Skip to main content
Hamburger Menu
Close
Edisi:
Navigasi ke edisi CNA lainnya di sini.
Iklan

Indonesia

Kasus kekerasan seksual Kapolres Ngada, KPAI: Korban bisa lebih dari 3 anak

Dugaan ini muncul dari indikasi bahwa kekerasan seksual ini telah berlangsung sejak 2024, diperkuat oleh fakta bahwa pelaku adalah pejabat publik dengan kekuasaan sehingga berpotensi mengulangi perbuatannya.

Kasus kekerasan seksual Kapolres Ngada, KPAI: Korban bisa lebih dari 3 anak

Ilustrasi anak korban kekerasan. (Foto: iStock/PORNCHAI SODA)

Kasus dugaan kekerasan seksual yang melibatkan Kapolres Ngada, Nusa Tenggara Timur (NTT), Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja, terus mendapat perhatian serius dari berbagai pihak. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menduga jumlah korban bisa lebih dari tiga anak, mengingat indikasi kuat bahwa tindakan ini telah berlangsung sejak tahun 2024.
 
Kasus ini mencuat setelah otoritas Australia menemukan video pelecehan seksual yang menampilkan tiga anak di bawah umur, termasuk seorang balita berusia tiga tahun, di sebuah situs pornografi pada pertengahan tahun 2024.

Video itu diduga dilakukan oleh Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja yang kemudian bocor ke situs pornografi Australia.

Pelaksana Tugas Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kota Kupang, Imelda Manafe mengungkapkan diduga terdapat tiga korban pencabulan, yakni berusia 14 tahun, 12 tahun, dan 3 tahun, menurut laporan Kompas.

Otoritas Australia kemudian melaporkan temuan menggegerkan ini kepada Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA).

Asisten Deputi Penyediaan Layanan Anak yang Memerlukan Perlindungan Khusus KemenPPPA Ciput Eka Purwianti menjelaskan kasus ini terungkap berkat kerja sama melalui skema IFLEC (Indonesian Foreign Law Enforcement Community), komunitas penegak hukum lintas negara yang fokus memberantas kejahatan seksual terhadap anak di ranah daring.

"Polisi Federal Australia mendeteksi dan mengirimkan informasi terkait video tersebut, kemudian menemukan lokasinya, yaitu di Kota Kupang. Dari sana, proses penelusuran dilakukan oleh divisi Siber hingga akhirnya mengarah pada pelaku, oknum polisi AKBP Fajar," ungkap Ciput kepada CNA Indonesia pada Rabu (12/3). 

Otoritas Australia kemudian melaporkan temuan ini kepada Pemerintah Indonesia melalui KemenPPPA, yang langsung meneruskan laporan tersebut ke Kepolisian Republik Indonesia (Polri).

AKBP Fajar telah ditangkap Tim Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Mabes Polri pada Kamis (20/2), dan kini telah dinonaktifkan dari jabatannya sebagai Kapolres Ngada.

Potret Kapolres Ngada AKBP Fajar Widyadharma Lukman (Instagram/mediapolresngada)

PENYELIDIKAN KASUS TERUS BERJALAN

Sementara, penyidik Direktorat Reserse dan Kriminal Umum (Ditkrimum) Polda Nusa Tenggara Timur (NTT) masih terus mendalami kasus ini. 

Dalam proses penyelidikan, polisi telah memeriksa sembilan orang sebagai saksi, termasuk salah satu saksi berperan sebagai perantara yang membawa korban untuk bertemu dengan Fajar, menurut laporan Kompas.

Detik melaporkan bahwa perantara tersebut bernama F (15 tahun) yang mendapatkan imbalan sebesar Rp3 juta karena mengantarkan korban berinisial I ke hotel, di mana ia dicabuli oleh Fajar. 

I merupakan seorang anak perempuan berusia enam tahun yang tinggal di Kupang.

Fajar kemudian mencabuli bocah berusia 6 tahun itu. Aksi tersebut direkam, lalu diunggah ke situs dewasa.

Belum diketahui pasti siapa yang mengunggah video mesum itu ke situs porno. Polisi juga belum bisa memastikan video itu dijual atau tidak.

Sementara, laporan media lainnya menyebutkan AKBP Fajar diduga menggunakan aplikasi pesan instan untuk menghubungi korban, seorang remaja berusia 14 tahun, dibujuk untuk bertemu di sebuah restoran hotel sebelum dibawa ke kamar dan mengalami kekerasan seksual.

Setelahnya, korban pertama didesak untuk mengajak teman sebayanya, yang kemudian menjadi korban kedua.

Hingga saat ini, masih belum jelas berapa jumlah korban, karena penyelidikan masih terus berlanjut. 

Kabid Humas Polda NTT Kombes Henry Novika Chandra menegaskan proses penyidikan terhadap kasus AKBP Fajar dilakukan secara profesional, transparan, dan akuntabel sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

Selain dugaan pencabulan, AKBP Fajar juga dinyatakan positif menggunakan narkoba berdasarkan hasil tes urine. "Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa yang bersangkutan positif menggunakan narkoba," ujarnya.

Sementara, anggota Komisi III DPR RI dari Nusa Tenggara Timur (NTT), Stevano Adranacus mendesak Kapolri Listyo Sigit Prabowo untuk menetapkan pasal berlapis terhadap Fajar dalam kasus ini. 

"Mulai dari Pasal Kejahatan Seksual terhadap Anak, Pornografi, dan UU ITE. Perbuatan kekerasan seksual terhadap anak merupakan extra ordinary crime. Kami di Komisi III DPR RI berkomitmen untuk mengawal kasus ini hingga putusan," tegasnya, dikutip dari Detik. 

Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) Veronika Ata mengatakan, perbuatan Fajar masuk kategori eksploitasi seksual dan human trafficking. 

Sehingga, lanjut Veronika, hukuman yang pantas dikenakan bagi AKBP Fajar adalah hukuman kebiri. Hal ini berdasarkan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Direktur Penyidik Direktorat Reserse dan Kriminal Umum (Ditkrimum) Polda NTT  Komisaris Patar Silalahi mengungkapkan pihaknya menyiapkan konstruksi Pasal 6 huruf c dan Pasal 14 UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang tindak pidana kekerasan seksual terhadap Fajar. Ancaman hukuman yang dikenakan dalam pasal tersebut mencapai 12 tahun penjara.

AKBP Fajar akhirnya ditetapkan sebagai tersangka pada Kamis (13/3).

DUGAAN KORBAN LEBIH BANYAK

Ketua KPAI Ai Maryati Solihah menilai tindakan Kapolres Ngada, NTT ini sebagai bentuk baru tindak pidana perdagangan orang (TPPO).

"Ini jelas perbuatan pidana yang sangat serius apalagi eksploitasi dan membuat konten untuk menghasilkan uang, dan ini artinya salah satu bentuk baru atau lain tindakan pidana perdagangan orang," kata Ai Maryati Solihah dilansir dari Antara, Senin (10/3).

Sementara, anggota KPAI, Dian Sasmita, menegaskan bahwa kasus ini bukan hanya serius, tetapi juga berpotensi memiliki lebih banyak korban yang belum teridentifikasi.

"Yang pastinya ini perkara atau kasus kekerasan seksual terhadap anak yang sangat serius. Ada potensi besar bahwa korbannya tidak hanya tiga," ujar Dian dalam pernyataan yang diterima CNA Indonesia, Rabu (12/3).

Dian juga menyoroti fakta bahwa pelaku merupakan seorang pejabat publik dengan kekuasaan dan kewenangan, yang bisa berdampak besar pada korban dan meningkatkan potensi pengulangan tindakan serupa.

"Ini dilakukan oleh pejabat publik yang mempunyai kewenangan dan kekuasaan, sehingga punya potensi melakukan pengulangan ataupun memberikan dampak yang luar biasa terhadap korban," jelasnya.

KPAI mendorong pihak kepolisian beserta Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) setempat untuk melakukan penelusuran lebih dalam terkait potensi korban lain. 

Dian mengajak masyarakat yang merasa anak mereka pernah menjadi korban atau berinteraksi dengan pelaku untuk segera melapor.

"Jadi bagi masyarakat yang merasa anaknya pernah menjadi korban atau pernah berinteraksi dengan pelaku, jangan segan-segan untuk melaporkan hal-hal tersebut kepada UPTD PPA Kota Kupang supaya anaknya, saudaranya atau tetangganya mendapatkan pemulihan," ujarnya.

MENCEGAH REVIKTIMISASI KORBAN

Sebagai bagian dari Sistem Nasional Perlindungan Anak, KemenPPPA bermitra dengan kepolisian, LPSK, KPAI, serta lembaga perlindungan anak lainnya untuk mengoordinasikan upaya perlindungan anak. 

KemenPPPA memastikan bahwa proses penanganan kasus ini berjalan sesuai amanat Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), yang menjamin pemenuhan hak-hak korban mulai dari penanganan hingga pemulihan dan pemberdayaan.

"Kami memantau agar korban mendapatkan perlindungan optimal. Karena lokus kejadian ada di Kota Kupang, pendampingan pada korban menjadi kewenangan UPTD PPA Kota Kupang. Polda NTT juga telah menjalankan amanat UU TPKS dengan melibatkan UPTD PPA dalam waktu 24 jam setelah menerima laporan," terang Ciput.

Ilustrasi akses situs ponografi. (Foto: iStock/Diy13)

Ciput juga menekankan pentingnya mencegah reviktimisasi korban selama proses pemeriksaan.

"Korban kekerasan seksual cukup diperiksa satu kali. Jika ada keperluan alat bukti tambahan, penyidik menggunakan rekaman hasil pemeriksaan agar anak tidak harus mengulang kesaksian berulang kali," tambahnya.

KemenPPPA memastikan proses pemeriksaan ramah anak, termasuk mengatur agar penyidik tidak mengenakan seragam resmi demi menghindari ketakutan atau intimidasi pada korban.

Saat ini, Ciput menegaskan, pihaknya hanya mengetahui tiga korban anak dalam kasus ini. Ia memastikan ketiga korban mendapat perlindungan. 

"Tidak ada yang melarikan diri. Mereka berada dalam perlindungan aman. Dua korban masih didampingi oleh orang tua mereka, sehingga tidak perlu berada di rumah aman," ujar Ciput. 

Selain pendampingan dari orang tua, pekerja sosial dari Kota Kupang dan Provinsi NTT juga terus memberikan dukungan psikologis kepada korban.

Dian Sasmita, anggota Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). (Foto: Dok. KPAI)

MASIH DARURAT KEKERASAN SEKSUAL

KPAI memastikan bahwa mereka akan terus mengawasi jalannya penyelidikan oleh kepolisian dan mendorong agar proses hukum dilakukan secara transparan dan profesional.

"Kami sangat mendukung kepolisian, Mabes Polri, Direktorat TPPO di PPPA untuk menangani kasus ini dengan sangat-sangat serius, transparan, dan profesional tentunya dengan mengedepankan hak-hak anak," tegas Dian.

KemenPPPA pun mengapresiasi langkah Polri di semua level yang telah melibatkan UPTD PPA sejak awal. 

Ciput menyebut bahwa mereka akan memantau layanan bagi korban, melakukan review, dan merencanakan aksi lanjutan agar hak-hak korban benar-benar terpenuhi.

Sebagai langkah pencegahan ke depan, Ciput menekankan pentingnya edukasi publik.

"Statistik pengaduan kasus memang meningkat setiap tahun. Ini bukan berarti kekerasan meningkat, tapi kesadaran publik dan keterpaparan informasi makin luas. Itu pertanda baik," ujarnya.

Ciput mengutip hasil Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) 2024, yang menunjukkan bahwa separuh anak berusia 13-17 tahun di Indonesia pernah mengalami salah satu bentuk kekerasan sepanjang hidup mereka.

"Kita memang masih menghadapi darurat kekerasan seksual. Kekerasan seksual non-kontak saja dialami oleh 4 persen anak perempuan dan 4 persen anak laki-laki. Belum lagi kekerasan seksual kontak," pungkas Ciput.

KemenPPPA dan KPAI berkomitmen untuk terus memantau penanganan kasus ini, memastikan korban mendapatkan perlindungan maksimal, dan memperkuat upaya pencegahan agar kekerasan seksual terhadap anak tidak terulang di masa depan.

Ikuti Kuis CNA Memahami Asia dengan bergabung di saluran WhatsApp CNA Indonesia. Menangkan iPhone 15 serta hadiah menarik lainnya.

Source: Others/ps

Juga layak dibaca

Iklan
Iklan