FOMO mendaki gunung? Menhut dan Agam Rinjani peringatkan tak sama dengan healing ke mal
Menteri Raja Juli menggarisbawahi bahaya tren FOMO yang membuat banyak orang naik gunung hanya karena ingin terlihat keren di media sosial.

JAKARTA: Popularitas aktivitas mendaki gunung terus meningkat, terutama di kalangan anak muda urban yang mencari pelarian dari rutinitas dan hiruk-pikuk kota.
Namun, tren ini mulai menimbulkan kekhawatiran, terutama ketika banyak yang mendaki tanpa persiapan matang dan hanya mengikuti arus Fear of Missing Out (FOMO).
Peringatan ini disampaikan langsung oleh Agam Rinjani, pendaki berpengalaman yang terlibat dalam misi evakuasi pendaki asal Brasil, Juliana Marins, yang tewas terjatuh di Gunung Rinjani.
Dalam podcast Close The Door bersama Deddy Corbuzier, Agam menggarisbawahi bahwa mendaki gunung bukan sekadar hobi dadakan, apalagi tren gaya hidup semata.
Banyak pendaki yang masih meremehkan aspek ini sehingga berakibat fatal ketika berhadapan dengan ganasnya alam.
“Manajemen pendakian harus betul-betul matang,” tegasnya dalam wawancara tersebut.
PERSIAPAN FISIK DAN MENTAL ADALAH KUNCI
Agam menjelaskan bahwa pendaki harus terlebih dahulu memastikan kondisi fisik dan mental mereka dalam keadaan prima.
Kegiatan mendaki menuntut ketahanan fisik ekstra karena medan yang berat, perubahan ketinggian, serta cuaca yang bisa berubah drastis dalam hitungan jam.
Selain itu, perlengkapan yang memadai juga merupakan bagian tak terpisahkan dari keselamatan. Mulai dari pakaian berlapis, sleeping bag, tenda, alat masak, hingga perlengkapan navigasi seperti peta, kompas, atau GPS — semua harus disesuaikan dengan kondisi gunung dan musim.
Kesalahan umum lain yang kerap terjadi adalah kurangnya perhitungan asupan makanan.
Menurut Agam, banyak pendaki yang hanya membawa makanan “sekadarnya” tanpa memperhatikan kebutuhan kalori yang sebenarnya sangat tinggi dalam aktivitas semacam ini.
“Banyak yang cuma bawa makanan secukupnya tanpa menghitung kalori. Ini bisa berakibat fatal,“ tekannya.
Tanpa asupan energi yang cukup, tubuh rentan mengalami kelelahan ekstrem, penurunan konsentrasi, hingga hipotermia.
Ia menyarankan pendaki untuk lebih fokus pada makanan tinggi kalori seperti karbohidrat kompleks dan lemak sehat, yang menjadi bahan bakar utama tubuh di alam bebas.
Agam juga menekankan pentingnya perencanaan rute secara detail, termasuk estimasi waktu tempuh, lokasi pos peristirahatan, serta titik-titik sumber air.
Pengetahuan dasar tentang pertolongan pertama dan kemampuan navigasi membaca peta atau menggunakan Kompas menjadi aspek krusial lain yang sering diabaikan oleh pendaki pemula.
JANGAN SAMAKAN NAIK GUNUNG DENGAN KE MAL
Senada dengan Agam, Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni juga memberikan peringatan kepada masyarakat untuk tidak meremehkan aktivitas pendakian.
Ia menekankan bahwa mendaki gunung bukanlah kegiatan yang bisa dilakukan secara impulsif, seperti pergi ke pusat perbelanjaan atau liburan ke Bali.

“Imbauan pada masyarakat bahwa naik gunung itu tidak sama dengan ke mal. Jadi kapan mau healing kita bisa ke mal, ke gunung agak lain, situasinya spesifik, perlu ada edukasi dan persiapan yang lebih baik,” kata Raja Juli dikutip dari detikNews.
“Naik gunung tidak sama seperti kita jalan-jalan ke Bali, langsung beli tiket bisa berangkat. Equipment-nya harus baik, latihan fisik. Itu penting sekali,” imbuhnya.
Menteri berusia 47 tahun itu juga menggarisbawahi bahaya tren FOMO yang membuat banyak orang naik gunung hanya karena sedang viral atau ingin terlihat keren di media sosial.
Ia mengajak masyarakat untuk tetap mengeksplorasi taman nasional dan kawasan konservasi, namun dengan tanggung jawab terhadap keselamatan diri sendiri dan sesama pendaki.
Ikuti saluran WhatsApp CNA Indonesia untuk dapatkan berita menarik lainnya. Pastikan fungsi notifikasi telah dinyalakan dengan menekan tombol lonceng.