Skip to main content
Iklan

Indonesia

Kronologi dugaan korupsi tata kelola minyak mentah yang rugikan negara Rp193,7 triliun

Kejaksaan Agung telah menetapkan tujuh tersangka dalam kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah ini.

Kronologi dugaan korupsi tata kelola minyak mentah yang rugikan negara Rp193,7 triliun

Tersangka kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah yang rugikan negara Rp193,7 triliun. (Foto: Dok. Kejaksaan Agung RI)

25 Feb 2025 11:51AM (Diperbarui: 27 Feb 2025 11:36AM)

JAKARTA: Kejaksaan Agung (Kejagung) pada Senin malam (24/2) telah menetapkan tujuh tersangka dalam kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah yang diperkirakan telah merugikan negara hingga lebih dari Rp190 triliun. 

Dalam pernyataannya yang dikutip dari Antara, Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung Abdul Qohar mengatakan para tersangka berasal dari subholding Pertamina dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) yang melakukan aksinya pada 2018-2023.

Ketujuh tersangka itu adalah: 

  • RS selaku Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga.
  • SDS selaku Direktur Feedstock and Product Optimalization PT Kilang Pertamina Internasional.
  • YF selaku Direktur Utama PT Pertamina International Shipping.
  • AP selaku VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional.
  • MKAR selaku Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa.
  • DW selaku Komisaris PT Navigator Khatulistiwa dan Komisaris PT Jenggala Maritim.
  • GRJ selaku Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak.

Para Tersangka disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Qohar mengatakan, mereka akan ditahan selama 10 hari ke depan untuk proses pemeriksaan.

KRONOLOGI DUGAAN KORUPSI TATA KELOLA MINYAK MENTAH

Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung Harli Siregar mengatakan kasus ini bermula ketika pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri ESDM No. 42/2018 tentang prioritas pemanfaatan minyak bumi untuk pemenuhan dalam negeri.

Dalam peraturan itu, PT Pertamina wajib mengutamakan pembelian minyak bumi dari dalam negeri dari kontraktor Indonesia sebelum memutuskan impor. Sementara KKKS wajib menawarkan produksi minyak mentahnya ke Pertamina sebelum diekspor.

Jika Pertamina kemudian menolak tawaran KKKS, maka mereka mendapatkan izin untuk mengekspornya. Namun penyidik menemukan adanya pemufakatan jahat dalam hal ini.

Penyidik menemukan bahwa penolakan yang dilakukan subholding Pertamina, yaitu PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) tidak muncul secara alami, melainkan sudah diskenariokan agar mereka bisa impor dan KKKS bisa ekspor.

Pelaku berdalih minyak mentah yang diproduksi oleh KKKS tidak memenuhi nilai ekonomis dan tidak sesuai spesifikasi. Padahal, kata Qohar, harga yang diawarkan oleh KKKS masih masuk harga perkiraan sendiri (HPS) dan speknya sesuai serta "masih dapat diolah dan dihilangkan kadar merkuri atau sulfurnya".

"Berdasarkan fakta penyidikan, tersangka RS, SDS dan AP melakukan pengkondisian dalam rapat optimalisasi hilir yang dijadikan dasar untuk menurunkan produksi kilang sehingga produksi minyak bumi dalam negeri tidak terserap seluruhnya dan akhirnya pemenuhan minyak mentah maupun produk kilang dilakukan dengan cara impor," kata Qohar seperti dikutip Detik.

Dengan cara ini, KKKS akhirnya harus menjual minyak mereka ke luar negeri dan memperoleh keuntungan lebih tinggi ketimbang dibeli oleh Pertamina. Sementara PT Pertamina justru harus membayar lebih mahal karena harus impor.

Secara prinsip kebutuhan minyak dalam negeri terpenuhi, namun dengan cara melawan hukum. Selain itu, karena minyak yang dibeli Pertamina lebih mahal, pemberian subsidi BBM dari pemerintah jadi membengkak.

"Komponen harga dasar yang dijadikan acuan untuk penetapan HIP (Harga Index Pasar) Bahan Bakar Minyak untuk dijual kepada masyarakat menjadi mahal/tinggi," kata Qohar.

Kejaksaan Agung menghitung total kerugian negara dalam kasus ini mencapai Rp193,7 triliun, dengan rincian sebagai berikut: 

  • Kerugian ekspor minyak mentah dalam negeri sekitar Rp35 triliun.
  • Kerugian impor minyak mentah melalui DMUT/broker sekitar Rp2,7 triliun.
  • Kerugian impor BBM melalui broker sekitar Rp9 triliun.
  • Kerugian pemberian kompensasi (2023) sekitar Rp126 triliun.
  • Kerugian pemberian subsidi (2023) sekitar Rp21 triliun.

Sementara itu, Pertamina menyatakan menghormati dan siap bekerja sama dengan Kejaksaan Agung dalam penyidikan kasus ini.

“Pertamina siap bekerja sama dengan aparat berwenang dan berharap proses hukum dapat berjalan lancar dengan tetap mengedepankan asas hukum praduga tak bersalah,” kata VP Corporate Communication Pertamina Fadjar Djoko Santoso.

Ikuti saluran WhatsApp CNA Indonesia untuk dapatkan berita menarik lainnya. Pastikan fungsi notifikasi telah dinyalakan dengan menekan tombol lonceng.

Source: CNA/da

Juga layak dibaca

Iklan
Iklan