Skip to main content
Hamburger Menu
Close
Edisi:
Navigasi ke edisi CNA lainnya di sini.

Iklan

Indonesia

Indonesia lirik padi hibrida China pada proyek sejuta hektare sawah, akankah swasembada terwujud?

Meski Indonesia merupakan produsen beras terbesar ketiga dunia, namun masih juga belum swasembada pangan, memaksa impor setiap tahunnya.

Indonesia lirik padi hibrida China pada proyek sejuta hektare sawah, akankah swasembada terwujud?

Para petani di Karawang, Jawa Barat, pada 2 Mei 2024. (Foto: CNA/Danang Wisanggeni)

JAKARTA: Demi ketahanan pangan yang lebih baik, Indonesia akan memulai area kerja sama baru dengan China di bidang penanaman padi. Namun pengamat beranggapan, kerja sama ini akan berpotensi mengganggu hubungan bilateral kedua negara.

Rencana kerja sama yang ambisius ini dibahas dalam pertemuan bilateral kedua negara bulan lalu. Nantinya, Indonesia akan mengembangkan satu juta hektare lahan persawahan di Kalimantan Tengah, dengan China yang akan menyuplai teknologi tanam padi-nya.

Meski para petani lokal kepada CNA mengaku menyambut baik inisiatif tersebut, namun para pengamat memperingatkan akan adanya hambatan-hambatan seperti perbedaan kondisi lahan, kurangnya infrastruktur hingga biaya yang mahal.

Para pengamat juga menyoroti rekam jejak pertanian Indonesia yang tidak merata. Mereka khawatir langkah terbaru ini hanya akan mengulangi kegagalan-kegagalan yang terjadi dalam tiga dekade terakhir.

Jika pun pada akhirnya berujung sukses, seorang pengamat mengaku khawatir kerja sama di bidang ini akan menggoyahkan keseimbangan hubungan bilateral Indonesia dan Tiongkok, terutama jika proyek ini melibatkan padi hibrida asal China.

"Jika kita mengekspor padi hibrida dari China, Indonesia akan sangat bergantung kepada China karena benih induknya dikendalikan oleh China," kata Prof Dwi Andreas Santosa, ahli pertanian dari Institut Pertanian Bogor (IPB).

Setiap tahunnya Indonesia mengimpor beras meski negara ini adalah produsen beras. (Foto: CNA/Danang Wisanggeni)

MENYEMAI BENIH KERJA SAMA

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Indonesia Luhut Pandjaitan memaparkan rincian kerja sama pertanian dengan China pada 21 April lalu, selang beberapa hari setelah dia memimpin pertemuan keempat Dialog Tingkat Tinggi dan Mekanisme Kerja Sama (HDCM) dengan Menteri Luar Negeri China Wang Yi.

Dalam pertemuan tahunan yang kali ini digelar di Labuan Bajo itu, kedua negara melakukan peninjauan, perencanaan dan koordinasi kerja sama di berbagai bidang.

"Kita minta mereka memberikan teknologi padi mereka, di mana mereka sudah sangat sukses menjadi swasembada," kata Luhut di akun media sosialnya. 

"Dan mereka bersedia. Tinggal kita sekarang menjadi local partner-nya untuk membuat di Kalteng karena tanahnya dari zaman dulu sudah ada, hingga satu juta hektare."

Luhut menambahkan bahwa proyeknya akan dilakukan berangsur-angsur mulai dari 100.000 hektare, tanpa merinci tenggat waktunya.

Dia juga mengatakan bahwa Bulog yang akan menjadi pembeli hasil panennya, dan diharapkan proyek ini bisa dimulai dalam enam bulan lagi.

Jodi Mahardi, juru bicara Luhut, mengatakan kepada CNA bahwa akan dibentuk satuan tugas untuk kerja sama ini, berada di bawah HDCM Indonesia-China.

"Jadi secara teknis, belum ada informasi yang bisa kami ungkapkan secara detail," kata Jodi kepada CNA pada 1 Mei lalu.

Selain padi, pemerintah juga ingin China akhir tahun ini bisa membantu pengembangan tanaman cabai keriting, bawang putih, durian dan rumput laut.

Nasi adalah makanan pokok bagi kebanyakan orang Indonesia. (Foto: CNA/Danang Wisanggeni)

MENGAPA HARUS CHINA?

Menurut Luhut, China dipilih sebagai mitra karena negara itu berhasil mencapai swasembada produksi beras.

China adalah negara pusat produksi beras - menyumbang sekitar 28 persen dari pasokan global. Menurut artikel yang dirilis Forum Ekonomi Dunia, China memproduksi lebih dari 211 juta ton beras pada 2019.

Tingkat swasembada beras, gandum dan jagung China mencapai rata-rata 97 persen dan tidak ada ketergantungan impor, seperti dilaporkan oleh Global Times pada 2020.

Sementara Indonesia, yang menyandang status produsen beras terbesar ketiga dunia, bahkan belum swasembada. "Produksi beras Indonesia, yang 93 persennya untuk memenuhi pasar domestik, selalu tidak mencukupi kebutuhan konsumsi," bunyi kutipan di sebuah tajuk oleh para peneliti ISEAS-Yusof Ishak Institute bulan lalu.

Untuk menutupi kekurangan tersebut, Indonesia setiap tahunnya mengimpor beras.

"Padi ini menurut saya menjadi sangat serius karena selalu masalah kita adalah padi. Beras, selalu kita impor, 2 juta lah, 1,5 juta lah," kata Luhut.

Menurut Badan Pusat Statistik, Indonesia memproduksi sekitar 53,6 juta ton beras tahun lalu.

Luhut mengatakan bahwa target saat ini adalah memproduksi tambahan 4 hingga 5 juta ton beras per tahun. 

Dia mencontohkan, 400.000 hektare sawah di Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, bisa memproduksi tambahan 2 juta ton padi.

"Jadi kalau program ini jalan, dan menurut saya harus jalan, kita sebenarnya minta 4-5 ton aja ... sudah selesai masalah ketahanan pangan kita untuk beras," kata Luhut. 

PADI HIBRIDA DARI CHINA

Andreas dari IPB yakin China akan membantu Indonesia mengembangkan padi hibrida. Menurut dia, China adalah pelopor padi hibrida, hasil persilangan dari dua varietas induk yang berbeda.

Jika ditanam dalam kondisi yang sama dengan varietas padi murni, padi hibrida dapat menghasilkan panen 30 persen lebih banyak.

"Inilah kekuatan China. Mereka mulai mengembangkan padi hibrida pada tahun 70-an dan berhasil menyelamatkan produksi beras China," kata Andreas kepada CNA.

Namun Andreas memperingatkan bahwa tidak mudah mengembangkan padi hibrida di Indonesia dengan kondisi iklim yang berbeda dengan China.

Para pengamat khawatir program ini hanya akan mengulangi berbagai kegagalan sebelumnya dalam 30 tahun terakhir, ketika Indonesia berupaya untuk swasembada dengan mengembangkan lahan pertanian besar untuk padi dan tanaman lainnya.

"Memperkenalkan sistem pertanian, seperti membawa teknologi atau benih dari negara lain seperti China, tidak selalu solusi yang baik, efisien dan dapat langsung diterapkan," ujar Khudori, pakar pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI).

Baik Andreas dan Khudori sama-sama mencontohkan apa yang terjadi pada 2007. Wakil Presiden Indonesia ketika itu Jusuf Kalla berkunjung ke China dan menyatakan ketertarikannya dengan padi hibrida.

Indonesia lalu menjalin kerja sama dengan perusahaan China untuk mengembangkan padi hibrida, tapi ternyata gagal.

"Setelah benih padi hibrida diimpor dan dipasarkan sebagai bagian dari bantuan benih untuk petani, hasilnya tidak memuaskan. Di beberapa tempat, padi hibrida yang ditanam terkena penyakit," kata Khudori.

Food Estate di Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah, pada Desember 2023. (Foto: Jurnasyanto Sukarno/Greenpeace)

DEMI SWASEMBADA PANGAN

Ambisi Indonesia untuk mencapai swasembada pangan terus berlanjut di era pemerintahan Presiden Joko Widodo melalui program Lumbung Pangan (Food Estate) yang salah satunya berada di Kalimantan Tengah.

Proyek Food Estate ini digarap multi-kementerian - misalnya, salah satu kementerian mengurusi pembukaan lahan dan pembangunan sistem irigasi, sementara kementerian lain menangani penanaman padi dan mengawasi persediaan cadangan pangan.

Proyek Food Estate sebagian besar dianggap gagal karena tidak membuahkan hasil yang berarti sejak dimulai pada 2020, ujar para pengamat.

Beberapa pemerhati lingkungan bahkan menyalahkan pemerintah akibat kerusakan lingkungan dalam proyek Food Estate yang memicu penggundulan hutan.

Bayu Herinata, direktur eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) di Kalimantan Tengah, meyakini kerja sama baru Indonesia-China ini akan semakin merusak alam.

Dia juga khawatir kerja sama ini akan memunculkan masalah lain, seperti perebutan lahan oleh perusahaan dan pembatasan bagi warga setempat untuk mengembangkan lahan mereka.

Menurut Bayu, kerja sama dengan China tidak terlalu mendesak karena "produksi pangan sudah baik".

"Tantangannya bukan pada teknologi, tapi pada bagaimana pemerintah bisa membantu petani lokal," kata dia. Bantuan yang bisa diberikan pemerintah bagi petani, misalnya, dengan memudahkan akses modal dan pupuk.

Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Iqbal Damanik menyampaikan keresahan yang sama.

Iqbal mengatakan, pemerintah akan gagal jika mengembangkan persawahan di Kalimantan Tengah karena menurut dia tanah di kawasan tersebut tidak cocok untuk produksi padi massal.

Kegagalan tersebut, lanjut dia, bisa diamati di Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah, tempat dilaksanakannya program Food Estate.

Di Gunung Mas upaya menumbuhkan padi berkali-kali gagal, membuat pemerintah akhirnya menggantinya dengan menanam jagung yang berhasil panen awal tahun ini. Tapi Iqbal mengatakan, jagung tersebut tidak benar-benar ditanam di tanah, melainkan di dalam kantong pot plastik atau polybag.

"Apakah China benar-benar mampu menggarap lahannya? Gunung Mas, misalnya, tidak cocok untuk produksi massal," kata dia.

Besarnya anggaran akan menjadi faktor penghambat lainnya. Iqbal mengatakan biaya membangun persawahan di Kalimantan Tengah akan sangat mahal, mengingat perlunya pembangunan infrastruktur yang masih minim di provinsi tersebut, seperti sistem irigasi dan jalan.

"Ini adalah kemunduran. Faktanya, tidak ada Food Estate yang sukses, terutama di Kalimantan Tengah," kata Iqbal.

MENGGOYAHKAN HUBUNGAN BILATERAL?

Semisal skema kerja sama ini berhasil setelah melalui riset yang mendalam, Andreas dari ITB khawatir proyek ini akan membuat Indonesia bergantung kepada China - terutama jika China menggunakan padi hibridanya.

Menurut Andreas, kondisi ini bisa saja terjadi karena China akan mengendalikan benih induk, dan petani lokal harus bergantung pada produsen benih.

Hal ini memang tidak terlalu bermasalah jika hubungan kedua negara tengah harmonis. Pengamat mengatakan, masalah dapat muncul jika Indonesia dan China sedang berseteru.

Kedua negara memiliki sengketa wilayah di Laut Natuna Utara, dekat Laut China Selatan. Dalam beberapa tahun terakhir, kapal pencari ikan dan patroli China sering terlibat bentrok dengan nelayan Indonesia di kawasan tersebut.

Namun, Dr Shafiah Muhibat, ahli China dari lembaga riset Centre for Strategic and International Studies (CSIS) di Jakarta, memiliki pandangan yang berbeda.

"Saya rasa Indonesia memiliki semacam strategi yang menempatkan hubungan dengan China di kompartemen-kompartemen berbeda," kata dia.

"Seperti misalnya, apa pun yang terjadi di kompartemen politik secara umum tidak akan berdampak pada kompartemen kerja sama ekonomi dengan China."

Selain itu, perkara geopolitik kedua negara tidak terpikirkan oleh para petani di Kalimantan Tengah. Dalam perbincangan dengan CNA, mereka justru menantikan proyek penanaman padi dengan bantuan China.

Salah satu petani, Sarianto, mengaku belum mendengar soal rencana tersebut, tapi dia menyambut baik setiap kerja sama untuk meningkatkan penghidupannya.

"Saya kira ini bagus, dan pemerintah harus mengabarkan kepada masyarakat agar mereka yang memiliki sawah mengetahuinya.

"Saat proyeknya nanti dimulai, harus juga melibatkan warga lokal agar tidak timbul kecemburuan," kata petani berusia 47 dari Kabupaten Kapuas ini.

Petani lainnya punya pandangan serupa. "Jika proyek ini jalan, saya akan senang sekali karena bekerja dengan China bisa membuat kami makmur," kata Rusimin dari desa Dadahup.

"Mereka bisa membantu petani seperti kami, terutama yang ada di desa-desa."

Source: CNA/da

Juga layak dibaca

Iklan

Iklan