Skip to main content
Hamburger Menu
Close
Edisi:
Navigasi ke edisi CNA lainnya di sini.

Iklan

Indonesia

Hutan adalah 'ibu': Pengabdian Mama Nela selamatkan mangrove di Hutan Perempuan Papua

Pembangunan infrastruktur di Papua menyisakan kerusakan lingkungan. Mama Nela kemudian menggerakkan masyarakat untuk memperbaiki hutan mangrove, sekaligus menciptakan peluang ekonomi dari olahan hutan.

Hutan adalah 'ibu': Pengabdian Mama Nela selamatkan mangrove di Hutan Perempuan Papua

Petronela Merauje, aktivis lingkungan dan hak-hak perempuan asal Kampung Enggros, Jayapura, Papua, dalam kegiatan penanaman bibit mangrove di Hutan Perempuan. (Facebook/Petronela Merauje)

Artikel ini adalah bagian dari seri 'Hero adalah Kita'.

JAKARTA: Bak dua sisi mata uang, pembangunan infrastruktur yang masif di Papua telah membawa keuntungan ekonomi sekaligus kerusakan lingkungan. Berbagai kemudahan akses jalan dan terbukanya peluang kerja harus dibayar dengan penggundulan hutan dan bertumpuknya sampah di lautan.

Kenyataan pahit ini dirasakan betul oleh Petronela Merauje, pemerhati lingkungan dan pejuang hak-hak perempuan di kota Jayapura, Papua. Perempuan asli Kampung Enggros, Kecamatan Abepura, ini merasakan betapa pembangunan jembatan Youtefa telah merusak tempat bercengkerama para perempuan di kampungnya, Hutan Perempuan.

Diresmikan pada 2019 di pemerintahan Presiden Joko Widodo, jembatan pelengkung ini membentang sepanjang total 11,6 km di atas Teluk Youtefa, menghubungkan Kota Jayapura, Kampung Hamadi, dan Distrik Muara Tami.

Dengan jembatan ini, perjalanan antara Jayapura ke Muara Tami bisa ditempuh hanya sekitar 15 menit dari yang sebelumnya satu jam.

Mulai dibangun pada 2015 dengan memakan biaya total Rp1,87 triliun, jembatan dengan warna merah yang mencolok ini tidak hanya mempercepat akses, tetapi juga membuat perekonomian di sekitarnya menggeliat. Kafe-kafe dan rumah makan di sekitaran Teluk Youtefa kini tumbuh menjamur.

Jembatan Youtefa di Jayapura. (Dok. Kementerian PUPR)

Namun dalam pembangunannya, sekitar 20 hektare mangrove terpaksa dibabat untuk penimbunan tanah, seperti dilaporkan koran Kompas pada 2022. Salah satu yang paling terdampak adalah Hutan Perempuan, hutan adat khusus untuk para perempuan. 

Dalam tradisi mencari kerang di Hutan Perempuan, para perempuan Papua biasanya menanggalkan seluruh busana mereka. Mangrove yang menipis membuat aktivitas mereka di dalamnya bisa terlihat dari luar atau dari atas jembatan.

"Di Hutan Perempuan kami merasa memiliki kebebasan. Tapi dengan adanya jembatan, hutan itu jadi transparan karena mangrove sudah ditebang habis. Kami sudah tidak nyaman," kata Petronela dalam perbincangan dengan CNA Indonesia.

Akhirnya perempuan yang akrab disapa Mama Nela ini tergerak hatinya memimpin masyarakat untuk menanam kembali mangrove di Hutan Perempuan. Perlahan tapi pasti, bibit-bibit mangrove yang ditanamnya mulai tumbuh, menutupi bagian depan Hutan Perempuan.

"Kini bibit-bibit yang ditanam sudah lumayan tinggi. Lahan yang tadinya tandus, sudah mulai hijau," kata perempuan 43 tahun ini.

Tidak hanya itu, dia juga memberdayakan para perempuan di kampungnya untuk ikut mengolah buah mangrove menjadi berbagai barang konsumsi untuk menambah penghasilan keluarga.

Sampah yang semakin banyak terbawa arus ke Teluk Youtefa juga membuat Petronela resah. Dia mengajak warga membersihkan sampah dan mengolahnya menjadi barang kerajinan untuk dijual kembali.  

Berkat kepeduliannya ini, Petronela meraih penghargaan Kalpataru dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 2023. 

Petronela Merauje (depan menunduk) dalam sebuah kegiatan tanam bibit mangrove. (Foto: Facebook/Petronela Merauje)

HUTAN PEREMPUAN ADALAH 'IBU'

Hutan Perempuan adalah hutan bakau yang memiliki peranan penting bagi para perempuan desa Enggros dan Tobati. Di hutan adat berusia ratusan tahun ini, mereka bisa dengan leluasa bercengkerama tanpa ada gangguan dari kaum lelaki.

Sesuai namanya, hutan ini hanya boleh dimasuki oleh perempuan untuk mencari kerang atau bia dalam tradisi turun temurun bernama tonotwiyat

Di dalam naungan mangrove yang gelap, tertutup dan sunyi, para perempuan Papua menanggalkan seluruh busana mereka ketika menyelam mencari kerang. Hal ini dilakukan agar pakaian mereka tidak kotor terkena lumpur dan kulit mereka menjadi gatal.

Jika ada lelaki yang nekat memasuki hutan ini, mereka akan diganjar denda senilai antara Rp300 ribu hingga Rp1 juta.

Petronela mengatakan, di Hutan Perempuan inilah mereka bebas untuk saling mengungkapkan perasaan dan keluh kesah. 

"Kami bebas tertawa di dalamnya. Kami saling berbagi cerita soal persoalan di kampung, pemerintahan, berbagai isu seperti pendidikan atau kesehatan," kata Petronela.

"Ketika kami pulang, kami sampaikan pembicaraan itu ke pemerintahan kampung, gereja atau pemuka adat, agar persoalan bisa terselesaikan," lanjut dia.

Teluk Youtefa dan jembatannya dilihat dari Bukit Jokowi di Jayapura, Papua. (Foto: CNA/Denny Armandhanu)

Laju roda pembangunan membuat hutan mangrove di Teluk Youtefa semakin menyusut dari yang sebelumnya pada 1967 mencapai 514,24 hektare, kini menjadi 233,12 hektare. Ini belum ditambah dengan lahan yang hilang akibat penggundulan mangrove untuk pembangunan Jembatan Youtefa.

Petronela mengatakan, pembabatan hutan membuat para perempuan di kampungnya tidak nyaman. Pasalnya, mereka khawatir bisa terlihat dari luar ketika mencari kerang karena naungan mangrove semakin menipis. 

Selain itu, kata dia, sampah-sampah yang hanyut terbawa arus kian membanjiri Teluk Youtefa, membuat jumlah tangkapan ikan dan kerang menurun.

"Teluk Youtefa telah menjadi tempat sampah terbesar di Kota Jayapura. Sampah terbanyak juga terdapat di Hutan Perempuan," kata dia.

"Hasil tangkapan ikan dan kerang menjadi berkurang. Dampaknya akan dirasakan juga di kota, karena hasil laut itu dijual ke pasar dan restoran," lanjut dia.

Bagi Petronela, hutan mangrove tersebut adalah 'ibu' bagi para perempuan di kampungnya.

"Karena hutan itu sebagai pertahanan pangan yang kita punya, di dalamnya terdapat ekosistem laut yang menjadi sumber penghasilan bagi masyarakat kampung Enggros," kata dia. 

Akhirnya melalui Kelompok Tani Hutan Ibayauw, sebuah komunitas tani yang didirikannya enam tahun lalu, Petronela pada 2021 memimpin aksi membersihkan sampah dan menanam bibit mangrove di Hutan Perempuan.

Sekitar 3 tahun berselang, setidaknya sudah 20.000 bibit mangrove yang mereka tanam, dan hasilnya sudah mulai terlihat.

"Bagaimana pun kami harus berbuat untuk mempertahankan hutan ini agar tetap ada. Kami bersuara di media sosial agar kita bersama-sama menjaga alam ini," kata dia.

"Saya mencoba mempertahankan hak-hak perempuan dan adat di kampung."

Bibit-bibit mangrove yang siap ditanam. (Foto: Facebook/Petronela Merauje)

AKTIVIS PEREMPUAN DAN LINGKUNGAN

Semangat aktivisme Petronela pada isu perempuan dan lingkungan hidup telah terbentuk sejak lama. Pada 2010, dia tergabung dalam aksi penanaman mangrove bersama Forum Peduli Port Numbay Green (FPPNG) hingga tahun 2017.

Kelompok Tani Hutan Ibayauw yang dibentuknya enam tahun lalu kini memiliki anggota sebanyak 15 orang. Dari komunitas ini, Petronela melakukan edukasi dan menginspirasi masyarakat untuk terlibat langsung dalam perlindungan alam.

Dia juga mengajak warga dari berbagai kampung di sekitar Teluk Youtefa untuk bersama-sama membuat bibit mangrove. Bibit-bibit itu kemudian mereka beli untuk ditanam kembali.

"Dari dua kampung kami telah mendapat 13.000 bibit dan alat bantu kerja, dibantu oleh Karang Taruna dan PKK," kata dia.
 

Buah mangrove dari Hutan Perempuan, Jayapura, Papua, yang bisa diolah menjadi berbagai jenis makanan. (Foto: Facebook/Petronela Merauje)

Kini ibu tunggal dengan enam anak ini telah membina satu kampung dan memiliki empat kelompok sosial dalam hal pelestarian dan pengolahan mangrove.

Tidak hanya menanam bibit mangrove dan membersihkan sampah, Petronela juga memberdayakan warga untuk bisa mengolah buah mangrove menjadi berbagai makanan oleh-oleh khas Papua.

"Buah mangrove bisa diolah menjadi sirup, es krim atau selai. Bisa juga dibuat hand sanitizer, jus, pewarna batik, atau kopi," kata dia. Beberapa produk olahan mangrove tersebut telah mendapatkan izin Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

Petronela mengaku belajar cara pengolahan buah mangrove dari berbagai video di Youtube dan langsung mempraktikkannya. Dia kemudian mengajarkannya kepada warga sekitar agar hasilnya bisa menjadi pemasukan tambahan bagi para perempuan untuk membantu menghidupi keluarga.

Sirup hasil olahan dari buah mangrove di Jayapura, Papua. (Foto: Facebook/Petronela Merauje)

Sampah-sampah yang hanyut ke Teluk Youtefa juga mereka olah menjadi berbagai barang seperti vas bunga dari plastik dan kaca untuk dijual sebagai souvenir kepada wisatawan.

"Harapan saya semua masyarakat memahami bahwa potensi alam kita sangat besar dan bisa memberikan kehidupan bagi kita," kata dia.

PENGHARGAAN KALPATARU 2023

Atas dedikasi dan pengabdiannya, Petronela mendapatkan penghargaan Kalpataru kategori Pembina Lingkungan yang diberikan langsung oleh Menteri LHK ketika itu, Siti Nurbaya Bakar. 

Petronela mengakui, penghargaan ini telah membuka kesempatan lebih luas dalam aksi perlindungan lingkungan yang dipimpinnya. Bantuan dari berbagai pihak kemudian berdatangan, termasuk rumah bibit dari Bank Indonesia.

Ke depannya, dia berharap bisa mengembangkan program budidaya mangrove menjadi bisnis yang lebih menguntungkan bagi masyarakat. 

Saat ini, dia tengah mengupayakan sertifikat halal untuk produk sirup dan es krim dari mangrove. Ke depannya dia berharap memiliki rumah produksi sendiri yang diawaki oleh para perempuan kampungnya. 

"Perempuan harus lebih aktif dalam mengolah buah mangrove menjadi sebuah produk agar mendapatkan manfaatnya. Saya bermimpi suatu saat nanti mereka bisa menghidupi keluarganya," kata Petronela.

Petronela Merauje (depan) dalam sebuah kegiatan tanam bibit mangrove. (Foto: Facebook/Petronela Merauje)

Dia juga berharap suatu saat nanti Hutan Perempuan yang sudah kembali asri dapat menjadi tempat wisata bagi semua perempuan dari berbagai daerah di Indonesia, tidak hanya dari sekitar Youtefa saja.

Harapannya juga tertumpu pada generasi penerus, anak-anak Papua, untuk melestarikan alam. Itulah sebabnya, Petronela selalu menyertakan para tunas muda dalam setiap kegiatan lingkungannya.

"Kami membina anak-anak mulai dari kecil, agar mereka terbiasa melakukan hal-hal positif ketika dewasa nanti," lanjut dia.

"Saya ingin menciptakan Mama Nela-Mama Nela lainnya."

'Hero adalah Kita' adalah seri tulisan yang mengangkat kisah inspiratif dari pahlawan sehari-hari di Indonesia. CNA Indonesia menyoroti individu-individu yang berdedikasi tulus demi kebaikan masyarakat dan lingkungan di sekitar mereka.

Seri ini adalah bentuk apresiasi kami kepada mereka yang sering kali tidak terlihat namun berdampak besar bagi banyak orang. Ayo sama-sama kenali dan hargai para pahlawan di sekitar kita, karena Hero adalah Kita!

Kenal sosok pahlawan di sekitarmu yang telah membantu masyarakat? Beri tahu kami lewat email di cnaindonesia [at] mediacorp.com.sg.

Ikuti saluran WhatsApp CNA Indonesia untuk dapatkan berita menarik lainnya. ​​​​​

Source: CNA/da/ps

Juga layak dibaca

Iklan

Iklan