Skip to main content
Hamburger Menu
Close
Edisi:
Navigasi ke edisi CNA lainnya di sini.

Iklan

Indonesia

Jemaah Islamiyah resmi mengumumkan bubar, tapi ancaman terorisme bukan berarti sepenuhnya hilang

Dalam sebuah video, 16 petinggi Jemaah Islamiyah menyatakan mereka akan kembali ke pangkuan Republik Indonesia. Dibentuk pada 1993, JI berada di balik serangan teror paling mematikan di Asia Tenggara, termasuk bom Bali tahun 2002.

Jemaah Islamiyah resmi mengumumkan bubar, tapi ancaman terorisme bukan berarti sepenuhnya hilang

Organisasi teroris Jemaah Islamiyah menyatakan membubarkan diri, melalui video yang diunggah pada 30 Juni 2024. (Youtube/Arrahmah)

JAKARTA: Para pemimpin kelompok teroris Jemaah Islamiyah (JI) merilis video yang menyatakan membubarkan organisasi dan siap mematuhi hukum di Indonesia. Pembubaran ini tidak berarti ancaman teror akan hilang sepenuhnya, ada kelompok-kelompok pecahan yang masih harus diwaspadai.

Pandangan ini disampaikan oleh para pengamat seiring tayangnya video soal deklarasi 16 anggota senior JI yang menyatakan membubarkan organisasi tersebut pada Minggu (30 Juni). Video itu diambil pada sebuah acara yang diprakarsai oleh Detasemen Khusus 88 (Densus 88). 

JI adalah organisasi yang berada di balik serangkaian serangan teroris paling mematikan di Asia Tenggara, termasuk bom Bali tahun 2022 yang menewaskan 200 orang.

Video tersebut diunggah di akun Youtube situs Islam garis keras, Arrahmah, pada Rabu (3 Jul). 

Dalam video tersebut, berdiri 16 petinggi JI di atas panggung di antaranya adalah Abu Rusdan, petinggi JI yang ditangkap di Bekasi pada September 2021 dan Para Wijayanto, yang ditangkap pada 2019 karena merekrut militan serta mengumpulkan dana untuk ke Suriah. Keduanya masih dalam masa tahanan.

Abu Rusdan mengatakan bahwa pembubaran JI disepakati oleh majelis para senior dan para pemimpin pondok pesantren yang berafiliasi dengan JI. Mereka sepakat untuk kembali ke pangkuan negara Republik Indonesia, dan akan mengubah kurikulum seluruh pesantren yang berafiliasi dengan JI agar tidak ada lagi materi-materi yang mengajarkan ekstremisme.

"Kami juga siap terlibat aktif dalam mengisi kemerdekaan sehingga bangsa Indonesia menjadi bangsa yang maju dan bermartabat ... kami siap mematuhi peraturan hukum yang berlaku," lanjut Abu Rusdan.

CNA telah menghubungi perwakilan JI, namun dia mengatakan bahwa mereka tidak diperkenankan memberi pernyataan sebelum ada pemberitahuan secara resmi dari negara terkait hal ini.

Reuters melaporkan pada Kamis bahwa Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menolak berkomentar mengenai perkembangan ini, tetapi akan segera mengadakan konferensi pers.

HASIL DISKUSI PARA ELITE JI

Dr Noor Huda Ismail, pengamat terorisme dan peneliti tamu di S. Rajaratnam School of International Studies di Singapura, mengatakan pembubaran JI adalah hasil diskusi internal para elite JI, termasuk melibatkan Abu Rusdan dan Para Wijayanto yang paling dihormati di organisasi tersebut.

"Di masa kepemimpinan Para Wijayanto, hampir tidak ada serangan yang dilakukan oleh JI, tetap penangkapan mereka yang terlibat dalam perang suriah, misalnya dalam soal pendanaan, tetap dilakukan," kata Noor Huda kepada CNA.

"Mereka yang dipenjara ini kemudian melakukan dialog yang intensif di antara mereka, difasilitasi oleh Densus 88."

JI dibentuk pada 1993 oleh Abdullah Sungkar and Abu Bakar Ba'asyir dengan misi membangun negara Islam di Asia Tenggara. Abdullah meninggal dunia pada 1999 dan Abu Bakar divonis penjara 15 tahun pada 2011 atas tuduhan pendanaan pelatihan militan di Aceh. Abu Bakar yang kini berusia 83 tahun dibebaskan pada 2021 dengan alasan kemanusiaan.

Pengadilan Negeri Jakarta pada 2008 menetapkan JI - yang berafiliasi dengan Al-Qaeda - sebagai organisasi terlarang di Indonesia setelah beberapa kali serangan teroris dilakukan oleh orang-orang yang mengatasnamakan kelompok ini.

Perpecahan beberapa kali terjadi di kelompok JI, memunculkan beberapa organisasi sempalan yang didirikan oleh orang-orang yang tidak puas dengan keputusan para elite. Abu Bakar sendiri keluar dari JI dan membentuk Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) pada tahun 2000 sebelum dia sendiri akhirnya mundur dari organisasi tersebut pada 2008 karena cekcok internal.

Amerika Serikat pada 2017 menetapkan MMI sebagai Specially Designated Global Terrorist (SDGT) karena dianggap terkait dengan gerakan Al-Qaeda dan Al-Nusra Front. AS menilai kelompok ini memiliki risiko signifikan untuk melakukan tindakan terorisme, namun MMI membantah semua tuduhan tersebut.

Baik MMI dan beberapa pengamat menyambut baik pembubaran JI.

"Kelompok yang selama ini berseberangan dengan sistem, kini mencoba inherent dengan sistem. Masyarakat dan aparat harus mengapresiasi, karena memang ini yang diinginkan, bahwa mereka harus dirangkul dan berkontribusi dalam membangun Indonesia," kata Pengamat terorisme dari The Community Ideological Islamic Analyst (CIIA), Harits Abu Ulya.

MMI mengaku mensyukuri pembubaran JI karena menurut mereka organisasi ini telah menyakiti umat Islam. "Jika benar pernyataan itu disampaikan dalam keadaan sadar dan tanpa tekanan, kami mensyukurinya," kata Irfan S. Awwas, Katib Am AHWA (Ahlul Halli Wal Aqdi) MMI kepada CNA.

WASPADAI KELOMPOK PECAHAN

Para pengamat mengatakan, pemerintah masih harus mewaspadai kelompok-kelompok pecahan JI yang akan bertindak seorang diri, kendati organisasi tersebut telah bubar.

"Splinters (kelompok pecahan) ini yang melakukan aksi (teror) sendiri. Bom Bali itu dilakukan tanpa ada dukungan dari anggota JI yang mainstream," kata Noor Huda.

Kelompok-kelompok yang menolak integrasi dengan pemerintah ini yang patut diwaspadai. Berdasarkan percakapannya dengan anggota JI, Noor Huda mengatakan jumlah anggota organisasi ini ada ribuan orang di seluruh Indonesia. 

"Pasti akan ada resistensi-resistensi oleh para splinter. Pembubaran ini hanya awalannya saja, jangan terlalu cepat menutup kisah JI," kata Noor Huda.

Hal yang sama disampaikan Adhe Bhakti, pengamat terorisme dari Pusat Kajian Radikalisme dan Deradikalisasi (PAKAR) yang mempertanyakan apakah keputusan para petinggi JI itu akan dipatuhi oleh anggota-anggota di bawah mereka.

"Apalagi potensi di level bawah untuk bergerak sendiri berlawanan dengan keputusan petinggi JI sangatlah tinggi," kata Adhe kepada CNA.

"Jadi walaupun dalam jangka pendek kita tidak akan bertemu dengan ancaman dari JI, namun dalam jangka panjang JI tetap berpotensi menimbulkan gangguan keamanan."

Namun Harits dari CIIA mengatakan pengaruh dari mereka yang tidak puas atas keputusan para seniornya akan terbatas, begitu pun dengan perlawanan mereka.

"Yang menyampaikan ini (pembubaran JI) adalah para top leaders, dan loyalitas di bawahnya masih cukup kuat. Bisa jadi nantinya ada satu-dua orang yang menentang keputusan pemimpin ini, tapi mereka tidak akan punya kekuatan dan pengaruh," kata Harits.

Abdul Rahim Ba'asyir, putra Abu Bakar Ba'asyir dan mantan anggota JI, berharap pembubaran ini akan mempengaruhi para simpatisan JI dan mendorong mereka untuk menanggalkan pandangan ekstremis.

"Ini jadi momen yang bagus untuk (menyadarkan) mereka (simpatisan JI) yang bergerak di bawah tanah," kata Abdul Rahim kepada CNA.

Dia juga mengaku lega, bahwa dengan pembubaran ini, tidak ada lagi penangkapan orang-orang yang dituduh JI oleh aparat. Pasalnya penangkapan yang mengatasnamakan JI tersebut menurut dia telah meresahkan karena tidak terbukti kuat mereka telah melakukan tindakan teror.  

"Mudah-mudahan setelah ini tidak ada lagi penangkapan serampangan, karena JI sudah tidak ada lagi, sudah dibubarkan," kata Abdul Rahim yang namanya masuk dalam data Dewan Keamanan PBB dikaitkan dengan Al-Qaeda pada 2011.

Harits dari CIIA mengatakan bahwa dengan pembubaran ini seharusnya keputusan pengadilan soal JI pada 2008 sudah tidak relevan lagi, sehingga tidak ada lagi orang yang ditangkap dengan alasan memiliki kaitan dengan JI.

"Selama ini yang menjadi ikon teror di Indonesia adalah JI. Namun JI telah menjadi masa lalu, demikian juga dengan ISIS. Indonesia akan memasuki era baru dalam war of terror," kata Harits.

BAGAIMANA MANTAN ANGGOTA JI DAN APARAT MENYESUAIKAN DIRI DENGAN "ERA BARU"?

Membubarkan JI adalah langkah yang tepat oleh para pemimpinnya, karena akan mencegah para anggota dan afiliasinya menjadi target penangkapan, kata Adhe dari PAKAR.

Mantan anggota JI kemungkinan akan tetap aktif dalam berbagai kegiatan seperti bisnis, filantropi, dakwah, pendidikan dan politik, katanya.

Sementara untuk pemerintah, perubahan ini menyimpan tantangan tersendiri dalam menyikapinya, kata Noor huda. Aparat keamanan harus menyesuaikan diri terhadap mantan anggota JI, termasuk mengubah stigma atas masa lalu mereka.

"Dulu Densus 88 menganggap mereka sebagai ancaman keamanan, sekarang mereka berintegrasi. Kini ada aspek-aspek lain yang harus dipikirkan oleh aparat."

"Misalnya JI yang kini bubar memiliki pesantren yang banyak jumlahnya, bagaimana (aparat bisa) menghapuskan stigma yang timbul," kata dia. "Ini membutuhkan kemampuan di luar perkara surveillance (pengawasan)."

Dalam laporannya pada Kamis, lembaga riset yang berbasis di Jakarta, Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC), mengatakan: "Untuk saat ini, hasil yang mungkin terjadi adalah tumbuh suburnya sekolah-sekolah yang berafiliasi dengan JI dan meningkatnya keterlibatan orang-orang yang menandatangani pernyataan 30 Juni dalam kehidupan bermasyarakat."

"Apa yang terjadi pada anggota lainnya masih harus dilihat nanti," tambah laporan IPAC.

Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel CNA.id dengan klik tautan ini. 

Source: CNA/da(ih/cc)

Juga layak dibaca

Iklan

Iklan