Skip to main content
Hamburger Menu
Close
Edisi:
Navigasi ke edisi CNA lainnya di sini.

Iklan

Indonesia

Ketika Istiqlal terkena getah dari pertemuan kader NU dengan presiden Israel

Seminar yang mengundang tokoh Yahudi AS di Istiqlal terpaksa dibatalkan. Kursus bahasa Ibrani di masjid itu juga tidak diketahui kelanjutannya.

Ketika Istiqlal terkena getah dari pertemuan kader NU dengan presiden Israel

Nahdlatul Ulama (NU) adalah organisasi Islam terbesar di dunia. (Foto: CNA/Danang Wisanggeni)

JAKARTA: Organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU), menuai kecaman setelah para kadernya memicu kontroversi dengan mengunjungi Israel beberapa waktu lalu. 

NU dalam penyelidikan terhadap lima kadernya yang ke Israel Juni lalu menemukan bahwa salah satu dari mereka, Zainul Maarif, diduga memiliki hubungan dengan kelompok terkait Israel.

Zainul yang dilaporkan terlibat dalam Pusat Studi Warisan Ibrahim untuk Perdamaian (RAHIM) dipecat dari Lembaga Bahtsul Masail (LBM), badan pemberi fatwa NU. Bersama Zainul, turut dipecat juga tiga anggota LBM lainnya yaitu Mukti Ali Qusyairi, Roland Gunawan, dan Sapri Saleh karena keterlibatan di RAHIM.

RAHIM adalah lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Jakarta yang memiliki misi mempromosikan kerja sama antara tiga agama Ibrahim, yaitu Yahudi, Kristen dan Islam.

Media lokal melaporkan bahwa RAHIM diduga terhubung dengan Israel dan LSM ini disebut yang memfasilitasi perjalanan para kader NU ke Israel.

Dari keempat anggota RAHIM, hanya Zainul yang mengunjungi Israel dengan koleganya di NU pada bulan lalu.

Pada 27 Juli lalu Ketua Umum Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) DKI Jakarta Samsul Ma'arif membatalkan pemecatan Sapri Saleh karena dia ternyata hanya guru bahasa Ibrahim dan bukan anggota RAHIM.

Kepada CNA, Sapri mengaku belum mendapatkan surat resmi pembatalan tersebut namun dia sudah mendengar rumornya.

Pengurus NU kepada CNA mengatakan bahwa RAHIM telah memasang logo LBM NU di situs mereka. Namun setelah ramai kontroversi kunjungan kader NU ke Israel, RAHIM menutup situs mereka.

CNA telah mencoba menghubungi RAHIM untuk meminta komentar, namun belum mendapatkan tanggapan.

Kunjungan kader NU ke Israel dianggap tidak peka terhadap sikap masyarakat Indonesia terkait konflik di Gaza. Dampak kunjungan itu membuat lembaga Islam lain terkena getahnya.

Masjid Istiqlal di Jakarta adalah masjid terbesar di Asia Tenggara. (Foto: CNA/Danang Wisanggeni)

Beberapa hari setelah kunjungan tersebut, Masjid Istiqlal - tempat Sapri mengajar sebagai guru bahasa Ibrani - juga menuai sorotan publik karena berencana menyelenggarakan seminar yang menghadirkan Ari Gordon sebagai pembicara.

Gordon adalah direktur Hubungan Islam-Yahudi di American Jewish Committee (AJC), sebuah kelompok advokasi Yahudi tertua di Amerika Serikat.

Seminar itu seyogyanya akan diadakan pada 17 Juli di Istiqlal, tapi kemudian dibatalkan setelah ramai kecaman dari masyarakat.

Imam Besar Masjid Istiqlal Nasaruddin Umar angkat suara setelah publik mempertanyakan tujuan mengundang Gordon. Nasaruddin mengatakan bahwa pihaknya tidak pernah merencanakan seminar tersebut.

"Itu (seminar) tanpa pemberitahuan saya," kata Nasaruddin kepada CNNIndonesia.com pada 17 Juli.

Dia menjelaskan bahwa para pelajar di Istiqlal sedang libur, jadi tidak mungkin acara itu diadakan di masa liburan karena tidak akan ada yang datang. 

Selain menjadi tempat ibadah, Istiqlal juga menawarkan berbagai program pendidikan dan kursus bahasa asing gratis. Sejak Mei lalu, Istiqlal mengadakan kursus bahasa Ibrahi dengan Sapri sebagai pengajarnya.

Namun Sapri mengaku tidak tahu apakah kursus tersebut akan dilanjutkan usai masa liburan berakhir pada pertengahan Agustus nanti.

Sapri Sale, guru bahasa Ibrani di masjid Istiqlal Jakarta. (Foto: CNA/Danang Wisanggeni)

"Saya tidak tahu apakah program ini akan dilanjutkan di Istiqlal. Saya berharap dilanjutkan jika situasi sudah tenang," kata dia kepada CNA.

Melvin Abrillian, salah satu murid kelas bahasa Ibrani di Istiqlal, juga memiliki harapan yang sama.

"Saya pribadi ingin kelasnya dilanjutkan karena kami sudah belajar hampir tiga bulan, sayang sekali kalau harus berhenti di tengah jalan.

"Yang kedua, karena tujuan kursus bahasa Ibrani ini adalah untuk mempelajari hubungan antara Islam, Kristen dan Yahudi agar kami bisa menjunjung toleransi di Indonesia yang mayoritas Muslim," kata dia.

Melvin Abrillian, peserta kursus bahasa Ibrani di masjid Istiqlal di Jakarta. (Foto: CNA/Danang Wisanggeni)

KONTROVERSI KUNJUNGAN KE ISRAEL DI TENGAH KONFLIK

Selain Zainul, Nahdliyin yang berkunjung Israel pada 30 Juni sampai 5 Juli lalu adalah Munawir Aziz, Nurul Bahrul Ulum, Izza Annafisah Dania dan Sukron Makmun.

Dalam kunjungan itu, mereka bertemu dengan Presiden Israel Isaac Herzog. Pertemuan tersebut menuai kemarahan masyarakat Indonesia, negara mayoritas Muslim terbesar di dunia.

Indonesia tidak memiliki hubungan diplomatik resmi dan beberapa kail mengecam Israel atas pembantaian ribuan warga sipil di Gaza.

"Indonesia tidak punya hubungan diplomatik dengan Israel," kata Ujang Komarudin, pengamat politik dari Universitas Al Azhar, Jakarta.

"Sikap pemerintah Indonesia jelas: Mendukung kemerdekaan Palestina," lanjut dia.

Kunjungan tersebut menuai kemarahan di Indonesia beberapa pekan kemudian setelah Zainul membagikan foto pertemuan mereka dengan Herzog di akun Instagramnya pada 7 Juli.

Dalam takarir foto tersebut, Zainul menuliskan bahwa mereka berbicara tentang konflik Hamas-Israel dan hubungan antara Indonesia dan Israel.

Postingan itu lantas menjadi viral karena ramainya amarah dan kecaman publik, memaksa Zainul menutup kolom komentar. Foto itu kini sudah dihapusnya.

Lima kader NU (Nahdliyin) bertemu Presiden Israel Isaac Herzog. (Instagram/zenmaarif)

Hurriyah, dosen politik di Universitas Indonesia, mengatakan kunjungan itu menuai reaksi yang keras dari publik karena dilaksanakan "di tengah genosida Israel, dan pemerintah Indonesia mengecamnya."

Profesor Asep Saepudin Jahar, ahli sosiologi hukum Islam yang juga rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, mengatakan bahwa para kader NU tersebut kurang peka terhadap situasi politik yang ada.

"Bahkan tanpa adanya perang, kunjungan ke Israel adalah isu yang kontroversial (bagi orang Indonesia), apalagi jika ada perang atau serangan terhadap rakyat Palestina.

"Dan mereka (kader NU) tidak tahu bahwa mereka telah dimanfaatkan atau situasi ini telah dipolitisir seakan Israel ingin mendapatkan dukungan dari Muslim Indonesia," kata dia.

Pada 16 Juli, Ketua Umum PBNU Yahya Cholil Staquf meminta maaf pada konferensi pers di markas NU di Jakarta.

"Sepatutnya saya mohon maaf kepada masyarakat luas seluruhnya bahwa ada beberapa orang dari kalangan NU yang tempo hari pergi ke Israel melakukan engagement di sana.

"Kami merasakan hal yang sama bahwa ini adalah sesuatu yang tidak patut di dalam konteks suasana yang ada saat ini," kaya Yahya yang juga pernah menuai kecaman publik karena bertemu Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu.

Kelima kader NU yang ke Israel, kata Yahya, berada di berbagai lembaga yang berbeda dalam organisasi. Untuk itu, dia menyerahkan kepada pihak-pihak terkait untuk memutuskan nasib mereka berlima.

Kepada CNA, Sukron mengatakan bahwa kunjungan itu sepenuhnya diinisiasi oleh kelompok masyarakat sipil, bukan oleh pemerintah Israel.

"Kami ke Israel bukan hanya untuk mengunjungi presidennya, tapi ada banyak aktivitas lainnya untuk membantu kami memahami situasi yang ada dan kemungkinan bagaimana masyarakat sipil Indonesia dapat membantu.

"Dari pandangan kami, karena Indonesia tidak punya hubungan diplomatik dengan Israel, maka dari itu kelompok masyarakat sipil harus memberikan kontribusi konkret untuk menghentikan perang, atau setidaknya mencapai gencatan senjata, karena korbannya selalu saja warga sipil," kata dia.

Ahmad Suaedy, salah satu ketua NU, menyangkal bahwa organisasinya mengetahui tentang perjalanan ke Israel. (Foto: courtesy of Bapak Ahmad Suaedy)

Ketua PBNU Ahmad Suaedy mengatakan bahwa kelima kader tersebut tidak menginformasikan kepada manajemen NU soal rencana kunjungan mereka ke Israel.

Ahmad menekankan bahwa masalahnya bukan pada Israel sebagai sebuah negara atau masyarakatnya yang Yahudi, tapi lebih kepada genosida yang tengah terjadi di Gaza.

Dia mengatakan bahwa NU tidak setuju dengan strategi Israel mau pun Hamas, tapi mereka memandang situasi saat ini di Gaza sebagai genosida oleh Israel.

"Sikap kami jelas. Kami anti-genosida, dan Israel sedang melakukan itu, meski memang ada orang Israel yang juga anti-genosida," kata Ahmad yang juga merupakan dekan Fakultas Islam Nusantara di Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia kepada CNA.

Izza dan Nurul kemudian mengundurkan diri dari posisi mereka di dalam organisasi NU. Sementara Sukron kepada CNA mengatakan bahwa dia tidak memegang posisi manajerial di NU karena jabatannya sebagai wakil ketua PBNU cabang Banten telah berakhir pada Juni lalu.

Para pengunjuk rasa melambaikan bendera Palestina dalam aksi di Jakarta pada 27 Juli 2024, untuk mendukung warga Palestina di Gaza. (AP Photo/Tatan Syuflana)

APA PELAJARAN YANG BISA DIPETIK?

Menyusul kontroversi tersebut, Ahmad mengatakan bahwa NU kembali menegaskan bahwa mereka tidak akan bekerja dengan organisasi yang berafiliasi dengan Israel.

Termasuk di antaranya adalah Institut Leimena yang berbasis di Jakarta, Institute for Global Engagement (IGE) dan American Jewish Committee (AJC).

Ahmad mengatakan, larangan tersebut diberlakukan pada 2021 dan kasus terbaru ini membuat NU kembali mengingatkan para anggotanya bahwa peraturan masih berlaku.

NU memiliki sekitar 150 juta anggota di seluruh Indonesia, berdasarkan data yang disampaikan Yahya dalam pidatonya pada 2022 lalu.

Dengan banyaknya anggota NU, sulit untuk memantau pergerakan mereka. Namun Ahmad mengatakan, para petinggi NU telah merilis surat edaran sebagai pengingat.

"Kami tidak bisa memberi tahu setiap anggota satu per satu apa yang harus dilakukan," kata Ahmad.

Terlepas dari kemarahan publik, Sukron mengatakan bahwa tujuan mereka ke Israel adalah untuk perdamaian. Ke depannya, dia ingin fokus pada tujuan tersebut.

"Bisakah kita fokus pada pesan perdamaian, pengakuan atas penderitaan manusia, dan kebutuhan untuk membangun dialog dan lebih memahami satu sama lain?

"Kelompok masyarakat sipil berada dalam posisi untuk melakukan itu," katanya.

Sementara itu Sapri, sebagai guru bahasa Ibrani, mengaku kerap dikecam oleh orang-orang di sekelilingnya karena mengajarkan bahasa resmi Israel.

Insiden kali ini, kata dia, telah memberikannya pelajaran berharga.

"Narasi intelektual atau argumen akademik tidak bisa mengandung emosi, begitulah saya melihatnya," kata dia, sembari mengatakan bahwa semua orang harus bijak mempertimbangkan sebelum mengambil keputusan.

Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel CNA.id dengan klik tautan ini. 

Source: CNA/da

Juga layak dibaca

Iklan

Iklan