Indonesia usir kapal China di Natuna: Pemerintah Beijing ingin menguji ketegasan Prabowo
Para pengamat mengatakan, China ingin menguji bagaimana pemerintahan Indonesia yang baru menyikapi ketegangan di perairan sengketa.
SINGAPURA: Dalam sepekan terakhir, sudah tiga kapal penjaga pantai China yang diusir dari Laut Natuna Utara oleh Badan Keamanan Laut Indonesia (BAKAMLA). Menurut pengamat, ini adalah cara agar pemerintahan baru Indonesia di bawah Prabowo Subianto lebih didengar oleh China, tanpa memicu ketegangan kedua negara.
Pengamat juga menduga, masuknya kapal-kapal China tersebut ke perairan sengketa juga untuk mengetes pemerintahan Prabowo.
Pada 23 Oktober lalu, Bakamla memposting video pengusiran kapal penjaga pantai China 5402 di Youtube. Menurut Bakamla dalam pernyataannya, kapal itu "mengganggu aktivitas survei" yang dilakukan Pertamina di perairan tersebut.
Dengan "sembilan garis putus", China mengklaim sebagian besar wilayah Laut China Selatan, di antaranya dekat dengan zona ekonomi eksklusif (ZEE) Kepulauan Natuna yang diyakini kaya minyak dan gas bumi.
Kapal penjaga pantai China kerap terlihat memasuki perairan Laut Natuna Utara dalam beberapa tahun terakhir. Namun pengamat mencermati bahwa insiden kali ini terjadi hanya selang beberapa hari setelah Prabowo diambil sumpahnya sebagai presiden baru Indonesia 20 Oktober lalu.
MENGUJI PRABOWO
Ridzwan Rahmat, analis pertahanan di perusahaan intelijen global Janes, mengatakan China sepertinya ingin memahami seberapa toleran pemerintahan baru Indonesia terkait operasi mereka di zona abu-abu. China juga, kata Ridzwan, ingin menguji apakah Indonesia akan menyikapinya dengan lembek. Zona abu-abu adalah wilayah yang terletak antara posisi konflik dan damai.
Ridzwan mengatakan bahwa hal ini juga dilakukan China pada 2020, beberapa bulan setelah Joko Widodo dilantik untuk periode kedua sebagai presiden. Ketika itu, kapal penjaga pantai dan nelayan China memasuki perairan Natuna. Indonesia lantas mengerahkan jet-jet tempur dan kapal perang, sebuah langkah yang memicu ketegangan diplomatik.
Jokowi bahkan langsung mengunjungi langsung pulau Natuna untuk menunjukkan kedaulatan Indonesia di kawasan tersebut.
Namun dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia dan China mengatasi perselisihan di perairan sengketa dengan cara yang lebih tenang, kata pakar ilmu politik dari National University of Singapore (NUS) Chong Ja Ian kepada CNA.
Chong mengatakan, insiden pekan lalu bisa dilihat sebagai cara China menguji bagaimana pemerintahan Prabowo menyikapi sengketa.
"Interaksi kedua pihak mungkin akan lebih bisa diprediksi ketika mereka lebih yakin dengan posisi masing-masing," kata Chong.
Bakamla yang merilis video insiden tersebut juga dianggap sebagai perubahan sikap Indonesia dari yang sebelumnya menerapkan "diplomasi tenang". Pengamat mengatakan, hal ini menunjukkan adanya pendekatan berbeda antara pemerintahan Prabowo dan Jokowi.
"Terkait perairan Natuna, Indonesia mungkin menerapkan bentuk transparansi yang tegas, mirip seperti apa yang dilakukan Filipina," tulis Dr Abdul Rahman Yaacob, peneliti di Program Asia Tenggara di Lowy Institute, dalam artikelnya yang diterbitkan Jumat lalu (25 Okt) di The Interpreter.
PENGINGAT UNTUK MENINGKATKAN SISTEM KEAMANAN MARITIM
Abdul Rahman dan beberapa pengamat kepada CNA mengatakan bahwa insiden pekan lalu tidak akan sampai merusak hubungan antara Indonesia dan China.
"Prabowo Sepertinya ingin memperlihatkan bahwa Indonesia bisa menjadi sahabat China, tapi tetap akan bersikap tegas kepada Beijing jika memang diperlukan," tulis Abdul Rahman.
Para pengamat mencermati bahwa menteri pertahanan yang baru Sjafrie Sjamsoeddin bertemu dengan Duta Besar China untuk Indonesia Wang Lutong pada 24 Oktober lalu untuk membicarakan kerja sama pertahanan. Namun pertemuan itu sama sekali tidak menyinggung perkara sengketa kelautan.
Dengan latar belakang militernya, kata Ridzwan, Prabowo akan mengambil langkah yang lebih pragmatis dibandingkan dengan Jokowi dalam menunjukkan kekuatan militer Indonesia.
"Mengingat latar belakangnya yang militer, Prabowo akan lebih memahami realita di lapangan dan tuntutan logistik yang diperlukan untuk operasional dan patroli militer yang berkelanjutan, terutama di wilayah jauh seperti Kepulauan Natuna," kata dia.
Itulah sebabnya, menurut Ridzwan, Prabowo akan menurunkan kapal putih milik Bakamla yang tidak akan terlalu memicu ketegangan, ketimbang mengerahkan kapal perang milik TNI AL.
"Ini untuk mengirim pesan bahwa Indonesia tidak ingin ada konflik bersenjata, tapi masih tetap siaga di dalam perairan sendiri dan ZEE," kata Ridzwan.
Pakar hubungan internasional Yohanes Sulaiman dari Universitas Jenderal Achmad Yani di Jawa Barat mengatakan insiden maritim belakangan ini tidak akan terlalu mengganggu hubungan China-Indonesia dalam jangka pendek. Terutama karena Indonesia padda Kamis lalu telah menjadi mitra BRICS, sebuah blok ekonomi dengan China sebagai salah satu anggota paling berpengaruhnya.
"Saya rasa dia belum memutuskan untuk melakukan tindakan lebih agresif terkait China," kata Yohanes. Baru sekitar sepekan memimpin, lanjut dia, Prabowo akan disibukkan dengan berbagai urusan prioritas di dalam negeri.
Dengan bergabung dalam BRICS sebagai negara mitra, Prabowo sepertinya juga ingin menunjukkan bahwa dia menginginkan status quo.
"Dia harus menentukan sikap, salah satunya yang mengkritisi tindakan China, namun harus tetap mencoba menurunkan ketegangan, karena dia masih butuh China untuk memenuhi agenda ekonominya," kata Radityo Dharmaputra, dosen Universitas Airlangga.
China sebagai mitra dagang terbesar Indonesia adalah negara pertama yang dikunjungi Prabowo sebagai presiden terpilih. Sumber daya alam Indonesia seperti batu bara dan nikel telah membantu perekonomian China dan sebagai timbal baliknya, China berinvestasi dalam berbagai proyek infrastruktur Indonesia, salah satunya pembangunan rel kereta cepat Jakarta-Bandung.
Entah ingin menguji Prabowo atau bukan, namun insiden pekan lalu menjadi pengingat bagi pemerintah Indonesia untuk meningkatkan sistem keamanan maritim, kata Imam Prakoso, pengamat di lembaga riset Indonesia Ocean Justice Initiative.
Imam mengatakan, penerobosan wilayah Indonesia pekan lalu adalah pengulangan dari apa yang terjadi di akhir 2021. Ketika itu, China mengirim kapal penjaga pantai dan kapal riset seismik Haiyang Dizhi sebagai respons atas perkembangan eksplorasi minyak dan gas Indonesa. Selama beberapa bulan, kapal China dan Indonesia saling membayangi di sekitar blok minyak dan gas perairan tersebut.
"Indonesia harus meningkatkan sistem keamanan maritim, termasuk melalui diplomasi dengan China," kata Imam.
"Tidak apa-apa jika Indonesia terus melakukan diplomasi tanpa suara jika memang dirasa efektif, tapi sistem keamanan maritim harus ditingkatkan dalam hal koordinasi dan ketangguhannya demi mempertahankan keberadaan di Laut Natuna Utara, terutama di titik-titik yang juga diklaim China," kata dia.
Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel CNA.id melalui tautan ini.