Skip to main content
Hamburger Menu
Close
Edisi:
Navigasi ke edisi CNA lainnya di sini.
Iklan

Indonesia

Dari Tuku hingga D'MASIV: Hak penamaan, antara penghasil cuan dan risiko terhapusnya sejarah

Penjualan naming rights telah menghasilkan pemasukan nontiket yang besar bagi penyedia layanan transportasi, namun pakar toponimi khawatir praktik komersialisasi ini berdampak pada terhapusnya karakteristik lokal sebuah daerah.

Dari Tuku hingga D'MASIV: Hak penamaan, antara penghasil cuan dan risiko terhapusnya sejarah

Halte Petukangan D'MASIV. (dok. TransJakarta)

JAKARTA: Ketika PT Transportasi Jakarta (TransJakarta) mengubah nama Halte Gelora Bung Karno (GBK) menjadi Halte Senayan Bank DKI Halte tahun lalu, Septiani Rahayu tidak sadar telah melewatkan tempat seharusnya dia turun.

"Saya sempat salah turun karena haltenya berbeda. Saat itu mau turun di GBK, tapi kok namanya bukan GBK," kata seorang pengguna TransJakarta, Septiani, 27, kepada CNA Indonesia.

Perubahan nama itu terjadi setelah pihak TransJakarta menjual hak penamaan atau naming rights kepada Bank DKI selama tiga tahun ke depan, dan berpeluang diperpanjang. 

Bagi perusahaan penyedia layanan transportasi di ibu kota Jakarta seperti TransJakarta, MRT Jakarta, dan LRT Jakarta, penjualan hak penamaan merupakan salah satu sumber pemasukan besar karena nilainya yang fantastis. 

Bagi beberapa penumpang, perubahan nama itu cukup mengganggu.

"Suka bingung, karena dari dulu hafalnya nama halte ini, tiba-tiba berubah," kata pengguna TransJakarta lainnya, Mohamad Ripai, 25.

Namun sentimen berbeda disampaikan pengguna TransJakarta lainnya, yang mengaku tidak masalah jika ada penyematan nama merek tertentu dalam halte transportasi umum.

Adi Tasya, 28, mengaku senang nama kedai kopi Tuku disematkan di stasiun MRT kawasan Cipete pada Januari lalu. 

"Tuku berani placement di MRT. Saya jadi bangga, karena mereka local brand F&B yang maju," kata Tasya soal Stasiun MRT Cipete Tuku.

Stasiun MRT Cipete Raya Tuku (dok. MRT)

Penjualan hak penamaan masih akan terus berlanjut, setidaknya di Jakarta. Terbaru pada 3 Maret lalu adalah penyematan nama band D'MASIV di halte TransJakarta Petukangan, Jakarta Selatan.

Para pakar transportasi mengatakan banyak sisi positif dari penjualan hak penamaan, di antaranya meningkatkan pendapatan nontiket (non-farebox) yang bisa membantu pelayanan sekaligus berpotensi mengurangi subsidi pemerintah.

Namun pakar toponimi menyayangkan pengubahan nama sebagai sebuah komoditas. Dikhawatirkan, nama yang berubah akan mengancam karakteristik lokal sebuah daerah, bahkan menghapus jejak sejarah.

CUAN BESAR BAGI PENYEDIA LAYANAN TRANSPORTASI

Hak penamaan menjadi pembicaraan lagi di Indonesia setelah D'MASIV disebut telah membeli naming rights untuk halte TransJakarta Petukangan. 

D'MASIV adalah band tersohor Indonesia pertama yang menjadi nama sebuah halte angkutan umum. Sebelumnya, hak penamaan selalu diberikan untuk perusahaan-perusahaan yang berani bayar mahal dalam lelang.

Termasuk Halte Petukangan D'MASIV, sudah enam halte TransJakarta yang diubah namanya, yaitu: Halte Bundaran HI Astra, Halte Senayan Bank DKI, Halte Widya Chandra Telkomsel, Halte Cawang Sentral 1 Polypaint, dan Halte Swadarma ParagonCorp.

Dikutip dari Kompas, harga hak penamaan TransJakarta bervariasi, mulai dari Rp1 miliar untuk jangka waktu satu tahun. Semakin strategis halte berada, maka harganya akan semakin mahal.

Di Indonesia sendiri penjualan naming rights telah dilakukan sejak 2018 ketika PT Kereta Api Indonesia (KAI) mengubah nama Stasiun Sudirman Baru menjadi Stasiun BNI City. 

Stasiun MRT Dukuh Atas BNI. (dok. MRT)

Menurut para pengamat transportasi, penjualan hak penamaan ini adalah hal yang jamak di berbagai negara, seperti Malaysia, Korea Selatan atau Hong Kong.

"Lebih banyak dampak positifnya (dari penjualan naming rights), karena ini merupakan salah satu pendapatan nontiket yang besar," kata peneliti dari Inisiatif Strategis untuk Transportasi (Instran) Ki Darmaningtyas kepada CNA Indonesia.

Pendapatan nontiket lain selain hak penamaan adalah penyewaan ruang untuk iklan, ruang komersial atau sewa properti. 

Namun, penjualan hak penamaan diakui salah satu penyumbang terbesar dari pemasukan nontiket. 

Direktur Pengembangan Bisnis MRT Jakarta Farchad Mahfud pada Januari lalu dikutip Antara mengatakan hak penamaan stasiun "kontribusinya signifikan mencapai 30-40 persen" dari total pendapatan nontiket.

MRT Jakarta sejauh ini telah menjual naming rights di sembilan stasiun MRT. Salah satu hak penamaan pertama dibeli oleh perusahaan Grab untuk Stasiun Lebak Bulus pada 2019. 

Pada November 2019 lalu, dikutip dari Kompas, Direktur Keuangan dan Manajemen Korporasi PT MRT Jakarta Tuhiyat mengatakan Grab membayar Rp33 miliar untuk hak penamaan Stasiun Lebak Bulus Grab selama lima tahun. Namun, Grab tidak memperpanjangnya sehingga nama stasiun dikembalikan seperti semula.

Stasiun Lebak Bulus Grab. (dok. MRT)

Tanpa menyebutkan berapa harganya, Tuhiyat mengatakan bahwa naming rights termahal ada di Stasiun MRT Bundaran HI yang telah dibeli oleh Bank DKI pada 2024.

Sementara LRT Jakarta menjual hak penamaan yang menyumbang pendapatan nontiket maksimal Rp12 miliar dengan durasi paling lama lima tahun. 

Sejauh ini LRT Jakarta telah menjual hak penamaan di dua stasiun, yaitu Stasiun Dukuh Atas BNI dan Stasiun Pancoran Bank BJB. 

Dalam Laporan Kinerja 2024 pada Februari lalu, TransJakarta mencatat pendapatan nontiket melonjak 3,5 kali lipat dari dua tahun sebelumnya menjadi Rp218,4 miliar, salah satunya dari "pemanfaatan intellectual property melalui produk kolaborasi".

Baik LRT, MRT dan TransJakarta berada di bawah naungan Pemerintah Provinsi Jakarta.

PEMERINTAH YANG DIUNTUNGKAN

Pakar transportasi Ki Darmaningtyas mengatakan semakin banyak hak penamaan yang terjual, maka akan semakin baik untuk keberlangsungan bisnis perusahaan transportasi. 

"Pendapatan non-farebox bisa dipakai untuk investasi kembali, misalnya menunjang peningkatan kesejahteraan karyawan," kata Darmaningtyas.

Peneliti pada Pusat Studi Transportasi dan Logistik Universitas Gadjah Mada, Danang Parikesit, menyampaikan pendapat senada. Menurut dia, tidak ada ekses negatif dari penjualan hak penamaan ini. 

"Selain mendorong financial sustainability, juga in the long run bisa menekan tarif dan menjadi sumber biaya bagi pengembangan jaringan dan layanan transportasi publik," kata Danang ketika dihubungi CNA Indonesia.

Sementara pakar transportasi dari Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Deddy Herlambang mengatakan pemasukan nontiket yang besar bisa membantu pemerintah mengurangi public service obligation (PSO) atau subsidi untuk meringankan tarif layanan publik.

"Dalam hal ini otomatis yang diuntungkan adalah pemerintah," kata Deddy kepada CNA Indonesia.

Menurut data Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Pemprov Jakarta telah mengucurkan PSO untuk Transjakarta Rp3,9 Triliun pada 2024.  

Direktur Utama TransJakarta, Welfizon Yuza, pada Januari lalu mengatakan bahwa PSO tersebut digunakan untuk memberikan subsidi sebesar Rp10 ribu per tiket penumpang pada 2024, sehingga penumpang hanya membayar Rp3.500 untuk setiap perjalanan.

Tingkatan PSO akan terus menurun sesuai dengan tingkat kemapanan perusahaan transportasi. Diberitakan Detik, pada 2022, subsidi tiket TransJakarta mencapai Rp16.800 dan turun menjadi Rp11.400 pada 2023. 

HAK PENAMAAN STRATEGI MARKETING JITU?

Dengan membeli hak penamaan, maka nama merek akan terpampang di halte dan berbagai sarana penunjangnya, seperti signage, wayfinding, peta jalur, announcement, dan berbagai publikasi lain.

Menurut pengamat bisnis dan pemasaran, Yuswohady, hak penamaan lebih unggul dibanding jenis iklan lainnya.

"Kalau beriklan dengan billboard, itu sifatnya sementara, artinya bisa sebulan atau seminggu, dan harus berbagi ruang dengan merek lainnya." kata Yuswohady kepada CNA Indonesia, menambahkan bahwa hak penamaan bisa berlangsung selama bertahun-tahun.

"Selain itu, ketika merek menjadi nama tempat tujuan, maka akan banyak disebut oleh orang, bahkan tercantum di Google Map, sehingga jangkauannya jadi sangat luas," lanjut managing partner di perusahaan riset pemasaran Inventure ini.

Paparan terhadap pelanggan juga luar biasa besar karena jumlah penumpang yang terus meningkat.

Pada 2024, TransJakarta mencatatkan pelayanan terhadap 371,4 juta pelanggan, dengan rata-rata 1 juta pelanggan per hari. Sementara pengguna MRT pada tahun yang sama mencapai lebih dari 40,8 juta pengguna dan LRT sebanyak 21 juta pengguna.

Tasya, penumpang angkutan umum di Jakarta, mengakui bahwa hak penamaan membuat dirinya jadi terus teringat dengan sebuah merek. 

"Misalnya Halte Cipete Tuku, sekarang saya kalau mau beli kopi ya pasti beli Tuku," kata Tasya. 

Pihak Paragon - perusahaan di balik brand kosmetik Wardah dan Kahf - mengakui penyematan nama mereka di halte TransJakarta telah memberi keuntungan tersendiri.

"Dampak langsung terkait penjualan mungkin memang tidak dilakukan pengukuran, namun berdasarkan pemantauan conversation di digital platform, kami menemukan adanya peningkatan awareness untuk Paragon sendiri," kata Dwi Suci Candraningsih, Corporate Communication Senior Executive Paragon Technology and Innovation, kepada CNA Indonesia.

Halte TransJakarta Swadarma ParagonCorp. (dok. TransJakarta)

Dwi enggan mengungkapkan berapa yang mereka bayarkan untuk hak penamaan di Halte Swadarma, namun durasi penggunaannya akan berlangsung selama lima tahun. Selain halte, lanjut Dwi, Paragon juga melakukan perbaikan prasarana pendukung halte TransJakarta di lokasi tersebut "untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakatnya". 

Menurut Yuswohady meningkatnya kesadaran masyarakat akan sebuah brand yang membeli hak penamaan karena penempatannya di "public domain", sebuah ruang yang dimiliki semua orang. 

"Memasuki public domain berarti brand itu (seakan) telah dimiliki semua orang. Dan brand yang memiliki posisi public domain itu mahal," ujar Yuswohady yang telah menulis sembilan buku tentang brand dan pemasaran.

Dengan berbagai keuntungan yang bisa didapatkan, Yuswohady mengatakan membayar miliaran untuk hak penamaan selama beberapa tahun masih lebih murah ketimbang beriklan di billboard atau LED digital yang hanya bertahan satu atau dua minggu.

Namun dia menyarankan pembelian hak penamaan tidak di sembarang tempat. Artinya, sebuah merek harus benar-benar memilih lokasi yang memiliki keterkaitan dengan mereka.

D'MASIV misalnya, mempunyai hak penamaan di Halte TransJakarta Petukangan karena dekat dengan markas mereka. Alasan yang sama digunakan juga oleh Tuku yang memilih Cipete karena dari situlah mereka pertama kali merintis bisnis kopi. 

BNI dan Paragon membeli hak penamaan di halte atau stasiun dekat dengan kantor utama mereka. 

"Harus ada story atau narasi di baliknya sehingga brand akan kuat. Kalau sembarangan, impact-nya kurang," kata Yuswohady.

Penjualan hak penamaan oleh TransJakarta dapat meningkatkan pemasukan nontiket. (FOTO: iStock/Yan Budi Setiawan)

NAMING RIGHTS MERUSAK JEJAK SEJARAH?

Di tengah cuan miliaran dari penjualan hak penamaan, ada keresahan yang muncul dari pakar toponimi.

Aji Putra Perdana, pakar toponimi di Badan Informasi Geospasial (BIG), menilai pengubahan nama rupabumi karena alasan komersialisasi berpotensi "menghapus integritas nomenklatur geografis sebuah negara, menghapus jejak sejarah, dan budaya".

Berbagai ancaman tersebut, kata Aji kepada CNA Indonesia, disampaikan dalam resolusi konferensi Kelompok Pakar Nama Geografis PBB (United Nations Group of Experts on Geographical Names/UNGEGN) pada 2012.

"UNGEGN menyarankan adanya perhatian khusus dari setiap negara terkait komersialisasi yang dapat mengubah nama geografis menjadi sebuah komoditas," kata PhD candidate di University of Twente, Belanda, di bidang toponimi ini.

"Praktik seperti ini disarankan untuk dihindari karena akan mendistorsi makna dan tujuan asli dari sebuah penamaan lokal."

Aji mengatakan bahwa nama sebuah tempat bukan sekadar penanda geografis, tapi mengandung nilai sejarah, budaya dan identitas masyarakat. 

"Ketika nama tempat terus berubah mengikuti kepentingan bisnis, ada risiko makna asli dari tempat tersebut akan hilang, tergantikan oleh narasi komersial yang berumur pendek," ujar Aji.

Band D'MASIV menyematkan namanya di halte TransJakarta Petukangan. (Foto: Instagram/TransJakarta)

Sebenarnya pemerintah sendiri telah mengimbau untuk tidak menggunakan nama instansi atau lembaga dalam penamaan rupabumi - permukaan bumi beserta objeknya, baik unsur alami atau unsur buatan manusia, seperti gedung, halte atau stasiun.

Dalam Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Nama Rupabumi, disebutkan bahwa penamaan rupabumi seharusnya menghindari penggunaan nama instansi atau lembaga, baik pemerintah atau swasta.

Aji mencermati bahwa peraturan tersebut kerap diabaikan karena alasan komersialisasi atau kesepakatan lainnya. Salah satu contoh yang terang adalah penamaan Jalan Layang Sheikh Mohammed bin Zayed (MBZ) - Emir Uni Emirat Arab - oleh Presiden Joko Widodo pada 2021.

Pemerintah ketika itu mengatakan penamaan itu merupakan timbal balik karena MBZ menjadikan Joko Widodo sebagai nama jalan di UEA. Padahal berdasarkan prinsip pada PP penamaan rupabumi, nama orang baru bisa digunakan untuk sebuah tempat setelah lima tahun dia meninggal dunia.

"Karena regulasinya tidak tegas, jadi diizinkan," kata Aji, seraya menambahkan bahwa prinsip penamaan itu sifatnya hanya rekomendasi saja.

"Hingga saat ini, belum ada payung hukum spesifik yang mengatur batasan hak penamaan terhadap fasilitas publik, terutama yang memiliki status cagar budaya."

Peresmian perubahan nama Tol Jakarta-Cikampek II menjadi Jalan Layang Sheikh Mohamed bin Zayed (MBZ) pada 2021. (FOTO: Biro Komunikasi Publik Kementerian PUPR RI)

Perubahan nama halte dan stasiun dalam jangka waktu tertentu, meski hanya penambahan di bagian belakangnya, menurut Aji akan membuat memori masyarakat terganggu. Pasalnya, "nama geografis memiliki kelekatan emosional dengan masyarakat" sehingga akan membingungkan.

Hal ini terjadi kepada Septiani, penumpang TransJakarta, yang sempat salah turun halte karena perubahan nama.

"Membingungkan, apalagi kalau kontrak kerja samanya habis dan diganti dengan brand baru. Yang tadinya sudah terbiasa dengan nama halte A, tiba-tiba jadi halte B," ujar Septiani.

Aji berharap pemerintah menerapkan regulasi yang lebih ketat terkait penamaan ini, terutama terhadap fasilitas yang memiliki nilai sejarah, serta melakukan evaluasi akan dampak sosialnya. 

Namun dia juga menyadari komodifikasi penamaan sulit dicegah di masa sekarang ini.

"Urbanisme neoliberal itu tidak bisa dibendung. Artinya tren jual beli hak penamaan ini tidak akan bisa dicegah, terutama di Indonesia," ujar Aji.

Ke depannya, akan ada lebih banyak lagi perubahan nama pada halte TransJakarta maupun stasiun LRT dan MRT. 

Pihak TransJakarta sendiri telah menargetkan untuk bisa menjual hak penamaan di 11 halte sepanjang tahun 2025. 

MRT juga demikian, sudah mulai memasarkan stasiun-stasiunnya kepada pihak swasta yang bersedia membayar mahal agar nama mereka tersemat.

"Ada (halte) Monas, Thamrin yang kami tawarkan sejak sekarang, biasanya perusahaan sekitar itu ingin punya," kata Direktur Pengembangan Bisnis MRT Jakarta Farchad Mahfud, kepada Antara pada Januari lalu.

Ikuti Kuis CNA Memahami Asia dengan bergabung di saluran WhatsApp CNA Indonesia. Menangkan iPhone 15 serta hadiah menarik lainnya.

Source: CNA/da

Juga layak dibaca

Iklan
Iklan