Dugaan pemerkosaan dengan unsur relasi kuasa, Dokter Priguna terancam hukuman lebih berat
Sesuai Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, pelaku terancam hukuman hingga 12 tahun penjara dan/atau denda Rp300 juta, dengan kemungkinan hukuman diperberat karena statusnya sebagai tenaga medis yang menyalahgunakan relasi kuasa.

Priguna Anugerah Pratama (X)
BANDUNG: Pelaku dugaan kekerasan seksual, Priguna Anugerah Pratama, dokter residen anestesi Universitas Padjadjaran (Unpad) di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung, berpotensi dijerat dengan ancaman pidana yang lebih berat.
Priguna telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus pemerkosaan terhadap perempuan berinisial FH, berusia 21 tahun. Priguna diduga memperdaya korban dengan berpura-pura menawarkan pemeriksaan crossmatch untuk transfusi darah ayah korban yang sedang dirawat di ruang ICU RSHS.
Mengaku ingin membantu mempercepat proses tersebut, pelaku kemudian membawa korban ke lantai 7 gedung baru rumah sakit dan memintanya mengenakan baju pasien. Tanpa curiga karena tidak memahami prosedur medis, korban mengikuti instruksi pelaku. Ia kemudian dibius dengan midazolam hingga tak sadarkan diri, dan pelaku diduga memanfaatkan situasi tersebut untuk melakukan pemerkosaan.
Penyelidikan juga mengarah pada kemungkinan adanya korban-korban lain yang belum teridentifikasi, yakni dua pasien dokter Priguna meskipun mereka belum melakukan pelaporan resmi ke polisi.
Mengacu pada Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), dokter Priguna dapat dikenakan tambahan hukuman sepertiga karena melakukan kejahatan dalam relasi kuasa sebagai tenaga medis terhadap korban yang tidak berdaya.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Arifah Fauzi, menegaskan bahwa tindakan pelaku merupakan bentuk kekerasan seksual yang sangat serius karena terjadi di ruang publik yang seharusnya menjadi tempat aman, termasuk bagi perempuan.
Ia menyampaikan keprihatinannya atas insiden yang terjadi di rumah sakit pendidikan tersebut.
"Kejadian ini menjadi peringatan bagi masyarakat bahwa kekerasan seksual dapat terjadi di mana saja, termasuk ruang publik yang seharusnya menjadi tempat aman bagi kita semua. Tidak ada satu pun perempuan pantas menjadi korban kekerasan seksual," ujar Arifah dalam pernyataan resmi yang diterima CNA Indonesia, Kamis (10/4).
Lebih lanjut, Arifah menjelaskan bahwa tersangka dapat dijerat dengan Pasal 6 jo Pasal 15 UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, dengan ancaman pidana penjara hingga 12 tahun dan/atau denda hingga Rp300 juta.
Namun, karena pelaku merupakan tenaga medis dan tindakannya dilakukan dalam relasi kuasa, maka ancaman pidana dapat diperberat.
"Ancaman pidana tersangka dapat ditambah sepertiga karena dilakukan oleh tenaga medis atau profesional dalam situasi relasi kuasa, atau mengakibatkan dampak berat bagi korban, termasuk trauma psikis, luka berat, atau bahkan kematian," jelasnya.
PPDS ANESTESI RSHS DIHENTIKAN SEMENTARA
Sementara itu, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) telah menginstruksikan penghentian sementara seluruh kegiatan Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran di lingkungan RSHS selama satu bulan.
"Penghentian sementara ini bertujuan untuk memberikan ruang bagi proses evaluasi menyeluruh terhadap tata kelola dan sistem pengawasan PPDS di lingkungan RSHS," ujar Aji Muhawarman, Kepala Biro Komunikasi dan Informasi Publik Kemenkes, dalam keterangan tertulis yang diterima CNA Indonesia pada Kamis (10/04).
Kemenkes juga meminta RSHS agar menjalin kerja sama aktif dengan Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran dalam melakukan evaluasi serta perbaikan menyeluruh, guna memastikan agar kejadian serupa tidak kembali terulang.
Selain itu, sebagai langkah pencegahan jangka panjang, Kemenkes mewajibkan seluruh rumah sakit pendidikan di bawah kementerian untuk menyelenggarakan tes kejiwaan berkala bagi para peserta PPDS.
Menurut berbagai laporan media, Priguna sudah beristri namun memiliki kelainan seksual somnofilia, atau sindrom sleeping beauty, yaitu kecenderungan seksual terhadap individu yang sedang tidur atau tidak sadar alias pingsan.
Tersangka Priguna menyadari kelainan seksualnya dan dikabarkan pernah berkonsultasi ke psikolog. Dalam keseharian dan pergaulan, pria berusia 31 tahun itu terlihat normal.
Aji menilai, tes kejiwaan berkala ini penting untuk menghindari kemungkinan manipulasi hasil serta memungkinkan deteksi dini terhadap gangguan kesehatan jiwa yang dapat memengaruhi perilaku peserta didik.
"Kami ingin memastikan setiap peserta program pendidikan memiliki integritas dan kondisi mental yang stabil selama menjalani pendidikan," tegasnya.
Sementara itu, Kemenkes juga telah mengajukan permintaan resmi kepada Konsil Kesehatan Indonesia (KKI) untuk mencabut Surat Tanda Registrasi (STR) atas nama dr. PAP. Pencabutan STR ini akan secara otomatis menggugurkan Surat Izin Praktik (SIP) yang dimiliki oleh pelaku.
Aji menegaskan bahwa langkah cepat ini mencerminkan komitmen Kemenkes dalam menciptakan sistem pendidikan kedokteran yang profesional dan berintegritas. Ia juga mengapresiasi langkah Universitas Padjadjaran yang telah memberhentikan dr. PAP dari program pendidikannya, serta kerja cepat Polda Jawa Barat yang melakukan penyidikan dan penindakan terhadap pelaku.
"Kami akan terus memantau proses penanganan kasus ini dan mendorong seluruh institusi pendidikan serta fasilitas kesehatan untuk memperketat pengawasan, memperbaiki sistem pelaporan, serta membangun lingkungan yang bebas dari kekerasan dalam bentuk apa pun," pungkas Aji.
EVALUASI PERLINDUNGAN PEREMPUAN
Di sisi lain, KemenPPPA menyoroti pentingnya penguatan sistem pencegahan dan respons terhadap kekerasan seksual di berbagai institusi pelayanan publik, termasuk rumah sakit dan perguruan tinggi.
Menteri PPPA menekankan bahwa kasus ini harus menjadi momentum evaluasi menyeluruh terhadap protokol perlindungan di ruang publik.
Pihak KemenPPPA mengapresiasi respon cepat dari UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Provinsi Jawa Barat dan Kota Bandung yang telah memberikan layanan konseling serta pendampingan psikologis kepada korban. Kementerian juga menyatakan bahwa pihaknya akan terus mengawal proses hukum agar hak-hak korban terpenuhi secara menyeluruh dan pelaku mendapatkan hukuman setimpal.
"Kami mendukung korban dan keluarganya yang sudah berani melaporkan kekerasan seksual yang dialaminya. Ini adalah bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan dan bentuk keberanian yang akan membuka jalan bagi korban lainnya untuk turut bersuara," ujar Arifah.
Ia juga mengajak masyarakat untuk tidak diam terhadap kekerasan seksual. Siapa pun yang mengalami, melihat, atau mengetahui kasus serupa diimbau segera melapor ke lembaga resmi yang ditunjuk oleh UU TPKS seperti UPTD PPA, penyedia layanan berbasis masyarakat, maupun kepolisian. Laporan juga dapat disampaikan melalui hotline SAPA 129 atau WhatsApp di nomor 08111-129-129.
"Kita semua, sebagai bangsa, bertanggung jawab untuk memastikan kejadian seperti ini tidak terulang dan korban mendapatkan keadilan serta ruang pemulihan yang layak," tutup Arifah.
Ikuti saluran WhatsApp CNA Indonesia untuk dapatkan berita menarik lainnya. Pastikan fungsi notifikasi telah dinyalakan dengan menekan tombol lonceng.