Mengupas fenomena anggota DPRD ramai-ramai gadai SK ke bank, akibat tingginya biaya politik?
Tidak perlu tunggu lama usai dilantik, beberapa anggota DPRD langsung menggadaikan SK pengangkatan mereka ke bank. Pembayaran utang tersebut akan dicicil melalui pemotongan gaji anggota dewan setiap bulannya.
JAKARTA: Tidak lama setelah dilantik sebagai anggota DPRD, beberapa dari anggota dewan terpilih langsung menggadaikan Surat Keputusan (SK) peresmian pengangkatan mereka ke bank.Â
Para pengamat mengatakan ini adalah fenomena lawas yang jamak terjadi setiap kali pejabat publik baru dilantik.Â
Salah satu penyebab anggota DPRD meminjam uang ke bank adalah untuk mengganti biaya politik yang jumlahnya tidak sedikit saat kampanye. Pengamat khawatir, kondisi ini akan mengarah kepada korupsi politik dan berujung pada anjloknya demokrasi.
Gadai SK di antaranya dilakukan anggota DPRD Pasuruan, provinsi Jawa Timur. Mengutip laporan Detik pada Rabu (4/9), ketua sementara DPRD Pasuruan, Abdul Karim, mengatakan sudah ada empat orang yang menggadaikan SK sebagai syarat pinjaman utang ke bank, dan kemungkinan jumlahnya akan bertambah.
Pinjaman diajukan ke Bank Jatim, sebesar Rp500 juta bahkan lebih. Pembayaran akan dicicil dengan memotong gaji mereka setiap bulannya.
Hal serupa juga terjadi di Subang. Diberitakan VIVA.co.id, beberapa anggota DPRD - tanpa menyebut jumlahnya - telah mengajukan pinjaman antara Rp500 juta-Rp1 miliar ke Bank BJB dengan tenor 5 tahun atau selama mereka menjabat.
Gaji anggota DPRD Subang itu akan dipotong setiap bulan sebesar 50 persen untuk membayar cicilan utang. Berdasarkan undang-undang, gaji anggota dewan berkisar di atas Rp50 juta setiap bulannya.
CNN Indonesia melaporkan, setelah resmi dilantik pada Selasa lalu (3/9), sudah ada 10 anggota DPRD kota Serang, Banten, yang menggadaikan SK mereka.
Sekretaris DPRD Kota Serang Ahmad Nuri mengatakan, sebelumnya ada sejumlah bank yang menawarkan pinjaman hingga Rp1 miliar yang bisa dicicil pembayarannya sepanjang masa jabatan anggota dewan.
Di Sragen, Jawa Tengah, 22 dari 50 anggota DPRD yang baru dilantik pekan lalu telah menggadaikan SK mereka untuk pinjaman, ujar Direktur Utama PT BPR Bank Djoko Tingkir, Titon Darmasto, kepada Detik pada Rabu. Nilai pinjamannya mulai dari Rp200-500 juta.
Seorang anggota DPRD Sragen yang tidak berkenan disebut namanya membenarkan hal itu. Kepada Detik dia mengatakan, gaji tahun pertamanya akan habis untuk membayar angsuran utangnya sebesar ratusan juta rupiah.
FENOMENA YANG JAMAK DAN BERULANG
Para pengamat mengatakan, fenomena menggadaikan SK ini adalah hal yang jamak terjadi, kerap dilakukan oleh anggota DPRD terpilih di banyak daerah.
"Cuma memang dulu mereka masih malu-malu, bicara ke sedikit orang, sekarang terpublikasi secara luas melalui televisi atau media sosial, sehingga ramai jadi sorotan publik," kata Ujang Komarudin, pengamat politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia saat dihubungi CNA.
Ujang mengatakan, hal ini terjadi karena biaya politik tinggi yang harus mereka tanggung ketika berkampanye. Biaya itu, kata dia, bisa didapat dari hasil utang atau dukungan dari pihak-pihak lain.
"Syukur-syukur menang. Kalau kalah bagaimana? Itu yang repot. Tidak heran banyak caleg kalah yang stres karena tidak bisa bayar utang," kata Ujang lagi.
Ini dibenarkan oleh Abdul Karim dari DPRD Pasuruan. Dikutip Detik, dia mengatakan bahwa pinjaman itu "wajar karena kemarin (saat kampanye) sudah mengeluarkan biaya yang tidak sedikit".
Biaya politik calon anggota legislatif memang fantastis, berkisar antara ratusan juta hingga miliaran rupiah. Nominal ini sempat dibocorkan oleh politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Romahurmuziy dalam podcast Total Politik pada April lalu, selang dua bulan setelah pemilu legislatif dan presiden digelar.
Politisi yang akrab disapa Romy itu mengatakan, anggota DPR tingkat nasional harus merogoh kocek rata-rata Rp15 miliar untuk kampanye di satu daerah pemilihan. Sementara untuk tingkat DPRD Provinsi, kata Romy, caleg keluar uang hingga Rp3 miliar dan Rp1 miliar untuk tingkat kabupaten.
Ambang Priyonggo, pengamat politik dari Universitas Multimedia Nusantara, mengatakan biaya politik menjadi mahal karena para caleg masih menggunakan pola kampanye tradisional.
"Mereka berhadapan langsung dengan warga sehingga membutuhkan banyak biaya teknis, misalnya penyediaan pamflet atau kaus, yang kalau dikalikan biayanya lumayan," kata Ambang kepada CNA.
Selain itu juga terjadi praktik money politik atau jual-beli suara dalam kampanye yang membuat biaya semakin membengkak.
"Mereka juga harus memberikan sesuatu, entah berupa barang atau uang. Jadi yang mereka jual bukan gagasan. Model politik seperti ini yang cost-nya sangat tinggi bagi kandidat," ujar Ambang lagi.
Biaya tersebut dikeluarkan setelah seseorang dinyatakan maju sebagai wakil partai dalam pemilu. Sebelumnya, para caleg disinyalir juga harus membayarkan mahar politik yang jumlahnya luar biasa agar bisa diusung partai.
Amir Arief, Direktur Sosialisasi dan Kampanye Antikorupsi Komisi Pemberantasa Korupsi (KPK) mengatakan semakin besar mahar politiknya, maka semakin besar pula peluang kandidat itu untuk diusung partai.Â
"Para kontestan mengeluarkan antara Rp5-15 miliar per orang untuk membiayai mahar politik," kata Amir dalam sebuah artikel di situs Anti-corruption learning centre (ACLC) milik KPK.
Pemerintah telah mengeluarkan berbagai larangan untuk mencegah terjadinya mahar politik dengan sanksi yang tegas. Namun pembuktian mahar politik sulit karena dilakukan dengan terbatas dan rahasia, tulis ACLC KPK.
Selain membayar ongkos politik, pakar kepemiluan dari Universitas Indonesia, Titi Anggraini, mengatakan utang ke bank dilakukan anggota dewan untuk membiayai gaya hidup mereka.Â
"Gaya hidup juga mempengaruhi fenomena tersebut. Di mana pejabat politik atau legislator biasanya dilengkapi fasilitas yang wah sehingga anggota dewan juga perlu menyesuaikan," kata Titi.Â
"Apalagi stigma di masyarakat, anggota parlemen identik dengan pejabat yang punya banyak uang," kata Titi.
BUKAN PELANGGARAN UNDANG-UNDANG, TAPI...Â
Soal anggota dewan yang menggadaikan SK untuk utang ke bank, Sekretaris Dewan DPRD Subang, Tatang Supriatna, kepada VIVA.co.id menegaskan bahwa hal itu tidak ada kaitannya dengan institusi DPRD, fraksi atau partai politik.
Sementara ketua sementara DPRD Kota Serang Muji Rohman mengatakan itu hak setiap orang dan tidak ada pelanggaran di dalamnya. "Karena itu kebutuhan dan tidak menyalahi aturan perundang-undangan," kata Muji kepada CNN Indonesia.
Meski itu hak pribadi dan bukan pelanggaran hukum, Titi dari UI mengatakan jika dibiarkan maka perilaku ini bisa memicu terjadinya praktik korupsi politik.
"Kalau SK digadaikan, hal itu bisa mendorong politisi terus mencari uang tambahan. Risikonya, bisa terjadi penyalahgunaan wewenang dengan tujuan menutupi kebutuhan membayar cicilan dan biaya-biaya politik lainnya," kata Titi.
Selain itu, Titi juga mendesak negara untuk serius memikirkan solusi menurunkan ongkos politik yang terlalu tinggi di pemilu Indonesia.Â
Pasalnya, jika pemenang pemilu ke depannya masih ditentukan dari besaran uang yang mereka keluarkan saat kampanye - atau mahar politik - maka pengamat mengatakan kualitas demokrasi di Indonesia akan terus menurun.
"Kalau seperti ini terus, peningkatan kualitas demokrasi di Indonesia tidak akan bisa terwujud," kata Ambang.
"Mereka (anggota dewan) dipilih bukan berdasarkan track record, merit, atau gagasan, tetapi dari apa yang diberikan kepada pemilih," lanjut dia.
Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel CNA.id dengan klik tautan ini.Â