Skip to main content
Hamburger Menu
Close
Edisi:
Navigasi ke edisi CNA lainnya di sini.

Iklan

Indonesia

Jokowi dihujani protes usai membuka kembali keran ekspor pasir laut

“Sekali lagi, itu bukan pasir laut ya. Yang dibuka (ekspornya) adalah sedimentasi,” kata Presiden Joko Widodo.

Jokowi dihujani protes usai membuka kembali keran ekspor pasir laut

Ilustrasi pengerukan pasir laut untuk reklamasi. (iStock)

19 Sep 2024 06:04PM (Diperbarui: 20 Sep 2024 10:08AM)

JAKARTA: Protes berdatangan baik dari para aktivis lingkungan maupun politisi setelah pemerintahan Presiden Joko Widodo kembali membuka keran ekspor pasir laut yang sudah 20 tahun dilarang.

Mereka mengatakan keputusan pemerintah itu akan merusak lingkungan dan memberikan dampak sosial yang negatif.

Sementara Jokowi merespons dengan mengatakan bahwa yang diekspor bukanlah pasir laut, melainkan sedimen.

“Sekali lagi, itu bukan pasir laut ya. Yang dibuka (ekspornya) adalah sedimentasi,” kata Presiden Joko Widodo pada Selasa (17/9), seperti dikutip dari Detik.

Sebelumnya selama lebih dari 20 tahun Indonesia telah melarang ekspor pasir laut. Namun pada 9 September lalu Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan merevisi peraturan tersebut. Dalam pernyataan media, kementerian perdagangan menyebut pasir laut sebagai hasil dari sedimentasi laut.

Revisi ini dilakukan setelah Mei tahun lalu Jokowi mengeluarkan peraturan pemerintah soal pengelolaan hasil sedimentasi laut dan diperbolehkannya ekspor pasir laut, selama kebutuhan dalam negeri telah terpenuhi.

Langkah Jokowi tahun lalu juga menuai penentangan dari para aktivis lingkungan. 

Revisi oleh kemendag adalah turunan dari peraturan pemerintah yang dikeluarkan Jokowi tahun lalu. Berdasarkan peraturan menteri perdagangan tersebut, kebijakan baru ini akan berlaku dalam 30 hari setelah tanggal diundangkan.

Pemerintah yang dikutip berbagai media beralasan, peraturan baru ini dikeluarkan untuk menanggulangi sedimentasi berupa pasir dan lumpur yang dapat menganggu ekosistem laut dan jalur pelayaran. 

Namun alasan itu dimentahkan oleh para aktivis lingkungan dan politisi. 

Lembaga Greenpeace mengatakan bahwa dibukanya kembali ekspor pasir laut menambah dosa ekologis rezim Jokowi di penghujung masa jabatannya.

Afdillah Chudiel, juru kampanye laut Greenpeace Indonesia, mengatakan bahwa mereka sudah curiga pemerintah Indonesia akan memperbolehkan ekspor pasir laut setelah Jokowi mengeluarkan peraturan tahun lalu.

“Sudah banyak kritik yang disampaikan oleh masyarakat, nelayan, akademisi hingga peneliti. Sudah kami prediksi dari awal bahwasanya rezim Jokowi tidak akan peduli dengan kritik dan tidak akan berpihak pada lingkungan,” kata Afdillah, seperti dikutip dari situs resmi mereka.

Greenpeace mengatakan bahwa penambangan pasir laut dapat merusak ekosistem laut, menghancurkan habitat keanekaragaman hayati, serta memperparah abrasi pantai dan banjir rob. 

Selain itu, kerusakan lingkungan akibat penambangan pasir dapat merusak perekonomian para nelayan yang bergantung pada ketersediaan ikan di laut.

“Penambangan pasir dapat merusak wilayah tangkap nelayan, menurunkan produktivitas, dan dalam jangka panjang dapat menyebabkan kelangkaan pangan,” kata Afdillah.

Pada 2003, Presiden Megawati Soekarnoputri akhirnya menghentikan dan melarang ekspor pasir laut yang dinilai merusak lingkungan dan berpotensi membuat pulau-pulau kecil akan tenggelam.

Sebelum pelarangan diterapkan, Indonesia adalah pemasok utama pasir laut untuk reklamasi di Singapura.

Pemerintahan Jokowi mengklaim tidak akan terjadi kerusakan lingkungan dalam ekspor pasir laut kali ini karena akan diberlakukan dengan syarat yang ketat. 

Di antara syarat utamanya, pasir yang dikeruk hanya sedimentasi yang terdapat di tujuh wilayah Indonesia, tersebar di pulau Jawa, Kalimantan, dan Kepulauan Riau.

Sedimentasi laut bisa berupa pasir dan lumpur yang menumpuk di dasar lautan. Pasir sedimentasi dinilai cocok dimanfaatkan untuk kebutuhan reklamasi, termasuk mendukung pembangunan IKN dan infrastruktur.

“Sedimen itu beda, meski wujudnya juga pasir. Tapi sedimentasi,” kata Presiden Jokowi.

Menurut aktivis Greenpeace, sedimentasi seharusnya hanya dalam bentuk lumpur yang tidak memiliki nilai jual, bukan pasir yang bisa diekspor. 

"Alasan ini hanya mengada-ada saja untuk mencari justifikasi untuk melakukan penambangan pasir dan mengekspor ke luar negeri," ujar Afdillah.

Ilustrasi reklamasi dengan pasir laut. (iStock)

HUJAN KRITIK

Namun dalih hanya menggunakan sedimentasi, bukan pasir laut, oleh banyak pihak disebut sebagai akal-akalan pemerintahan Jokowi saja. Salah satunya datang dari politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang dipimpin Megawati.

"Jadi itu akal-akalan saja menurut saya. Ini menurut saya hanya untuk keuntungan segelintir orang," kata anggota DPR dari PDI-P Deddy Yevry Sitorus kepada CNN Indonesia.

Protes juga datang dari anggota DPR lainnya, salah satunya dari anggota Partai Keadilan Sejahtera, Amin Ak, yang mengatakan ekspor pasir laut berisiko membawa sejumlah dampak buruk bagi lingkungan dan sosial. 

Apalagi, menurut dia, pemerintah masih sangat lemah dalam pengawasan dan penegakan hukum. 

“Siapa yang akan bisa menjamin, bahwa pasir yang dikeruk adalah hasil sedimentasi di muara sungai?” kata Amin kepada Kompas pada Rabu (18/9).

Anggota parlemen Faisol Riza dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) mengatakan pemerintah perlu memetakan jenis dan sebaran sedimentasi yang bisa diekspor, serta melakukan kajian terhadap dampak lingkungannya. 

"Ada banyak hal yang harus ditelaah dan disampaikan ke publik,” kata Faisol pada Rabu (18/9) kepada Kompas.

Lebih lanjut, Faisol mengatakan DPR akan memanggil Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan agar DPR bisa mendalami soal kebijakan ekspor pasir laut ini.

Menurut Bhima Yudhistira dari lembaga riset Center of Economic and Law Studies (CELIOS), keputusan pemerintah Jokowi ini adalah langkah mundur dari upaya mengatasi perubahan iklim. 

Dia mengatakan keuntungan yang diperoleh pemerintah Jokowi dari ekspor pasir laut tidak sebanding dengan kerugian yang ditimbulkannya.

“Bagi masyarakat lokal, kegiatan ini bisa mengganggu jalur nelayan untuk mencari ikan atau sumber daya lain di sekitar pesisir karena pasirnya dikeruk,” ucap Bhima. 

Presiden Jokowi akan mengakhiri masa jabatannya pada 20 Oktober mendatang dan digantikan oleh Prabowo Subianto sebagai presiden terpilih. 

Prabowo dan wakil presidennya Gibran Rakabuming Raka - putra sulung Widodo - telah berjanji akan meneruskan kebijakan Jokowi di pemerintahan mereka.

Soal ekspor pasir laut ini, muncul seruan agar Prabowo bisa membatalkannya, salah satunya disampaikan politisi dari Partai Negoro, partai yang baru dibentuk pada Mei lalu, berisikan para aktivis Reformasi 1998.

"Prabowo harus batalkan kebijakan Jokowi ini. Karena kita semua tau, ekspor pasir itu mengeruk wilayah kedaulatan laut, hilangkan batas pulau dan tanah," kata ketua bidang Geomaritim di Partai Negoro, Rusdianto Samawa, seperti dikutip dari Rakyat Merdeka.

Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel CNA.id dengan klik tautan ini.

Source: CNA/da

Juga layak dibaca

Iklan

Iklan