Skip to main content
Iklan

Indonesia

Indonesia masuki musim kemarau, tapi kenapa masih hujan lebat hingga banjir?

BMKG telah memprediksi bahwa awal musim kemarau tahun ini akan mundur di sekitar 29 persen Zona Musim terutama di Lampung, Pulau Jawa, Bali, NTB, dan NTT.

Indonesia masuki musim kemarau, tapi kenapa masih hujan lebat hingga banjir?
Seorang pedagang kaki lima mendorong gerobaknya melewati air di kawasan yang terkena dampak banjir menyusul hujan lebat di Jakarta, Indonesia, 20 Februari 2021. (Reuters/Ajeng Dinar Ulfian)

JAKARTA: Cuaca hujan yang masih terjadi di berbagai wilayah Indonesia meski telah memasuki musim kemarau ternyata dipicu oleh sejumlah dinamika atmosfer.

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyebut penyebab utamanya adalah lemahnya monsun Australia, serta interaksi sistem cuaca lain seperti sirkulasi siklonik dan badai tropis.

“Yang terjadi beberapa hari terakhir adalah dinamika atmosfer yang dikontrol oleh lemahnya monsun Australia, yang seharusnya membawa musim kemarau,” kata Kepala BMKG Dwikorita Karnawati kepada CNN Indonesia, Selasa (8/7).

Selain itu, Dwikorita menambahkan bahwa fenomena hujan ini dipicu oleh sirkulasi siklonik di sebelah barat Bengkulu, serta pengaruh tidak langsung dari badai tropis di wilayah utara Indonesia.

ZONA PERTEMUAN AWAN HUJAN DARI JAWA BARAT HINGGA LOMBOK

Fenomena ini juga diperkuat oleh adanya konvergensi angin—angin dari arah timur (selatan Jawa hingga Lombok) bertemu dengan angin dari arah barat, menciptakan zona pertemuan awan hujan intensif.

“Zona pertemuan itu efektif terjadi di wilayah Jawa Barat hingga Lombok, terutama di Jabodetabek, karena dipengaruhi sirkulasi siklonik yang menyebabkan perlambatan dan pembelokan angin ke utara,” ujar Dwikorita.

Kondisi ini menyebabkan peningkatan pembentukan awan hujan di kawasan tersebut, sehingga memicu hujan deras yang tidak lazim untuk periode musim kemarau.

BMKG juga menyebut bahwa suhu muka laut yang masih hangat di wilayah perairan Indonesia turut memperkuat pembentukan awan hujan. Fenomena ini pertama kali terdeteksi sejak 28 Juni, dan peringatan dini cuaca ekstrem telah dikeluarkan kembali pada 4 Juli 2025.

“Suhu laut yang hangat mendukung pembentukan awan konvektif. Ini memperparah intensitas hujan di tengah lemahnya monsun,” jelasnya.

Meski sempat berdampak luas, Dwikorita memastikan bahwa fenomena ini mulai mereda dan akan segera bergeser ke wilayah Indonesia bagian tengah.

“Sirkulasi siklonik di barat Bengkulu sudah melemah. Badai tropis juga sudah tak lagi berpengaruh. Monsun Australia mulai masuk secara bertahap membawa udara kering,” terangnya.

BMKG memperkirakan hujan lebat akan berkurang mulai besok, dan berpindah ke wilayah Kalimantan Timur, Sulawesi, Maluku, hingga Papua sekitar tanggal 10 Juli 2025.

Sejak Maret 2024, BMKG telah memprediksi bahwa awal musim kemarau tahun ini akan mundur di sekitar 29 persen Zona Musim (ZOM)—terutama di Lampung, Pulau Jawa, Bali, NTB, dan NTT.

Hingga akhir Juni 2025, hanya 30 persen zona musim di Indonesia yang telah memasuki kemarau, jauh di bawah kondisi normal sebesar 64 persen.

“Ini menunjukkan bahwa transisi musim masih berlangsung dan belum merata,” pungkas Dwikorita.

Ikuti saluran WhatsApp CNA Indonesia untuk dapatkan berita menarik lainnya. Pastikan fungsi notifikasi telah dinyalakan dengan menekan tombol lonceng.

Source: Others/ew

Juga layak dibaca

Iklan
Iklan