambahkan bahwa jika alasan Meta mengakhiri kerja sama dengan fact-checker adalah untuk menghindari bias politik, maka Community Notes juga tidak sepenuhnya bebas dari masalah ini. 

"Pada akhirnya, yang mengerjakan tetap manusia yang memiliki potensi bias. Jadi, jika masalah utamanya adalah bias, Community Notes jelas bukan solusi yang tepat," tegasnya.

KEPUTUSAN POLITIS

Selain itu, Bimantoro melihat adanya dimensi politik yang kuat dalam keputusan ini, terutama terkait hubungan antara Mark Zuckerberg dan Donald Trump. 

"Sejak 2020, hubungan Trump dan Zuckerberg memang naik-turun. Meta sempat men-take down akun Trump pasca klaimnya soal kecurangan Pemilu AS. Trump bahkan pernah menyebut Meta sebagai musuh masyarakat. Namun belakangan, Meta justru tampak mendekat pada kubu Trump," paparnya.

Langkah strategis Meta untuk mendekat kepada pemerintahan Trump, termasuk mengangkat pendukung Trump ke dalam jajaran pimpinan perusahaan Meta.  

Mengutip laporan BBC pada Selasa (7/1), Meta mengangkat tiga anggota dewan pimpinan baru, termasuk kepala eksekutif Ultimate Fighting Championship (UFC) yang merupakan sekutu dekat Donald Trump, Dana White.

Lebih lanjut, Meta bahkan turut menyumbang untuk dana pelantikan Trump. Menurut laporan Wall Street Journal pada akhir Desember 2024, Meta mendonasikan US$1 juta (sekitar Rp16 miliar) untuk pelantikan Trump. 

Menurut Bimantoro, berbagai langkah strategis yang dilakukan Meta akan memberikan keuntungan politik bagi Trump. 

"Dengan kebijakan ini, Trump bisa mendapat ruang untuk melonggarkan penyebaran informasi sensitif seperti migrasi dan gender di platform Meta, yang notabene menarik engagement tinggi dari audiens konservatif pendukung Trump," tambahnya.

FACT-CHECKING SOLUSI TERBAIK

Ilustrasi media sosial medsos, TikTok, Instagram, X, Twitter, Threads, Reddit, Facebook. (Foto: iStock/hapabapa)

Bimantoro juga menegaskan bahwa penggunaan fact-checker tetap menjadi solusi terbaik dalam menanggulangi hoaks. 

"Kebebasan berpendapat di era informasi harus memiliki batasan tertentu. Jika kebebasan tersebut justru digunakan untuk menyebarkan gangguan informasi, maka sudah sewajarnya ada tim khusus yang bertugas memfilter informasi," ujarnya.

Namun, ia mencatat bahwa kebijakan ini masih diterapkan di Amerika Serikat dan belum berdampak langsung pada negara lain, termasuk Indonesia. 

"Kita perlu melihat bagaimana respons pengguna dan dampaknya di AS sebelum menilai potensi efeknya secara global," pungkas Bimantoro.

Ikuti saluran WhatsApp CNA Indonesia untuk dapatkan berita menarik lainnya. ​​​​​

Source: Others/ps/da

Juga layak dibaca

Iklan

Iklan